Artikel yang ditulis oleh Hellen Klimmek berikut ini merupakan saripati dari disertasinya yang berjudul “An examination of the barriers to local community participation in the dive tourism industry in Flores, Indonesia”. Artikel ini sedikit banyak mengulas tentang sejauh mana partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisita dive di Labuan Bajo.
Temuan Klimmek memperlihatkan bahwa dalam dive tourism di Labuan Bajo, masyarakat lokal dominan berposisi sebagai non participation category. Terma ini dipopulerkan oleh Daldeniz dan Hampton (2012) untuk melukiskan mentoknya peluang bisnis pariwisata bukan karena adanya indikasi penindasan, tetapi karena kurangnya peluang, modal serta skill dari pelaku wisata.
Menyinggung peluang pekerjaan dan bisnis masyarakat lokal dalam dive tourism misalnya, penelitian Klimmek memunculkan beberapa temuan penting. Mayoritas pemilik dive centre di Labuan Bajo adalah warga negara asing. Ini merupakan wajah umum pariwisata di Labuan Bajo. Masyarakat lokal rata-rata menempati bisnis-bisnis skala kecil (less capital-intensive businesses) seperti kedai makan dan minum, sementara hotel-hotel besar dan restaurant merupakan garapan orang asing atau menjadi “bisnisnya orang bule”.
Klimmek lebih jauh menemukan bahwa masyarakat lokal kalah bersaing dalam merebut posisi strategis sepert dive master atau instruktor. Masyarakat lokal rata-rata berebut posisi sebagai kapten atau awak kapal. Mengapa begitu? Kurangnya skill bahasa Inggris serta biaya latihan dive yang harus merogoh kocek tidak sedikit, menghambat peluang para pekerja lokal dalam dive tourism.
Terkait jejaring ekonomi dan bisnis (Economic Linkages), Klimmek menemukan bahwa dive tourism sekilas berimbas (trickle down effect) pada bisnis-bisnis masyarakat lokal. Wisatawan dive tourism yang menginap di hotel-hotel elit misalnya, cenderung makan di restoran dan warung-warung yang tersebar di pinggir jalan dan juga kadang-kadang mengunjungi pasar lokal untuk membeli buah-buahan segar, sayur dan daging. Sementara itu, makanan yang tersedia di restoran umumnya dibeli di pasar lokal atau juga disuplai dari Ruteng, sementara beberapa produk lain diimpor dari Lombok dan Bali.
Sebenarnya roda ekonomi rakyat dalam dive tourism bisa berputar lebih cepat. Kendalanya tourist dive yang datang ke Labuan Bajo rata-rata menggunakan jasa perusahaan Live-Abroad yang berada di luar Labuan Bajo. Karena itu, turis biasanya langsung dari Bandara menuju kapal. Mereka lantas menghabiskan beberapa hari atau minggu di dalam kapal. Dalam kajian pariwisata, jenis pariwisata seperti ini biasanya disebut dengan ‘enclave tourism’ (Britton, 1982), di mana terjadi interaksi yang begitu minim antara para turis dengan komunitas lokal (VH/SSP).
Artikel lengkapnya dapat di akses di bawah ini:
atau di sini