Duduk Soal Polemik Wisata Halal di Labuan Bajo

Kendati masih dalam tahap sosialisasi, rencana penerapan wisata halal di Kota Labuan Bajo, gerbang pariwisata di Provinsi NTT itu, telah menimbulkan riuh di ruang publik beberapa hari belakangan ini. Hingga artikel ini ditulis, topik ini masih menjadi perbincangan publik di dunia nyata dan juga jagat maya.

Soalnya adalah, meski oleh Kemenpar konsep wisata halal dipahami dalam konteks untuk menangkap segmentasi pasar baru wisatawan Muslim, lantas apakah secara sosiokultural ide wisata halal ini dapat diterapkan dalam konteks Labuan Bajo?

Menariknya perbincangan di ruang publik kian melebar ke mana-mana. Tidak saja oposisi antara pariwisata dalam frame segmentasi pasar versus sosiokultural, polemik wisata halal ini juga merambah hingga bicara soal politik identitas. Sebagian orang pun menaruh curiga akan adanya upaya penyusupan ideologi tertentu melalui sosialisasi wisata halal ini di Labuan Bajo. Dugaan ini seakan menjadi-jadi ketika sebagian orang menghubung-hubungkan momentum sosialisasi wisata halal ini dengan helatan Pilpres yang baru saja selesai, di mana ujaran-ujaran kebencian yang berbau politik identitas begitu berlipat ganda memenuhi ruang publik, menyekat masyarakat ke dalam kotak-kotak identitas.

Tidak ingin mempertajam polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat, kita sepenuhnya berharap untuk tetap menempatkan polemik ini murni dalam frame penjelasan pariwisata sebagai segmentasi pasar versus branding pariwisata Labuan Bajo yang telah lama berdinamika di atas pijakan konteks sosiokultural masyarakat setempat. Karena itu mungkin terlampau jauh menghubungkan polemik ini dengan soal politik identitas.

Sementara itu, dalam kaca mata pembangunan, kisruh wisata halal ini mesti mendorong pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, pihak DPRD, para pelaku wisata, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat pada umumnya untuk secara serius memikirkan dua soal ini.

Pertama, polemik ini seolah makin mempertegas panorama umum pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat yang begitu akrab dengan konflik vertikal dalam tahun-tahun belakangan ini. Pemerintah beserta korporasi, dengan dalih percepatan pertumbuhan ekonomi menawarkan program pembangunan pariwisata pada satu sisi, gelombang perlawanan masyarakat lokal muncul pada sisi yang lain.

Atas situasi ini, kita patut bertanya, ada apa dengan kebijakan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo? Apa yang salah dengan tata kelola pembanguna pariwisata di kota itu?

Kedua, bagaimana menjelaskan kemunculan wisata halal sebagai langkah strategis pembangunan di tengah problem ri’il pembangunan pariwisata Labuan Bajo yang begitu kuat ditandai oleh struktur ekonomi politik pembangunan yang tidak adil. Monopoli manfaat pada tangan segelintir orang, peminggiran dan eksploitasi pada sisi yang lain. Di tengah problem ri’il pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang seperti ini, tepatkah ide wisata halal dijadikan sebagai langkah strategis pengembangan pariwisata di kota itu?

Segmentasi Pasar versus Sosiokultural, Konteks Perdebatan

Hadirnya wacana wisata halal ini di Labuan Bajo bermula dari upaya pihak Kementrian Pariwisata dalam rangka menangkap trend peluang pariwisata global yang memunculkan wisatawan muslim sebagai segmentasi pasar baru yang cukup menjanjikan. Pihak Kemenpar bertekad agar Indonesia harus dapat bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, ataupun Thailand. Jumlah wisman muslim yang ke Indonesia pada tahun 2015 hanya 2,2 juta. Angka ini masih kalah dengan pencapaian negara-negara tetangga seperti Singapura (3,6 juta), Malaysia (6,18 juta), dan Thailand (4,8 juta). Dari pencapaian itu, kontribusi wisatawan Muslim tehradap PDB pun hanya mencapai sekitar 9,6% dan menyumbang devisa sebesar US$ 11,9 miliar.

Atas dasar itu, pada tahun 2019 pihak Kemenpar menargetkan akan mendatangkan 5 juta wisman muslim dan 242 juta perjalanan wisnus muslim. Sebagai langkah awal pihak Kemenpar telah menetapkan 10 destinasi utama wisata halal di Indonesia yang terdiri dari Aceh, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Lombok/NTB, dan Sulawesi Selatan. Hingga kini, promosi wisata halal itu masih fokus di lima destinasi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Lombok, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.

Kendati  berada di luar bilangan 10 di atas, penunjukan Labuan Bajo sebagai salah satu prioritas destinasi pariwisata nasional, bukan tidak mungkin dipikirkan menjadi target baru segmentasi pasar ini. Apalagi, sejak tahun 2017 yang lalu pariwisata Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas secara nasional. Dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo pula, melalui Perpres No. 32 tahun 2018, pemerintah pusat telah membentuk Badan Otorita Pariwisata (BOP). Latar belakang inilah yang lantas mendorong pihak Kemenpar melalui BOP Labuan Bajo melakukan sosialisasi wisata halal di Labuan Bajo pada tanggal 30 April 2019 yang lalu.

Letak soalnya sekarang adalah apakah konsep wisata halal cocok untuk diterapkan sebagai branding pariwisata di Kota Labuan Bajo?

Pariwisata bukan terutama soal aliran uang, tapi juga soal perjumpaan nilai dan budaya. Bertolak dari alas pikir ini, publik pun bersilang pendapat, apakah ide wisata halal yang nota bene ditopang oleh bangunan nilai tertentu dapat diberlakukan sebagai label pariwisata di Kota Labuan Bajo. Kondisi sosiokultural masyarakat Labuan Bajo secara khusus dan Flores secara umum, dari segi agama, budaya, ekonomi, politik yang berbeda dengan destinasi wisata halal lain di Indonesia seperti Aceh, Lombok, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, membuat ide wisata halal ini tidak mudah untuk diterapkan begitu saja sebagai branding wisata di Labuan Bajo.

Karena itu juga branding wisata halal berpotensi akan menghadirkan gangguan atas image destinasi wisata Labuan Bajo yang berpijak di atas konteks sosiokultural tertentu di mata wisatawan. Alih-alih dalam rangka menggenjot angka kunjungan, label baru wisata halal di kota Labuan Bajo, bukan tidak mungkin mengurungkan niat wisatawan dari Eropa, Amerika dan Australia untuk berwisata ke Labuan Bajo.

Sementara itu, kendati atas dasar alasan sosiokultural dan branding pariwisata, konsep wisata halal tampak mustahil untuk diterapkan di Labuan Bajo, itu tidak berarti pariwisata di Labuan Bajo sama sekali tidak membuka ruang bagi segmentasi pasar wisatawan Muslim. Kenyataan menunjukkan bahwa hal itu telah berjalan secara organik selama ini. Sebagai contoh, beberapa hotel dan penginapan dan kapal wisata pun telah menyiapkan amenitas yang halal bagi wisatawan Muslim. Karena itu, tanpa perlu melalui branding dengan segala konsekuensi turunannya, menurut sebagian pelaku wista di Labuan Bajo, biarkan segmentasi wisatawan Muslim ini berjalan secara alamiah seturut rule of the game pasar.

Bercermin pada penjelasan di atas, peting bagi kita untuk mendudukkan polemik wisata halal di Labuan Bajo dalam frame penjelasan pariwisata sebagai segmentasi pasar versus dinamika pariwisata yang berpijak pada konteks sosiokultural tertentu.

Point untuk Pembangunan

Selain berdebat soal pariwisata dalam frame segmentasi pasar versus konteks sosiokultural, polemik wisata halal di Labuan Bajo mesti mendorong segenap pemangku kepentingan pembangunan pariwisata untuk secara lebih serius memikirkan dua soal ini.

Ada apa dengan kebijakan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo yang rentan berujung konflik? Kita perlu mencatat bahwa sepanjang tahun 2018 hingga awal tahun 2019, terdapat sederetan kebijakan pembangunan pariwisata yang memicu konflik vertikal antara masyarakat versus pemerintah dan korporasi. Mulai dari polemik pembangunan rest area di Pulau Rinca dan Padar dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) pada pertengahan 2018 yang lalu, penolakan Askawi (Aosiasi Kapala Wisata) Labuan Bajo terhadap kedatangan very ASDP, protes publik atas rencana Gubernur NTT untuk menaikkan tarif masuk ke dalam kawasan TNK di penghujung tahun 2018, hingga yang teranyar wacana penutupan Pulau Komodo yang keputusannya masih menggantung hingga kini. Ini belum terhitung kebijakan pembangunan lain yang juga berpotensi menyulut konflik antara masyarakat dengan pemerintah seperti penguasaan lahan seluas paling sedikit 400 hektar di Labuan Bajo oleh pihak Badan Otorita Pariwisata (BOP). Hingga artikel ini ditulis, kehadiran BOP dengan segala versi desain pembangunan pariwisatanya sedang menjadi bahan gosip publik.

Mengapa demikian? Jika digali secara mendalam, situasi ini sebenarnya menggambarkan carut-marutnya tata kelola pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat. Dalam tata kelola pembangunan pariwisata yang carut-marut ini, kendati secara retoris pembangunan dipahami sebagai urusan publik, namun begitu banyak keputusan terkait kebijakan pembangunan pariwisata yang tidak dihasilkan dari proses-proses yang demokratik. Pembangunan tidak berjalan dalam awasan kontrol popular.

Di Labuan Bajo, tersendatnya proses-proses demokratik ini dalam tata kelola pembangunan pariwisata terlihat jelas dalam peran pemerintah pusat yang tekesan begitu kuat dalam menentukan program pembangunan pariwisata.  Labuan Bajo pun bak menjadi laboratorium konsep-konsep pembangunan para teknokrat yang bersarang di berbagai Kementrian. Sentralisasi kebijakan ini persis melabrak otonomi Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat untuk menempuh jalur-jalur demokratik dalam rangka menentukan program pembangunan pariwisata di wilayah kedaulatannya sendiri.

Sementara itu, kerja-kerja representasi di level Kabupaten Manggarai Barat dalam rangka terus memastikan pembangunan pariwisata sebagai urusan publik agaknya tidak berjalan maksimal. Mandegnya fungsi agregasi kepentingan dari lembaga lembaga representasi seperti DPRD, yang ditopang pula oleh tidak terkonsolidasinya segenap elemen pelaku pariwisata (guide, biro perjalanan, kapal wisata, homestay, desa wisata, petani, peternak) sebagai kelompok asosiasionnal berbasis kekepentingan kian membuat pembangunan pariwisata seolah menjadi arena eksklusif kaum cerdik-pandai yang bernama teknokrat itu.

Dalam kaca mata penjelasan di atas, polemik wisata halal di Labuan Bajo persis kuat bercerita soal carut marutnya tata kelola pembangunan pariwisata di daerah itu yang ditandai oleh sentralitas kebijakan pembangunan pada satu sisi, minimalnya kerja-kerja reprentasi demokratik di level daerah pada sisi yang lain. Ringkas cerita, ketika sebuah kebijakan pembangunan tidak lagi berjalan dalam kontrol popular melalui proses-proses perumusan kebijakan yang demokratik, konflik pun pasti terjadi.

Sementara itu juga, logika sentralisasi dan teknokrasi yang ditopang kuat oleh minimnya kerja representasi di tingkat daerah pun pada gilirannya mengesampingkan pentingnya refleksi ekonomi politik sebagai alas pikir dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan yang berhubungan dengan sektor pariwisata. Membesar-besarkan perdebatan isu pembangunan pariwisata semata pada soal ekspansi budaya luar versus kebertahanan budaya lokal merupakan salah satu symptom dari absennya refleksi ekonomi politik pembangunan pariwisata di Manggarai Barat selama ini. Persis pada titik ini, problem ri’il soal ketimpangan ekonomi politik pembangunan pariwisata seperti monopoli manfaat pada tangan segelintir orang, tercekiknya para pelaku wisata lokal dalam iklim persaingan yang tidak fair, cerita pariwisata yang belum terhubung ke komunitas-komunitas lokal (petani, peternak, nelayan) tidak lagi menjadi elemen penting untuk dipertimbangkan sebelum menentukan sebuah kebijakan pembangunan.

Karena itu, selain menunjukkan sentralitas kebijakan pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, polemik wisata halal yang mengunci  isu pembangunan pariwisata pada frame kultural, menunjukkan absennya refleksi ekonomi-politik dari tata kelola pembangunan pariwisata di Manggarai Barat sejauh ini.

Venansius Haryanto*

 

 

 

Publikasi Lainnya