Pariwisata, Budaya dan Pembangunan: antara Harapan,  Mimpi dan Kenyataan (Cerita dari Ngadha-NTT-Indonesia Timur)

Buku yang ditulis oleh Stroma Cole yang berjudul Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia coba mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait keterlibatan komunitas masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Sumbangan penting dari buku ini adalah bagaimana mengaitkan konsep, teori dan data empiris dalam hubungannya dengan perkembangan pariwisata secara umum terutama terkait manajemen destinasi dalam arti tertentu. Penulis dengan begitu bagus menyajikan alur pembahasan yang otentik yang tentunya sangat bermanfaat bagi para penstudi yang berminat dengan tema-tema studi turisme seperti keaslian, globalisasi, baratisasi, komodifikasi, akulturasi dan homogenisasi.

Melalui studi etnografik yang dilakukan selama 16 tahun (1989-2005), Cole mengeksplorasi aspek yang kontroversial dari pembangunan pariwisata, terutama kurang tergarapnya masyarakat lokal sebagai agen utama pembangunan pariwisata. Daya tarik dari buku ini terletak pada penyajian cerita-cerita tentang kehidupan ri’il tentang kehidupan orang di kampung di tengah pembangunan pariwisata. Narasi-narasi ini memberikan informasi yang sangat kaya terkait komunitas masyarakat yang kurang diberdayakan dalam pembangunan pariwisata.

Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Pada bagian pertama, penulis menyajikan isu-isu terkait antropologi pariwisata, level perkembangan pariwisata dan kebudayaan masyarakat Ngadha. Studi ini mempertanyakan pola-pola bottom-up dan kemanjuran pendekatan berbasis komunitas dalam pembangunan pariwisata (58-61) dengan mengajukan argumentasi alternatif bahwa strategi-strategi pembangunan pariwisata harus merupakan sebuah strategi yang terintegrasi (61). Menurut Cole point penting yang seringkali diabaikan ketika berbicara tentang pembangunan pariwisata adalah pariwisata itu sendiri sebenarnya terkait dengan kehidupan sehari-hari orang di kampung. Pengabaian ini akhirnya membuat pembangunan pariwisata gagal mengangkat ekonomi setempat ketika kemiskinan dan ketimpangan justeru direduksi semata sebagai bagian dari budaya, dan bukan merupakan efek dari cara pembangunan itu sendiri. Karena itu Cole membongkar berbagai ideologi yang berada di balik sejumlah tipe pariwisata seperti kultural, etnik dan keadatan (indigenous) (61-63).

Pada bagian kedua, Cole berusaha mempertentangkan persepsi-persepsi dan kebiasaan-kebiasaan yang terbangun di antara para turis, komunitas lokal dengan para mediator. Menggunakan beragam perspektif, penulis begitu detail menjelaskan bagaimana tradisi, etnisitas dan kebudayaan secara strategis diartikulasikan, dibentuk, dimanipulasi dan digunakan untuk melayani kepentingan beragam dari para stakeholder. Buku-buku petunjuk informasi (guidebook) dan guide merupakan agen yang sangat berpengaruh dalam mengupayakan sebuah perubahan. Kedua-keduanya secara tidak langsung membentuk perilaku para wisatawan. Sebagai contoh perilaku yang menghina atau tidak sopan dari para turis cenderung muncul dari sebuah kesombongan budaya (yaitu pengabaian yang besar akan sensivitas atau reaksi komunitas lokal) daripada sebuah ketidaktahuan.

Pada bagian terakhir dari buku ini penulis berurusan dengan pengaruh pariwisata dan mengangkat hal-hal yang konfliktual dalam masyarakat sebagai efek dari kehadiran pariwisata. Pada kenyataannya pariwisata merupakan opsi yang dapat dengan muda diadaptasi sebagai jawaban atas kemandegan pembangunan ekonomi di tengah kemiskinan masyarakat agrikultural di Ngadha. Namun hal ini pada gilirannya mengarah kepada konflik nilai. Para turis seringkali melampaui norma-norma yang selayaknya harus dipatuhi oleh seorang tamu. Konflik juga terjadi antara orang kampung dengan negara dalam hal-hal tertentu khususnya terkait hak, kepemilikan dan persetujuan atas harta benda budaya dan modal-modal budaya.

Sumbangan utama dari buku ini terletak pada upayanya mengangkat isu-isu yang relevan dengan komunitas marjinal di berbagai belahan dunia. Tema utama yang muncul dari buku ini adalah appropriasi dan manipulasi aset-aset budaya dalam rangka pencarian keuntungan ekonomi melalui pariwisata seharusnya tidak boleh mengarah pada devaluasi pengetahuan-pengetahuan lokal dan merendahkan nilai-nilai lokal. Karena itu, orang-orang kampung harus diberdayakan dan ini merupakan sesuatu yang amat sentral dalam pembangunan turisme. (VH-SSP)

Download dan baca selengkapnya di sini:

Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia

Publikasi Lainnya