SunspiritForJusticeandPeace.org – Pada Sabtu, 2 Februari 2019 yang lalu, digelar sebuah forum yang diinisiasi Pemkab Manggarai Barat (Mabar), membahas tentang Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo.
Forum yang digelar di Aula Hotel Green Prund, Labuan Bajo itu mensosialisasikan peran BOP, dengan tema “Merumuskan Isu-isu Strategis Pariwisata di Manggarai Barat”.
Namun, kendati sangat penting, pertemuan ini tidak dihadiri oleh anggota DPRD Mabar sebagai representasi dari masyarakat Mabar.
Selain itu, meski banyak pelaku wisata yang hadir, banyak yang belum tahu seluk beluk BOP.
Padahal, Pepres No 32 tahun 2018 tentang BOP Labuan Bajo sudah terbit sejak April tahun lalu. Ada pelaku wisata yang terang-terangan mengungkap ketidaktahuannya tentang BOP.
Menariknya pula, jangankan pelaku wisata, pemerintah daerah pun tak banyak tahu tentang kehadiran BOP.
“Saya tidak terlalu tahu tentang BOP, kita percayakan saja kepada mereka sebentar,” kata Bupati Agustinus Ch. Dulla saat mengawali pertemuan tersebut.
“Hasil dari pertemuan hari ini akan kita serahkan ke BOP untuk membantu mereka dalam merancang program pariwisata,” kata Agustinus Rinus, Kepala Dinas Pariwisata Mabar.
Karena itu, forum perancangan strategi pengembangan pariwisata itu menempatkan direktur BOP secara istimewa, ketimbang pemerintah daerah.
Shana Fatina dan Hery Nabit, keduanya masing-masing direktur utama dan direktur destinasi pariwisata BOP dengan percaya diri mempresentasikan agenda pembangunan sektor pariwisata.
Sementara itu, yang dimaksud dengan isu strategis pariwisata dalam forum itu adalah menyangkut rencana-rencana pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata, investasi dan penguasaan tanah.
Tentu, kenyataan itu sangat mengejutkan saat perhatian BOP amat minim pada persoalan-persoalan sosial akibat perkembangan pariwisata selama ini.
Padahal, ibarat dua sisi mata uang, persoalan privatisasi, ketimpangan penguasan lahan, distribusi manfaat yang tidak adil sama-sama urgen dalam pengembangan pariwisata di Labuan Bajo khususnya dan NTT umumnya.
Lalu pertanyaannya, untuk kepentingan siapa BOP dibentuk jika persoalan-persoalan sosial pariwisata tidak diangkat, pemerintah daerah dan para pelaku wisata tidak tahu-menahu, bahkan DPRD sebagai representasi kepentingan masyarakat tidak dihadirkan?
Merujuk kepada Perpres No. 32 tahun 2018 yang sangat sentralitis dan teknokratis itu, kita sudah seharusnya tidak hanya perlu mengetahui BOP, tetapi juga perlu mengkhawatirkannya.
Setidaknya, ada empat soal yang kita khawatirkan.
Pertama, BOP bakal menguasai lahan seluas 400 hektar (Bdk. Pasal 2 ayat 2). Dalam pelaksanaannya, BOP bisa mengatur agar lahan ini disewakan kepada pihak ketiga (bdk. Pasal 23). Pihak ketiga, tentunya para investor (bdk. 26).
Pertanyaannya, lahan itu milik siapa? Jika milik pemerintah apalagi pemerintah daerah, apakah semudah itu diambil-alih dan disewakan? Bagaimanakah kepentingan masyarakat diakomodasi? Apakah tanah-tanah itu hanya untuk investor atau tanah yang bisa dimanfaatkan masyarakat? Bagaimana jika itu adalah lahan milik masyarakat adat?
Reaksi awal menunjukkan persoalan.
Kepala Desa Gorontalo, Vinsen Obin mengaku tidak tahu-menahu klaim 83 hektar tanah milik BOP di wilayahnya. Ia bahkan menganjurkan agar pembangunan strategis pariwisata sebaiknya mengutamakan penyelesaian soal-soal yang ada seperti masalah sampah dan krisis air.
Terlepas dari soal itu, para direksi BOP sebaiknya memahami persoalan agraria yang kian marak di Labuan Bajo. Masalah tanah telah menjadi persoalan serius dan sensitif di Mabar. Jika tidak diperhitungkan dengan baik, bukan tidak mungkin hal itu memicu bahkan mengeskalasi konflik.
Kedua, wewenang para direktur BOP yang diatur di bawah langsung presiden terkesan sangat mutlak, karena mereka mempunyai wewenang untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi terhadap perencanaan, pengembangan, pembangunan dan pengendalian pariwista di Labuan Bajo (bdk. pasal 14 dan 15).
Struktur organisasi ini bisa sangat mencederai semangat demokrasi dan desentralisasi. Kendati jajaran direksi tidak dipilih rakyat dan bukan pula birokrat, kekuasaan mereka lintas kementerian, lintas wilayah administrasi kekuasaan kabupaten, dan lintas instansi.
Kekuasaan para direksi ini sangat politis dan mempunyai dampak bagi hidup orang banyak. Kita tentu pantas khawatir karena pembangunan pariwisata tidak berlangsung di ruang kosong.
Soalnya, bagaimana orang yang tidak dipilih rakyat, bukan pula PNS atau birokrat, namun mempunyai kekuasaan untuk mengatur hajat hidup orang banyak? Untuk apa kita memilih bupati dan DPRD? Mengapa bukan BUMD yang mengatur aset aset daerah dan pengembangan pariwisata?
Ketiga, wewenang ini juga dapat memicu konflik kepentingan.
Latar belakang sebagian besar para direktur ini adalah pebisnis. Sementara mereka mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengembangkan pariwisata, termasuk mengelolah lahan milik pemerintah atau Pemda serta merancang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sebagai contoh, Shana Fatina. Ia sudah lama dikenal sebagai pelaku wisata di Labuan Bajo karena memiliki usaha wisata. Ia juga dikenal sebagai social enterpreneurship.
Nah, bukankah pembangunan sektor pariwisata akan mendorong dan mengangkat dia menjadi “broker” bagi investor yang lain untuk menguasai lahan-lahan negara di bawah KLHK atau Pemda? Atau dia sendiri bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri di atas tanah milik negara?
Keempat, poin yang menyebutkan partisipasi masyarakat tidak hanya sedikit tetapi juga sangat eksklusif. Rumusannya, masyarakat dapat berpartisipasi, namun bentuk partisipasinya berupa penyertaan modal (bdk. Pasal 26).
Dalam pembangunan pariwisata, masyarakat dipandang dalam kaca mata fungsi ekonomi semata. Mereka tidak dilibatkan dalam fungsi politis. Karena itu, hanya para investor yang diprioritaskan dalam pembangunan pariwisata dan menjadi tujuan dari pembentukan BOP.
Dari empat poin itu, kesimpulannya jelas bahwa negara tidak sedang berbicara tentang kepentingan umum. Negara sedang mengkapitalisasi kekayaan milik bersama berupa tanah, laut, pesisir pulau-pulau—di bawah KLHK, pemprov, Pemda—untuk kepentingan segelintir orang atau yang disebut masyarakat pemodal.
Akibatnya, kehadiran BOP mengubah persepsi kita tentang negara. Negara bukan lagi terwakili dalam kekuasaan bupati dan DPRD yang kita pilih. Negara tidak lagi wajib memanfaatkan tanah negara untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan banyak orang, tetapi mengutamakan investor.
Negara dalam cara kerja BOP ini lebih mirip sebuah perusahaan; yang mengeksploitasi sumber daya alam demi kepentingan terutama bagi sedikit orang, dengan asumsi semu bakal ada efek domino positif untuk banyak orang.
Sebelumnya, artikel ini telah dipublikasikan di www.floresa.co. Kembali dimuat di sini untuk kepentingan pendidikan.