SSP-LBJ, Reaksi penolakan warga Manggarai Barat merespon realisasi proyek pembangunan sarana wisata alam yang sudah dan akan dilakukan PT. Segara Komodo Lestari di Loh Buaya Pulau Rinca dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism di Loh Liang Pulau Komodo dan Pulau Padar, yang merupakan titik-titik strategis dalam kawasan konservasi Taman Nasional Komodo memuncak pada Senin, 6 Agustus 2018.
Gerakan aksi #savekomodo yang diinisiasi Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat ini tidak hanya menuntut dan mendesak DPRD, Pemda Manggarai Barat dan Balai Taman Nasional Komodo untuk bersama-sama mencabut semua izin yang sudah dikeluarkan kepada pihak swasta. Tetapi juga mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk solider dan peduli terhadap keberlanjutan Taman Nasional Komodo (TNK), karena TNK adalah kawasan konservasi bukan lahan investasi.
Ragam tuntutan, desakan dan ajakan itu tampak dalam berbagai atribut aksi seperti baliho dan spanduk dan juga yel-yel yang dinyanyikan sepanjang aksi digelar.
Atribut Aksi dan Yel-Yel
Latar Penolakan Warga
Gerakan aksi #savekomodo ini bukan lahir tanpa latar. Terdapat enam latar utama, mengapa gerakan aksi ini diadakan. Alasan penolakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, penguasaan (pengelolaan) pihak swasta atas titik-titik strategis dalam kawasan Taman Nasional Komodo tidak membawa manfaat apa-apa terhadap masyarakat dalam kawasan dan untuk Manggarai Barat dan Indonesia secara umum. Masalah yang muncul justru terjadi tipu daya dan daya tipu dengan melakukan pencaplokan sumber daya publik dan privatisasi (pengklaiman perseorangan) atas lahan (pulau) dalam kawasan TNK.
Pengalaman buruk pernah terjadi. Pada 2003 sampai dengan 2012 Taman Nasional Komodo pernah dikelola oleh PT. Putri Naga Komodo. Dengan mengantongi SK Kemenhut No. 195/Menhut – II/2004 tanggal 9 September 2003, PT Putri Naga Komodo diberikan Ijin untuk Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun terhitung sejak 2004 s/d 2034. PT. PNK merupakan joint-venture (perusahaan kerjasama) antara PT. Jayatsa Putrindo, (kepunyaan seorang pengusaha bernama Feisol Hasil yang juga pemilik Alam Kul-Kul) dan perusahaan lain yang menyertainya adalah The Nature Conservancy (TNC).
Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini kemudian bubar tanpa ada pertanggungjawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara perusahaan dan Departemen Keuangan terkait dana konservasi sejumlah 16 milyard rupiah. Tidak hanya itu, pada Mei 2015 beredar luas berita yang menunjukkan adanya pengklaiman atas pulau Mawan oleh Alam Kul Kul. Pulau Mawang adalah salah satu pulau yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Kedua, kehadiran pihak swasta dalam pengelolaan kawasan strategis Taman Nasional Komodo akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dalam kawasan dan juga para pelaku usaha wisata lokal. Seperti diketahui izin usaha yang diberikan kepada pihak swasta adalah izin usaha jasa dan sarana pariwisata alam, dimana pihak swasta tidak hanya akan merealisasikan proyek fisik seperti pengadaan artshop, villa dan menyediakan jasa pramuwisata tetapi juga akses terhadap jalur-jalur wisata akan dikontrol secara ketat. Jika ini yang terjadi maka ragam usaha masyarakat setempat seperti homestay, atau penginapan warga, usaha ekonomi kreatif warga, kapal wisata dan naturalis guide akan tersingkir dengan sendirinya.
Ketiga, realisasi proyek fisik seperti villa, homestay dan tempat publik fisik lainnya dalam kawasan taman Nasional Komodo akan membawa dampak buruk pada keberlanjutan kealamiahan kawasan Taman Nasional Komodo. Ruang hidup dan penghidupan (habitat) satwa komodo dan hewan lainnya akan terganggu. Siklus dan rantai eksosistem alamiah akan rusak. Suasana alam yang liar akan menjadi bising dan tidak terelakkan akan menyebabkan polusi (tanah dan udara). Kawasan pulau Padar, Pulau Rinca dan Pulau Komodo serta 146 pulau lainnya dalam kawasan Taman Nasional Komodo dibentuk sejak tahun 1980 diniatkan untuk menjaga keberlangsungan satwa dan habitat alamiah Komodo bukan untuk diinterupsi dengan proyek-proyek investasi jangka pendek, menguntungkan segelintir orang dan yang menggangu cita-cita konservasi berkelanjutan.
Keempat, minat wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan menurun. Sebab seperti diketahui berdasarkan kesaksian para pemandu wisata lokal di Manggarai Barat, tujuan utama para wisatawan mengunjungi Taman Nasional Komodo selain untuk menikmati keindahan alam bawah laut juga untuk menikmati keindahan alam daratan yang bebas dan liar, mendapatkan akses belajar untuk penelitian lapangan (untuk tamu minat khusus), pun untuk mengalami secara lebih dekat suasana alam liar dan bagiaman satwa komodo itu hidup di habitat aslinya. Kehadiran banguan fisik seperti homestay, villa dan lain-lain dalam kawasan Taman Nasional Komodo sudah barang tentu akan mengganggu akses, manfaat dan kepemilikan para publik luas (baik wisatawan, peneliti baik domestik maupun mancanegara) terhadap keindahan, kekayaan alam dan kealamiahan (habitat dan ekosistem) kawasan Taman Nasional Komodo.
Kelima, dalam tataran kebijakan dan regulasi, terkesan, Pemerintah Pusat melalui Balai Taman Nasional Komodo dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat tidak berpihak pada masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Dalam melalui instrumen hukum yang dibuat, pemerintah meloloskan dan membiarkan pihak swasta untuk bukan hanya mengelola kawasan strategis tetapi juga merebut ruang kepemilikan, akses, dan manfaat pembangunan pariwisata. Sementara di sisi lain, ruang hidup dan penghidupan warga dibatasi dan dimarjinalisir. Dalam jeratan kebijakan konservasi, warga dalam kawasan taman nasional komodo bukan hanya dilarang untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada (mendirikan sekolah, melaut dan membuka akses jalan), tetapi bahkan secara sistematis menyingkirkan warga dalam kawasan itu sendiri.
Bahkan Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (FORMAPP) dalam keterangan resmi yang dikeluarkan pada 5 Agustus 2017 dengan terang berpendapat bahwa telah terjadi konspirasi antara penguasa dan pengusaha dalam proses pemberian izin terhadap perusahaan yang mengelola kawasan Taman Nasional Komodo. Perihal itu tercantum dalam 12 poin catatan Formapp. Salah satu diantaranya adalah bahwa surat rekomendasi pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata Manggarai Barat kepada PT. Segara Komodo Lestari bernomor 569/44/II/Bupati/2013 ternyata tanpa konsultasi dan bahkan tanpa sepengetahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten manggarai Barat.
Keenam, alasan penolakan lain, yang sangat realistis dan mendesak adalah untuk membendung sekaligus menghindari masuknya pihak swasta (investor) untuk mengelola kawasan konservasi Taman Nasional Komodo. Sebab, jika mengizinkan dua perusahaan swasta di atas mengelola kawasan strategis dalam kawasan Taman Nasional Komodo bukan tidak mungkin pihak swasta lain akan berbondong-bondong merebut akses dan manfaat pembangunan yang seharusnya diniatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum. Oleh karenanya kita harus menentang keras rencana realisasi Proyek Usaha jasa dan sarana wisata alam yang dilakukan oleh PT. Segara Komodo Lestari di Loh Buaya Pulau Rinca dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo.
Tuntutan Gerakan Aksi #savekomodo
Terdapat lima tuntutan yang disampaikan oleh Formapp dalam aksi gerakan #savekomodo, salah satu tuntutan yang paling mendesak adalah meminta pemerintahan Manggarai Barat Barat untuk mencabut izin usaha jasa dan sarana wisata yang diajukan oleh PT. Segara Komodo Lestari dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism, dan selanjutnya menghentikan semua proses pembangunan fisik yang sudah dilaksanakan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, karena itu bertentangan dengan konsep ekowisata dan merusak habitat alam dan satwa komodo serta seluruh ekosistem alam dalam kawasan.
Tanggapan Pemerintah: DPRD, Bupati dan Kepala Balai Taman Nasional Komodo
Tanggapan DPRD Kabupaten Manggarai Barat
Di hadapan perwakilan masa gerakan aksi #savekomodo, tiga puluh (30) aggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat sepakat menolak realisasi proyek pembangunan yang dilakukan privat sector (Swasta/investor) dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
“Hari ini juga kami bersurat ke pemerintah agar mereka menghentikan pembangunan di pulau rinca itu oleh investor. Kami juga akan segera memanggil pemerintah, termasuk perizinan dan Dinas Pariwisata untuk rapat dengar pendapat. Kami di DPRD menolak pembangunan di Pulau Rinca itu,” kata Blasius Jeramun, Ketua DPRD, dalam dialog tersebut.
Tanggapan Bupati Manggarai Barat
Tanggapan Kepala Balai Taman Nasional Komodo