Soal-Soal Seputar Kapal Wisata Di Labuan Bajo Manggarai Barat

SSP-LBJ, Saya mencatat, terdapat Lima soal yang terjadi di seputaran usaha kapal wisata di Labuan Bajo Manggarai Barat. Kelima soal ini tampaknya memang berdiri sendiri, namun setelah dirunut lebih jauh, kelima soal tersebut dan sederetan soal lanjutannya ternyata bersumber-akar dari satu soal utama. Soal utama itu saya tempatkan di bagian akhir dari catatan soal-soal ini.

Soal Pertama:
Menjawab peluang bisnis pariwisata di satu sisi, dan semakin sempitnya lahan pencaharian sebagai nelayan- salah satunya karena laut dizonasi-di sisi yang lain membuat para nelayan beralih profesi menjadi pelaku usaha kapal wisata.

Bersamaan dengan itu, kapal motor yang sebelumnya menjadi kapal penangkap ikan berubah fungsi menjadi kapal wisata. Dua soal lanjutan yang muncul dari soal ini adalah munculnya kapal wisata yang tidak memenuhi standar dan sumber daya manusia pengelolanya yang masih jauh dari rata-rata.

Rujukan standarnya adalah Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Standar Usaha Wisata Perahu Layar. Tiga hal yang mesti dan harus dipenuhi semua kapal wisata adalah terkait produk (berakomodasi dan tidak berakomodasi serta fasilitas penunjangnya), pelayanannya (harus memenuhi sekurang-kurang 15 unsur Prosedur Operasional Standar) dan pengelolaannya (terkait organisasi, manajemen, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia).

Soal Kedua:
Menjawab peluang bisnis yang sama dan terbatasnya kapal wisata di Labuan Bajo yang memenuhi standar sebagaimana sudah diuraikan di atas, maka kapal-kapal wisata pihak swasta luar (Jawa dan Bali) kemudian menjamur di perairan Labuan Bajo. Soal-soal lanjutan pun bermunculan dari soal ini, diantaranya pertama, kapal-kapal wisata masyarakat lokal yang tumbuh secara organik dan yang dalam beberapa hal tidak memenuhi standar kemudian kalah saing. Kedua, kapal-kapal wisata milik swasta dan investor yang datang dari luar tidak dikawal dan dikontrol secara maksimal. Ketiga, tidak ada standar harga terkait jasa kapal wisata.

Soal kedua ini yang sementara ini menjadi sorotan serius para pelaku usaha kapal wisata, khususnya para pelaku wisata lokal Labuan Bajo. Seperti diketahui, pada Oktober 2018 ini PT. (Persero) ASDP Indonesia Ferry yang mengelola Labuan Bajo Marina akan mengoperasikan kapal wisata di Labuan Bajo. Kapal Wisata dengan kapasitas 84 penumpang dengan harga Rp. 170.000 per wisatawan dipandang oleh para pelaku wisata di Labuan Bajo sebagai tindakan pencaplokan ruang usaha. Salah satu tuntutan para pelaku usaha kapal wisata lokal adalah pemerintah melalui PT. ASDP mestinya membantu kapal wisata lokal untuk memenuhi standar operasional  baik dari sisi produk, pelayanan dan pengelolaannya, bukan sebaliknya dengan menghadirkan kapal motor yang dipstikan mematikan usaha kapal-kapal wisata lokal.

Soal Ketiga:
Terjadi kecelakaan yang menimpa kapal wisata. Dari berbagai sumber informasi yang dihimpun terjadinya serangkaian kecelakaan yang menimpa kapal wisata disebabkan karena kapal-kapal wisata tidak memenuhi standar keselamatan wisata, namun ada pula dugaan karena persaingan bisnis. Ada dugaan kapal sengaja ditenggelamkan dan atau dibakar. Terkait dengan alasan terakhir ini, memang perlu ditelisik, namun satu yang pasti, tersiar kabar dugaan atas itu terjadi.

Saya mencatat, selama dua tahun terakhir, sejak tahun 2017, sudah terjadi kurang lebih tujuh kecelakaan yang menimpa kapal wisata di perairan Labuan Bajo Manggarai Barat. Kejadian mula-mula menimpa Kapal Layar Motor (KLM) Warisan Komodo II pada 8 Juli 2018. Kapal wisata tersebut tenggelam di sekitar perairan Manta Point. Menyusul kemudian pada tanggal 17 Juli 2017. Ketika itu dua kapal wisata saling bertabrakan di Pelabuhan Pelni Labuan Bajo. Selanjutnya, pada 30 Juli 2017, kapal wisata KM. Vercase Jaya yang mengangkut 19 Mahasiswa Universitas Wacana Yogyakarta tenggelam di seputar Pulau Padar.

Memasuki tahun 2018, kecelakaan kapal wisata justru meningkat. Sepanjang Januari sampai Agustus 2018 saya mencatat terjadi 4 kecelakaan besar. Kecelakaan pertama terjadi pada 30 Januari 2018. Kapal Motor (KM) Merpati wisata milik perusahan Devers Paradise Komodo terbakar di Pelabuhan Labuan Bajo. KM Merpati merupakan kapal wisata. Selain untuk mengangkut wisatawan di seputar Taman Nasional Komodo (TNK) kapal itu juga digunakan mengangkut wisatawan khusus Dive.

Kemudian, pada 22 Juni 2018 sebuah kapal cepat (speed boat) milik perusahaan perjalanan wisata Alba Cruise yang bermarkas di Labuan Bajo, terbakar di dermaga Loh Liang, kawasan Taman Nasional Komodo. Walau tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu, namun ada beberapa anak buah kapal yang mengalami luka bakar karena berada di dalam speed boat ketika peristiwa kebakaran terjadi.

Menysul pada 7 Agustus 2018, lagi-lagi sebuah kapal wisata jenis perahu cepat Molise milik perusahaan jasa angkutan wisata Alba Cruise terbakar di perairan Pulau Padar di kawasan Taman Nasional Komodo. Saat kejadian tersebut, kapal sedang mengangkut 15 wisatawan menuju lokasi wisata pulau Padar.

Terakhir pada 10 Agustus 2018, kapal KM Altaf yang mengangkut wisatawan asing tenggelam di Pantai Ping Beach. Sebanyak 18 orang penumpang selamat dan berhasil dievakuasi ke Labuan Bajo. Saat kejadian, kapal hendak menurunkan wisatawan yang hendak snorkeling namun menabrak karang.

Soal Keempat:
Soal pungutan liar yang menimpa para pelaku wisata khususnya pengelola kapal wisata. Soal ini muncul pertama kali pada Mei 2017, ketika salah seorang pegawai pada Kantor Kesehatan Pelabuhan wilayah kerja Labuan Bajo, Pina Yanti Pakpahan  membongkar praktek pungli di institusi tempatnya bekerja.

Pina punya alasan sendiri dalam membongkar dugaan pungutan liar ( pungli) terhadap sejumlah kapal pesiar yang dilakukan oleh oknum yang bekerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan wilayah kerja Labuan Bajo. Menurut Pina, alasan dirinya mengungkap pungli di tempat kerjanya yakni agar semua masyarakat tahu tentang aturan tarif maupun pengurusan surat-surat yang tidak dikenakan tarif alias gratis.

Kisah bermula, ketika Pina menanyakan terkait pungutan yang dibebankan kepada kapal wisata ukuran 5 GT. “Saya kaget saat saya melayani pemilik kapal ukuran 5 GT yang hendak menerbitkan dokumen kesehatan kapal menyerahkan uang Rp 30 ribu,” kata Pina ketika itu. Menurut dia, untuk kapal ukuran di bawah 6 GT sesuai aturan PP 21 tahun 2013 tidak dikenakan biaya. Karena itu dia kembalikan uang pemilik kapal tersebut.

Selanjutnya, usai mengembalikan uang pemilik kapal Pina pun menanyakan pungutan ini kepada rekan kerjanya. Namun jawaban dari rekannya tersebut malah dengan nada marah-marah. “Karena hal ini janggal akhirnya saya tanyakan ke teman kerja saya,” tukasnya.

Karena mempertanyakan hal tersebut rekan kerjanya yang diketahui bernama Efraim malah balik bertanya, “apa kompetensimu mempertanyakan pungutan ini?”. Atas kejadian tersebut, Pina dan Efraim pun sempat terlibat adu mulut di ruang kerja mereka. Saat adu mulut berlangsung, koordinator pelayanan kesehatan Marsel Elias membentak keduanya dan mengusir mereka pulang.

Ternyata, pungli ini sudah terjadi sejak sekian tahun dan tidak pernah ada seorang pun yang bersiul ke publik, termasuk ‘korban’ yakni para pelaku usaha kapal wisata. Nikodemus Densi salah seorang pemilik kapal ukuran 5GT pada ketika itu kepada wartawan di Labuan Bajo mengatakan, dirinya sudah berulang kali membayar dokumen kesehatan kapal senilai Rp 30 ribu di kantor pelayanan kesehatan pelabuhan. “Saya baru tahu dari kejadian ini kalau kapal ukuran 5GT tidak dipungut biaya penerbitan dokumen, dari masalah yang menimpa ibu dokter ini baru saya paham,” kata pemilik kapal motor Rajo Go Ema tersebut.

Selain karena pelaku usaha kapal wisata tidak memahami aturan, juga ada dugaan bahwa pelaku usaha kapal wisata tidak mau berkomentar banyak, karena usaha kapal wisata pun banyak soal. Semacam mutualis simbiosis, antara pelaku usaha kapal wisata dan Institusi Kesehatan Pelabuhan saling ‘baku sembunyi’ kekurangan.

Soal Kelima:
Semua soal di atas sebenarnya bersumber dari soal terakhir ini, yakni belum ada kebijakan yang tegas dan mengikat terkait Usaha Wisata Perahu Layar di Kabupaten Manggarai Barat, khususnya di Labuan Bajo. Dalam konteks pariwisata Labuan Bajo mestinya pemerintah daerah perlu menetapkan aturan turunan dari Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Standar Usaha Wisata Perahu Layar.

Siapa pun boleh tidak sependapat dengan argumentasi saya, tetapi fakta bahwa tidak ada mekanisme kontrol dari (alih fungsi) kapal motor nelayan menjadi kapal wisata, membanjirnya kapal-kapal wisata yang datang ke perairan Labuan Bajo, ketidakpastian harga kapal wisata untuk semua paket trip, kecelakaan kapal yang terjadi secara beruntun dan semakin banyak serta pungutan liar Institusi Pelabuhan terhadap kapal-kapal wisata adalah karena kealpaan perangkat hukum yang mengatur, mengawal dan selanjutnya mengevaluasi serta memberi sanksi tegas dan jelas untuk semua soal-soal itu.

Walau memang, pada Agustus 2018, Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dulla sudah berjanji akan menerbitkan peraturan daerah (Perda) terkait penataan kapal-kapal wisata yang beroperasi di Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun perlu dicatat bahwa perangkat aturan yang dimaksud bukan hanya untuk menjawab terkait keselamatan wisatawan atau seputar KIR, mesin, nahkoda, kapasitas, hingga fasilitas keselamatan seperti pelampung dan lainnya, tetapi juga secara komprehensif menuntaskan semua soal di atas. Di antaranya adalah bagaimana perda tersebut harus menyelamatkan warga lokal dalam mengembangkan usaha kapal wisata.

Catatan Akhir
Mengapa perangkat hukum dalam dan melalui Perda menjadi mendesak untuk diterbitkan. Pertama, sebagaimana sudah dijelaskan di atas adalah untuk mengatur, mengawal dan selanjutnya mengevaluasi serta memberi sanksi tegas dan jelas terhadap usaha kapal wisata di Manggarai Barat.

Kedua, sebagai indikator dan bukti keberpihakan pemerintah daerah terhadap warganya. Sebab mulai dari proses sampai dengan hasilnya, warga dilibatkan secara aktif. Terkait proses, sudah diatur dalam ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah poin 1 tersurat bahwa  masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Sementara itu terkait hasilnya perangkat hukum dimaksud bertujuan untuk Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, (dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (O. Notohamijojo, 1970:80).

Ketiga, dalam konteks tersebut di atas Peraturan daerah menjadi penting. Apalagi Labuan Bajo Manggarai Barat sudah menjadi salah satu sentra pasar pariwisata yang menjanjikan. Bersamaan dengan tingkat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, angka pertumbuhan investasi pun semakin meningkat. Banyak hotel bermunculan, pada saat yang sama usaha kapal wisata juga tumbuh. Persaingan bisnis akan semakin kencang. Kapal wisata lokal yang tumbuh secara organik, dapat dipastikan akan tersingkir jika perangkat hukum yang membentengi warganya tidak segera direalisasikan. (Kris da Somerpes)

Peraturan Menteri Pariwisat… by on Scribd

Publikasi Lainnya