*) Ney Dinan
Artikel ini merupakan sebuah upaya refleksi terkait hubungan antara pertanian, orang muda dan migrasi dengan mengangkat fakta yang terjadi di dusun Tungku, Desa Golo kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai.
November 2017 yang lalu, saya diajak oleh Jessica, seorang mahasiswi doktoral di National University of Singapore untuk terlibat dalam sebuah penelitian terkait orang muda dan migrasi. Penelitian ini merupakan bagian penting disertasi doktoralnya yang mengangkat topik pertanian dan migrasi. Penelitian ini berlangsung dalam beberapa bulan, sejak bulan Desember dan masih berlanjut hingga sekarang ini. Penelitian ini dilakukan di 4 anak kampung yaitu kampung Wune, Mawe, Cumpe, Tungku di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Penelitian ini kemudian berlanjut di Labuan Bajo, Makassar dan Bali sebagai area tujuan migrasi.
Jessica memilih Cibal sebagai lokus penelitian karena dinilai mewakili semua kriteria terkait tema penelitiannya. Kriteria tersebut antara lain petani yang bekerja di lahan kering dan lahan basah, terjadi pengalihan fungsi lahan dari tahun ketahun dan anak muda yang sebagian besar memilih merantau. Dalam wilayah yang lebih luas, Jessica merasa bahwa selama ini sudah banyak sekali penelitian di Indonesia yang dilakukan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara masih sedikit penelitian yang dilakukan didaerah terpencil seperti Flores atau NTT pada umumnya. Ada banyak hal yang bisa digali di NTT apalagi tingkat migrasi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengunakan instrumen wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan dengan jalan mendatangi informan satu-persatu untuk diwawancarai berdasarkan pertanyaan-pertanyaan panduan. Observasi yang dilakukan antara lain mulai dari lingkungan sosial, tempat tinggal dan tempat kerja. Selain itu ada juga diskusi kelompok kecil dari setiap partisipan dibeberapa tempat.
Tulisan ini mengambarkan situasi-situasi yang menyebabkan semakin banyaknya orang muda bermigrasi dan di sisi lain semakin sedikit yang menjadi petani. Di Manggarai lambat laut dunia pertanian akan kehilangan tenaga kerja dan banyak lahan pertanian akan diterlantarkan. Secara nasional ini akan berdampak pada krisis pangan dan jumlah impor pangan kita akan terus meningkat setiap tahun. Dunia pertanian dinilai tidak sanggup lagi menarik perhatian orang muda. Hanya tersisa petani-petani tua yang bertahan mengarap lahan pertanian. Harga produk pertanian yang tidak stabil, lahan yang semakin terbatas, tenggang waktu panen yang lama, merupakan sebagian faktor penyebab menurunnya minat orang muda untuk bertani. Di sisi lain mereka dihadapkan pada situasi tawaran pekerjaan lain yang lebih menarik. Migrasi merupakan salah satu solusi ketika dihadapkan dengan banyaknya kesulitan yang mereka hadapi dalam dunia pertanian. Minimnya lapangan kerja di daerah sendiri, upah yang tidak layak, selain itu kemajuan teknologi informasi menjadi satu kebutuhan baru yang diakses kaum muda.
Berdasarkan uraian di atas, dua pertanyaan pokok yang hendak dijawab melalui penelitian ini antara lain:
Pertama, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan rendahnya minat orang muda untuk bertani?
Kedua, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tingginya minat orang muda untuk bermigrasi?
Mengapa Minat Orang Muda untuk Bertani semakin Menurun?
Faktor yang menyebabkan menurunnya minat orang muda untuk bertani antra lain mencakup faktor eksternal dan internal yang secara berturut-turut akan dipaparkan sebagai berikut.
Faktor Eksternal
Pertama, berkurangnya lahan pertanian. Jumlah penduduk yang bertambah setiap tahun tidak dibarengi dengan pembukaan daerah pertanian baru. Dengan demikian, sebagian besar warga tidak memiliki lahan yang cukup untuk diolah sebagai area pertanian. Tercatat bahwa pembagian Lingko (tanah ulayat) terakhir di Wune terjadi pada tahun 1967. Karena itu, generasi yang lahir sejak tahun 1970-an ke atas dipastikan tidak mendapat tanah secara langsung dari Tua Golo.
Bapak Romanus salah satu tokoh adat di kampung Cumpe mengatakan lingko terakhir yang dibagi di Cumpe adalah lingko Rame yang sekarang dijadikan kampung baru yaitu kampung Wune itu terjadi sekitar tahun 1967.
Mengatasi persoalan tersebut pada saat itu, salah satu cara yang dilakukan petani secara kolektif yaitu mengarap tanah hutan negara yang pada saat itu belum dikelolah sama sekali. mereka menanam aneka jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, dan jenis ubi-ubian. Aktivitas itu berhenti sejak adanya program penghijauan pada masa orde baru yaitu proyek penanaman kayu Ampupu sekitar tahun 1978-1979. Sejak saat itu mulai ada penertiban akses penduduk ke hutan dan masih berlanjut sampai hari ini.
Bapa Stanis salah satu petani yang tinggal di Kampung Wune mengatakan “ kami dulu bisa tanam di tanah “pal” tanaman ladang seperti padi, jagung dan ubi-ubian hasilnya bagus sekali. Subur sekali d isana. sejak proyek tanam Ampupu dimulai, kami pelan-pelan tidak berladang di sana. Waktu Ampupu masih kecil tanah sekitar pohon masih bisa digunakan. Tetapi ketika sudah besar tidak bisa ditanami apa-apa lagi.
Kedua, Tradisi pembagian tanah warisan dalam keluarga Manggarai. Dalam kebiasaan orang Manggarai, tanah dalam satu keluarga akan diwariskan ketika semua anak laki-laki sudah menikah dan orang tua tidak memiliki tanggungan lain. Hal ini juga menjadi penyebab mengapa orang muda kurang merasa memiliki atas lahan pertanian yang dimiliki orang tua. Bahkan dua keluarga muda yang kami wawancara mengatakan lahan pertanian masih dikelola orang tua karena masih ada adik yang sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka bekerja sebagai buruh harian dan kerja proyek.
Ketiga, adanya peralihan jenis tanaman dari tanaman jangka pendek ke tanaman jangka panjang. Proses ini bahkan terjadi sejak tahun 1974 yaitu pengalihan fungsi lahan yang sebelumnya dijadikan area sawah atau lahan kering tanaman jangka pendek, menjadi arena tanaman komoditi jangka panjang. Dengan demikian, sekitar tahun 1979 petani di empat anak kampung ini sudah mulai menanam kopi dan kemiri bahkan sebagiannya sudah mulai panen. Sedangkan jenis komoditi jangka panjang lain seperti Cengkeh, Kakao dan beberapa jenis kayu (Jati putih, Mahoni, Sengon) ramai ditanam sebelum akhir 1990an sampai sekarang. Secara umum situasi ini bisa ditemukan di sebagian besar wilayah Cibal bagian Timur. Ada pun lahan sawah yang masih digarap umumnya berupa sawah tadahan yang hanya dikelola pada saat musim hujan. Pengakuan beberapa petani mengatakan bahwa tanaman jangka panjang tidak menyita banyak waktu untuk bekerja di kebun.
Keempat, menjamurnya proyek pemerintah dan swasta. Dalam sepuluh tahun terakhir proyek-proyek pembangunan infrastruktur menjamur di desa-desa dan kota di Flores. Hal ini memberi peluang kerja yang baru bagi petani. Dengan demikian, sebagian besar petani dari dusun Tungku beralih profesi sebagai pekerja proyek yang mencakup proyek jalan, bangunan dan menjadi tenaga buruh kasar. Pada bulan Maret 2018 kurang lebih 20 petani dari kampung Tungku bekerja di Labuan Bajo sebagai pemecah batu. Batu-batu yang telah dipecahkan kemudian dijual kepada pembeli.
Aloysius orang pertama dari Tungku yang mulai bekerja sebagai pemecah batu di Labuan Bajo. Dia mulai bekerja di Labuan Bajo sejak tahun 2009. Aloysius membawa serta istri dan 4 anaknyasejak tahun 2010. Setiap hari dia bekerja mengumpulkan batu dan menjualnya kepada sopir truck dengan kisaran harga 1 ret sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000. Dalam seminggu ia bisa menjual 3 ret. Dari hasil kerjanya Aloysius bisa membuat rumah besar 2 lantai dikampung Tungku. Dari situlah banyak orang dari Tungku termotivasi untuk ikut bekerja sebagai pengumpul batu. Kedua orang tua Aloysius juga turut bekerja dan tinggal di lokasi Kumpul batu. Aloysius memiliki lahan dikampung dan ia memilih untuk tidak mengerjakannya. Selain karena hasilnya sangat sedikit,panenan musiman menurut Aloysius akhirnya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cepat. Selain berhasil membangun rumah, uang dari hasil kerjanya digunakan membiayai kebutuhan makan minum setiap hari, biaya sekolah anak juga urusan adat dikampung.
“Saya Akan tetap kerja disini sampai saya tidak kuat lagi atau tunggu diusir pemerintah” Dulunya ada retribusi setiap kali ada penjualan batu. 1 kali angkut 25.000 buat dinas pertambangan tapi sudah tidak berlaku lagi sekarang.
Kelima, harga jual produk pertanian yang tidak stabil. Selama ini yang terjadi adalah ketika musim panen harga produk pertanian cenderung menurun.Ketentuan pemerintah tentang harga produk pertanian selalu berbeda dengan kenyataan di pasar. Disatu sisi ketiadaan asosiasi petani juga menjadi faktor penting. Belajar dari asosiasi buruh (di Jakarta) misalnya, ketika ketimpangan harga terjadi, semua petani memiliki suara yang sama sehingga langsung berdampak pada kebijakan harga.
Keenam, pertanian konvensional membutuhkan biaya yang besar dan membutuhkan energi yang banyak. Pertanian di kampung Tungku, rata-rata masih dikelola secara konvensional, walaupun sudah ada berbagai bentuk bantuan teknologi dari pemerintah. Sebagian besar wilayah dusun Tungku (Cumpe, Wune, Mawe, Tungku) memiliki tingkat kemiringan yang cukup tinggi yang menyebabkan bantuan teknologi dari pemerintah tidak digunakan secara maksimal.Sebagai contoh, rata-rata tinggi teras sawah mencapai 5 meterdan lebar berkisar 1 meter hingga 3 meter yang menyebabkan penggunaan teknologi seperti traktor menjadi sulit. Sejauh ini hanya mesin rontok padi yang bisa digunakan walaupun harus dipikul dengan tenaga manusia saat memindahkannya dari satu kebun kekebun yang lain. Sehingga pertanian masih membutuhkan banyak tenaga manusia dan biaya yang cukup besar. Hal ini berdampak juga banyaknya lahan yang tidak lagi dikerjakan atau lahan tidur.
Ketujuh, sterotype bertani sebagai pekerjaan kelas bawah. Anggapan petani sebagai golongan kelas bawah diyakini bahkan oleh petani itu sendiri. Berberapa orang yang diwawancarai menjawab ketika ditanya harapan apa yang mereka miliki untuk masa depan dari anak-anaknya. Semua rata-rata menjawab “cukup kami yang bekerja sebagai petani. Anak-anak kami setidaknya bisa kerja di dalam ruangan. Jangan di bawah matahari langsung”. Anggapan ini ditemukan sebagian besar responden yang berkeyakinan bahwa menjadi petani adalah opsi terakhir yang mereka miliki. Sterotype ini juga yang menjadi pemicu sebagaian anak muda yang bersekolah enggan menjadi petani.
Kedelapan, moderninasi berupa perkembangan teknologi. Ada juga faktor lain yang mempengaruhi rendahnya minat orang muda menjadi petani. Perkembangan teknologi yang kian canggih, ilmu pengetahuan yang berkembang pesat menjadi pembeda pada setiap generasi. Zaman generasi tua (1970-an kebawah) ketika akses pendidikan, teknologi dan ilmu pengetahuan belum semumpuni seperti sekarang ini, orang masih banyak orang yang mau menjadi petani. Perputaran uang di masyrakat pun masih sangat terbatas, yang berdampak pada sedikitnya orang yang berpendidikan tinggi dan sebagian besar tinggal di kampung dan tidak punya pilihan pekerjaan yang lain selain bertani. Era sekarang generasi muda diberi akses yang cukup banyak untuk pendidikan, teknologi dan sumber daya lain yang memberi mereka opsi lebih banyak untuk bekerja. Sebagian dari opsi tersebut mereka temukan di kota atau tempat lain yang secara infrastruktur mudah diakses. Contohnya, anak muda atau mereka yang berada pada usia produktif dari empat kampung ini umumnya bermigrasi ke Labuan Bajo, Makassar dan Bali.
Faktor Internal
Selain faktor-faktor eksternal yang memicu semakin berkurangnya petani, ada juga faktor internal seperti berikut ini
Pertama, ingin mendapat uang lebih cepat. Sebagian besar petani merasa bahwa mendapatkan income dari pertanian membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga beralih profesi seperti menjadi pekerja proyek, pengojek atau merantau ke luar pulau menjadi pilihan yang tepat. Beberapa anak muda dari empat anak kampung ini yang kami jumpai di Makassar mengatakan bahwatuntutan kebutuhan hari yang makin tinggi sepertinya tidak bisa dipenuhi dengan hanya memilih tinggal di kampung sambil menunggu hasil pertanian yang musiman.
Kedua kuatnya mindset gengsi menjadi petani. Hal yang paling menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah kaum muda sarjana yang tinggal dikampung. Dalam wawancara kami dengan beberapa orang dari antara mereka rata-rata menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan. Walaupun masih ada yang tetap bekerja membantu dibidang pertanian sambil menanti informasi lamaran kerja mereka diterima disuatu sekolah. Ujaran yang kerap lontarkan bahwa sangatlah tidak elok bagi orang-orang yang berpendidikan tinggi tidak menjadi petani. Dengan dialek yang rada Makasar, seorang anak muda sarja berujar“Begini tho, masa kita menjadi petani lagi sementara orang tua susah-susah mengirim kita sekolah. Kalau jadi petani tidak usah sekolah tinggi-tinggi”.
Mengapa orang Muda Merantau?
Pilihan orang muda untuk bermigrasi dikondisikan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, melanjutkan pendidikan. Melanjutkan pendidikan merupakan salah satu alasan orang muda bermigrasi. Sekolah di kota besar seperti Makassar konon menelan biaya yang lebih murah jika dibandingkandengan kuliah di perguruan tinggi di Flores. Sebagai contoh biaya kuliah di YASPIM Makasar untuk 1 tahun kuliah hanya menelan biaya SPP dan uang ujian sekitar Rp 2.400.000. YASPIM adalah salah satu kampus yang kami kunjungi di Makassar di mana 98% mahasiswa/i berasal dari Flores. Sebagian besar mereka kuliah sambil kerja. Patris salah satu mahasiswa mengatakan “saya menyadari ekonomi keluarga saya tidak memungkinkan jika saya kuliah di Flores. Disini saya bisa biaya sendiri. Kalau di Flores menjadi mahasiwa ya semuanya harus dibayar orang tua”.
Kedua, pilihan pekerjaan yang lebih banyak dikota. Di Makassar kami menemukan beragam pekerjaan yang dilakukan oleh anak muda dari keempat anak kampung ini seperti penjaga toko, kerja di hotel, pelayan di bar dan restoran. Mereka mengatakan “jika kami tinggal dikampung pilihan kerja sangat terbatas, kalau bukan petaniya kerja proyek. Yang memiliki ijasah hanya 2 pilihan kalau bukan guru ya tenaga medis. Itupun jumlahnya sangat kecil.”
Ketiga, upah kerja yang lebih baik. Kerja dikota besar seperti Makassar atau Bali biasanya mempunyai upah minimum pekerja yang lebih tinggi. Ana salah satu yang punya pengalaman bekerja sebagai pekerja domestik (rumah tangga) di Ruteng sebelumnya digaji gaji hanya sektar Rp 600.000 untuk satu bulan sambil “tinggal dalam” (tinggal dengan pemilik usaha). Di Makassar dia mendapat gaji Rp 1.500.000 perbulan untuk pekerjaan yang sama. Kemudian jika dibandingkan dalam dunia pertanian. Upah sehari bekerja untuk tenaga kerja laki-laki sebanyak Rp 50.000 sedangkan untuk perempuan Rp 25.000. ditempat-tempat proyek mendapat upah 80.000-100.000 perhari. Pembagian jenis kerja dan upah yang sangat rendah dihadapi oleh perempuan-perempuan dikampung. Sebagai alternatif banyak yang memilih merantau dan menenun.
Keempat, akses hidup yang lebih mudah.Infrastruktur merupakan salah satu alasan yang membuat anak muda betah tinggal dan kerja dikota. Beberapa anak muda mengatakan salah satu penyebab mengapa banyak desa atau kampung yang ditinggalkan hampir sebagian besar anak muda adalah keterbatasan infrastruktur. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa “kami mau berbisnis dikampung tetapi sayang infrasturktur tidak menunjang.”
Kelima, mencari pengalaman. Tidak sedikit para pencari kerja dikota yang memiliki pengalaman kerja minim dari kampung dan juga latar belakang pendidikan yang rendah. Di Kota mereka lebih muda mengakses pengalaman dan keterampilan-keterampilan tertentu seperti mengikuti kursus.
Pertanian Mau ke Mana?
Dampak dari Berkurangnya anak Muda di pertanian dan tingginya Migrasi
Pertama, Tersisa petani generasi tua dikampung. Anak muda yang menjadi partisipan penelitian ini berkisar 17-30 –an tahun. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai petani. defisini Petani yang dimaksudkan yaitu bertani membantu orang tua dan menjadi buruh upah harian. jadi bukan petani tulen yang mengarap lahanya sendiri. Rata-rata petani yang berusia diatas 50 an tahun yang masih aktif bekerja sebagai petani.
Kedua, Banyak lahan kosong/ lahan tidur. Fenomena ini dijumpai hampir pada keluarga yang orang tuanya sudah tua dan anak-anaknya bermigrasi. lahan yang sudah ditanami ditelantarkan dengan alasan tidak sanggup mengelolahnya lagi.
Ketiga, sulitnya mencari tenaga kerja laki-laki pada musim kerja. Ada pembagian jenis kerja antara perempuan dan laki-laki. Pada musim bajak misalnya, karena yang biasanya bekerja adalah laki-laki dan kondisi pekerja laki-laki sangat terbatas maka sebagian petani pekerja laki-laki dari kampung lain. Ini salah satu solusi yang mereka bisa lakukan ketika tidak mendapatkan tenaga kerja. Ada fenomena perempuan juga merambah pekerjaan laki-laki.
Keempat, terputusnya rantai pengetahuanlintas generasi. Pengetahuan pertanian konvesional dicemaskan hanya menjadi milik generasi tua. Bukan hanya pengetahuan tentang pertanian, tetapi juga pengetahuan lain yang diwariskan secara turun-temurun seperti menenun, mengayam tikar dan keranjang (roka) membuat gedek (dinding bambu)
Kelima Secara global akan ada krisis makanan. Indonesiadengan pola kebiasaan 3 kali sehari makan nasi. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya impor makanan setiap tahun
Sejumlah Rekomendasi
Pertama, membangun balai pelatihan untuk anak muda dalam dunia pertanian maupun keterampilan lain yang menunjang pekerjaan mereka dalam dunia pertanian.
Kedua, memberi modal kerja.Modal merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi anak-anak muda untuk memulai usaha. Karena itu, pemerintah perlu membantu mereka dalam mengakses dana ke Bank. Solusi lain adalah bagian pertahanan membuat sertifikat tanah gratis untuk anak muda sehingga mereka bisa menggadaikan sertifikat tersebut dan mendapat dana dari bank.
Ketiga, analisis kebutuhan sebelum membuat program. Bantuan yang tidak tepat sasaran terkesan hanya menghambur-hamburkan uang negara di kampung-kampung. Contoh pemberian hand traktor untuk wilayah Cibal yang sangat curam bukanlah susuatu yang tepat
Keempat, perbaikan infrastruktur. Memperbaiki insfrastruktur seperti jalan, listrik, air minum bersih. jawaban yang paling banyak ditemukan selama proses wawancara dibeberapa tempat menunjukan bahwa salah satu penyebab utama mengapa orang muda enggan untuk pulang kampung dan memilih kerja dikota-kota besar karena keterbatasan infratruktur.
Marselinus salah satu yang kami wawancarai di Bali mengatakan: “saya memiliki kemampuan yang sangat baik di bengkel kayu. Saya mau saja kerja di kampung sambil merawat kebun tapi itu tidak mungkin. Disana tidak ada listrik. Masa iya saya hanya tunggu musim panen kopi baru punya uang”
Mengontrol Pasar. memastikan bahwa aturan tentang harga benar-benar dijalankan.
Keenam, sharing land. beberapa anak muda mengatakan memilih lahan pertanian yang sangat terbatas dan mau bertani. disisi lain ada juga yang memiliki lahan yang banyak namun tidak digunakan. Berbagi tanah saya pikir sebuah solusi.
*) Pengampu Rumah Tenun Baku Peduli sekaligus peneliti pada Sunspirit