Bulan Agustus tahun 2016, kami mewawancarai Pak Saeh, pengrajin patung di kampung Komodo. Saat itu, ia tengah asyik memahat patung di bawah kolong rumahnya. Berdasarkan informasi yang kami dengar sebelumnya, ia termasuk salah satu tokoh yang mengetahui sejarah masyarakat di Komodo. Meskipun, sebenarnya terdapat banyak sejarah yang diceritakan.
Hasil wawancara ini telah kami edit seperlunya tanpa mengubah substansi. Hal itu dibuat untuk memudahkan pembaca mengingat ucapan lisan agak sulit dicerna karena hambatan teknis seperti dialek dan gaya pribadi dalam berbicara.
Bapak boleh diceritakan bagaimana asal usul orang komodo dengan komodo?
Kalau di sini ada tiga suku. Suku komodo itu namanya Mpu Najo. Yang kedua suku Atawela datangnya dari Manggarai, setelah itu suku Sumba. Lalu ada suku Atalabo ada orang Manggarai juga.
Jadi ceritanya sebetulnya suku yang pertama masuk itu adalah suku Atawela. Mereka entah tujuannya kemana, tapi mereka terdamparnya disini. Tidak lama kemudian mereka ketemu dengan Mpu Najo. Jadi suku Atawela ini kawin dengan Mpu Najo.
Perkawinan itu tidak ada peningkatannya. Soalnya, kalau perempuan itu sudah hamil dan [pada saat] dia melahirkan itu, perutnya dibelah. Ibunya mati, anaknya hidup. Tidak pernah ada berkembang. Jadi tidak ada pengembangan.
Kemudian, datangnya Suku Sumba katanya mau ke Bima, ternyata terdampar di sini. Pada saat itu, si suaminya ini gelisah [karena istrinya hail tua]. dia lagi pergi ke pantai dan menangis saja.
Orang keturunan Sumba tanya, “kenapa kamu menangis?
Dia jawab, istri saya nanti mau dibelah perutnya.
“Tidak bisa begitu”
“Seharusnya bagaimana?”
Nanti kita naik. Jadi, mereka naik. Mereka naik itu ke kampung Najo. (konteksnya, mereka tinggal di wilayah pegunungan)
Di situlah proses melahirkan itu terjadi. Dibantu orang Sumba. Jadi kalau melahirkan itu , ada dukun kampungnya orang Sumba. Jadi, melahirkan tidak dibelah [lagi] perutnya, tapi dengan cara biasa seperti sekarang.
Disitulah ada perkembangan masyarakat di sini. Orang Sumba tinggal di sini datang. Juga orang Atalabo itu tinggal disini. Sehingga manusianya sudah berkembang biak.
Pada saat itu dibagi satu wilayah, wilayah ini bagian orang Sumba di wilayah Rebong, bagian orang Atawela itu sekitar kampung sini kampung Komodo, kalau orang Atalabo itu sekitar Gunung Ara ke sana, dari Suku Bima itu di Loh Sebita.
Jadi secara manusianya, masyarakat komodo itu dulu melahirkan dibelah datang orang dari Sumba baru bisa melahirkan seperti sekarang.
Bagaimana hubungannya dengan komodo?
(Nah di situ, tapi saya ada bukunya, baca saja bukunya, nanti saya lihat. Mungkin kalau kenal Pak Malik buku saya dia sudah foto. Kalau dia sudah abil saya punya, di Pak Malik itu ada semua. Jadi ceritanya cuma singkat saja.)
Tapi masing-masing orang di sini sudah tahu kalau misalnya saya keturunan dari Atawela, saya dari ini keturunan sumba. Atau bagaimana?
Masih. Saya keturunan orang Atawela, H. Aksan Kepala Desa itu, kita kan satu nenek. Kalau dari Sumba itu termasuk H. Aksan Kepala Desa, kalau mamanya orang Atawela bapaknya orang Sumba. Sudah campur.
Kalau dari Bugis ada juga disini?
Kalau dari Bugis mungkin baru barusan. Kalau saya tidak salah, keturunan Bugis itu ada yang dulu seumuran saya ketika umur 10 tahun. Mereka ajarkan cara menangkap ikan. Kami itu kan dulu tahunya hanya jaring udang, ambil udang, ambil gabang, kalau untuk yang di laut itu belum. Masuk orang Bugis, baru kami tahu cara menangkap ikan di laut. pakai lampu dari orang Bugis. Kalau Bima, itu hanya pukat.
[jadi] dulu jaring sama berburu. Juga ambil raut (umbi-umbian) di hutan. Tapi ada perubahannya, masyarakat komodo cara tangkap ikan di laut yang pakai lampu itu dari Bugis.
Itu terjadi kapan mulai pertemuan dan perubahan itu?
Tahunnya sih kita tidak ingat. Karena kami ini generasi kesepuluh atau bagaimana ini. Kalau saya tidak salah dengar tahun 45 itu kan rumah di sini paling banyak sekitar 30. Jadi penduduk sangat sedikit sekali. Karena orang tinggal itu sebenarnya di Lenteng, jadi kesini itu sifatnya hanya datang sementara, pulangnya lagi di Lenteng.
Karena mereka banyak tanah itu di Sofenar (tidak jelas apa yang diucapkan oleh Pak Saeh) di Golo Mori, semua orang komodo tahu semua. Yang ada sisanya kan hanya di Sofenar saja sama di Rinca. Jadi mereka dulu itu mungkin pikiran saya, keturunan kami dulu itu datang hanya datang untuk pasang bubuk lah, berburu disini, sehingga pulang lagi kesana. Jadi, orangnya tidak terlalu menetap disini.
Jadi bahasa di sini sama dengan di orang Rinca?
Iya sama, bahasa komodo di orang Sofenar itu. Di Werloka juga tidak tahu bahasa komodo tapi bahasa Bima semua. Karena tahunya bahasa di Sofenar itu kan sisa tempat tinggalnya orang komodo, di Pulau Rinca juga. Jadi di tiga tempat inilah yang tahu bahasa komodo, selain dari itu tidak tahu.
Kalau yang ngerti bahasa Manggarai di sini itu rata-rata orang tua. bapak saya juga tahu semua bahasa Manggarai. Kami-kami yang kecil ini ya begitu, anak-anak komodo juga yang ngerti bahasa komodo itu. tp sudah mirip-mirip ke bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sementara bahasa asli sendirinya yang banyak yang tidak tahu, karena jelek bahasa aslinya itu mau dijadikan diterjemahkan ke bahasa Indonesia, tidak cocok.
Kalau mau tahu tentang sejarah, siapa saja yang bisa menjelaskannya?
Versi sejarah itu macam-macam. Biasanya juga ke H. Amin. Tapi H. Amin dengan saya itu beda. Kalau menurut orang mungkin benar menurut H. Amin, tapi menurut saya berdasarkan cerita nenek-nenek saya dulu itu pas, itu menurut saya.
Tapi menurut orang di kampung ini ya, kalau kita ke desa paling kita disuruh ke H. Amin . Dia yang tertua di Kampung Komodo. Dia yang mensejarahkan.
Kalau sejarah Atawela, tanya di Bapak Asing (tidak sempat di wawancarai). kalau Atalabo itu di Bapak Hamzah. sering orang pergi kesana. Kalau saya ini belum termasuk sejarah, karena saya masih paling sambar-sambar begitu saja. Tapi mereka juga belum ditetapkan oleh desa jadi orang yang ceritakan sejarah. Tapi orang yang mau penelitian ingin tahu sejarahnya komodo itu, ya mereka.
Tapi untuk mempersatukan sejarah ini, belum ketemu, belum diatur. Perbedaan di sini kan begini. Kalau dari suku Sumba menyatakan saya orang pertama, kalau dari suku Atawela saya orang pertama, kalau dari suku ini macam-macam.
Misalnya cerita komodo. Ada yang bilang cerita komodo itu ibunya ini, mamanya ini, lahirnya disini, versinya terlalu banyak. Tapi kalau kita melihat sejarah atau saya mendengar dari orang tua saya sendiri waktu itu, kan belum ada yang sekolah kan di sini tahun 70-an itu belum ada sekolah di sini, tahun 90 atau 80 baru ada.
Jadi, nenek saya itu sering cerita asal usul komodo itu dari sini. ibunya ini, bapaknya ini. Tapi sekarang itu anak sudah tidak tahu, apa yang saya omong hari ini bapaknya itu tidak dipercaya, tanya kesini lain tanya ke sana lain. Jadi orang yang kumpul sejarah ini bingung, akhirnya ulang lagi. Begitu terus. Tidak ada ketemu-ketemunya. Karena suku kan banyak, kalau suku Atawela menyatakan begini nanti suku Atalabo beda lagi. Punya orang Sumba lain lagi.
Jadi kesimpulan sekarang yang kami ambil itu, orang Atawela ini datang dengan putri, mereka punya saudari itu namanya Lasa. Oba sama orang Atawela yang berdomisili disini. Jadi si putri ini kawin dengan Mpu Najo. Itu sudah kesimpulannya kami ambil sekarang, jadi dari anaknya Mpu Najo ini yang dilahirkan oleh orang Sumba itu. lalu lahirlah yang namanya Oni, mamanya Eva, baru nama anaknya itu lupa saya ada di buku.
Kesimpulannya sekarang anaknya Mpu Najo itu keturunannya komodo bercampur darah dengan orang Atawela.
Tahun 79 itu, namanya Hamno, tapi dia komodonya tidur satu bantal dengan dia, tapi malam hari itu komodo langsung masuk tidur satu bantal. Enggak digigit. Itu di Hogong, itu kan musim-musimnya orang ambil asam bulan Agustus, jadi orang pergi dan tidur di rumah-rumah yang hanya dihalangi dengan jaring.
Kalau yang telinga besar itu Mpu Segenong namanya keuturunan terakhir tahun 70-an. Sekitar begitu, karena kan saya lahir tahun 69. Mpu Segenong tidak punya keturunan, kalau istrinya saya dapat, Nema namanya.
Mpu Segenong itu siapa?
Mungkin Mpu Segenong adalah keturunan yang ketujuh kalau tidak salah. Mpu Segenong itu ceritanya dari orang Atawela atau dari orang Sumba. Mpu Si genong ini ada kaitannya dengan bapak Ginggung (tidak tahu artinya apa, lupa untuk ditanyakan kembali) yang ada di sini. Nah kalau ada hubungannya dengan Mpu Ginggung, dia bilang dulu itu begini, “om”. Panggilan om itu kalau kita itu punya saudari perempuan melahirkan anak. Anaknya itu panggilnya om, walaupun itu bukan sepupu satu kali, mungkin sepupu dua tiga kali.
Dia panggil begitu, kalau dia memang begitu, kami dari orang Atawela tidak panggil apa-apa. bukan keluarga. yang jelas kepemilikan keluarganya itu di situ, keturunan Ginggung Kele ini berarti pasti datangnya dari Bima. Empu Segenenong mungkin kelahiran terakhir itu dari kawin antara orang komodo dengan orang Bima ini di sini. Mereka ini dipanggil om dulu. Berarti mereka punya hubungan keluarga.
Dia kupingnya besar. Mereka punya telinga tipis, kalau jalan itu Mpu Segenong itu seperti lembek (telinganya) sekali besar, itu cerita orang tua saya, saya tidak dapat. Cuma istrinya saya dapat, waktu istrinya mati kemarin 70-an, waktu umur saya masih kecil. Namanya Nema, dia punya saudara itu Mao, jadi mereka dua ini tidak punya keturunan Mao sama Nema. Tidak punya keturunan sama sekali.
Tapi keluarganya sekarang masih ada. Tapi kalau lihat dari keturunannya lebih beratnya ke Bima. Jadi nama komodo ini kan dia dipanggil Sebhai (binatang sebelah) ini kan dari bahasa Bima. Tapi kalau nama komodo ini Ora, Ora itu kalau dikatakan mungkin bahasa komodo ini ‘orang nangis yang begitu besar’, sehingga kita itu ya kalau anak kecil nangis itu berteriak.
Tapi kenapa ini jadi kampung komodo ya bukan kampung ora?
Ya nama komodo ini kan melihat dari bahasa apa ya. Kalau kami kan tahu bahasa komodo itu karena diambil dari bahasa Indonesia. Kalau di sini kan hanya bahasa Kili (kampung), kalau pondok itu (Loang), ambil kampung komodo ini kan mungkin tahun 70 atau 80-an lah, mungkin diterjemahkan bahasa indonesia komodo. Ini bukan bahasa komodo.
Bahasa komodo tetap Ora dan Sebae. Kalau sudah besar dibilang Sebae karena kita bisa ajak ngomong. Saya masih kecil itu dulu, kalau dia sedang tidur di jalan, kalau kita lewat itu, anjing ini kan enggak berani sama komodonya, paling kita ngomong begini, “Sebae kau pindah, kami ini mau pergi mencari”.
Bangun dia. bangun di tempat tidurnya itu. baru dia pindah, tidak diganggu. Saya masih kecil tahun 70-an. 75 73 itu belum ada cagar alam. belum ada taman nasional itu. Kami berburu. Karena sumber penghidupan kami saat itu berburu, berburu rusa.
Pak Offenberk kan datang penelitian, lama kelamaan kan orang datang satu dua. Dari Florida, tahun 88 dia masih datang kesini. Dulu semua orang di sini pelihara anjing untuk berburu. Masuknya taman nasional tahun 80, anjingnya dibunuh semua. Dibawa di Pulau Padar itu. Aturannya tidak boleh, karena rusa itu kan untuk makan komodo. Makanya anjing-anjing itu dibunuh semua.
Jadi kami tidak boleh ada di Loh Liang. Harus pindah kesini. Karena kami punya tanah yang banyak itu kan di Loh Liang. Saat itu salah satunya ya kita harus singkir dari sana. Yang penting jangan pindah dari sini. Kalau kita disana kan hanya cukup ambil kebunnya saja tidak. Jadi kami sekarang mau menuntut masalah lahan itu, saya pikir susah ya, pemerintah melihat apakah bisa dikembalikan atau tidak. Kalau melihat sejarah kan begitu, tapi faktanya kami belum tahu, tapi kalau dalam cerita orang tua dulu itu memang ada perjanjiannya sih. Katanya, kalau ada, tolong buat papan pengumumannya, sebutkan isi perjanjiannya, kami sekarang kan tidak tahu bagaimana isi perjanjiannya itu. Disana kemarin itu apakah ada gantinya atau tidak. (Gregorius Afioma)