Kawasan konservasi di seluruh dunia hanya melindungi tidak lebih dari 7% dari total daratan bumi atau 1% dari seluruh hamparan permukaan bumi. Kawasan konservasi ini sangat kaya sumber-sumber hayati langka dan perlu dilestarikan. Diperkirakan 80% kawasan konservasi itu telah dihuni masyarakat-masyarakat lokal sebelum pemerintah menetapkan wilayah itu menjadi kawasan pelestarian dan konservasi.
Kebanyakan kawasan pelestarian dan konservasi berada dalam rezim common property (pemilik tanah dan lahan adalah kelompok-kelompok masyarakat). Rezim property ini sangat rawan konflik karena pemerintah juga mengklaim kawasan itu dan pemerintah tidak mengakui eksistensi legal komunitas-komunitas lokal tersebut. Akibatnya, pemerintah tidak segan-segan mengusir komunitas-komunitas itu keluar dari kawasan konservasi.
Representasi paling jelas dari kekuasaan negara adalah monopoli yang ada pada negara untuk menggunakan violence (kekerasan) mengatasi konflik dan memulihkan ketertiban. Tidak mengherankan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan selalu mempunyai kecenderungan yang boleh dikatakan alamiah untuk bersikap otoriter, yang sikap memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan sebagai sarananya.
Potret paling nyata penggunaan kekuasaan dan kekerasan dapat dilihat dari kasus-kasus penembakan terhadap nelayan tradisional yang dilakukan oleh aparat keamanan di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo (TNK) sejak tahun 1980-an.
Pada tataran lain, pemerintah sendiri sebenarnya tidak mampu secara efektif mengelola kawasan-kawasan konservasi. Ketidakmampuan pemerintah berangkat dari keterbatasan-keterbatasan birokrasi pemerintah sendiri dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan standar manajemen kawasan konservasi, seperti keterbatasan pengetahuan, kelangkaan informasi, tidak memadainya keterampilan-keterampilan pegawai birokrasi dan buruknya kelembagaan yang mengelola kawasan taman nasional.
Menanggapi variasi politik, sosial, ekologi dan rezim kepemilikan, lembaga-lembaga konservasi internasional mengembangkan klasifikasi kawasan konservasi mulai dari yang paling ketat hingga yang paling longgar. Seperti UNESCO mempopulerkan konsep cagar biosfer yakni membagi-bagi kawasan konservasi menjadi zona-zona manajemen (zona inti, zona penyangga, zona transisi). Sejumlah cagar biosfer di Indonesia secara simultan berada di dalam kawasan konservasi dan menempatkan kawasan taman nasional sebagai zona intinya seperti sistem yang diterapkan di kawasan Taman Nasional Komodo.
Dalam kategori kawasan konservasi yang lain, status manajemen kawasan konservasi bervariasi sesuai dengan kondisi politik ekonomi suatu negara. Banyak kasus dijumpai bahwa suatu kawasan konservasi memiliki otoritas manajemen sendiri dengan otonomi penuh, tugas-tugas yang begitu luas dan anggaran yang terbatas. Dalam kejadian lain, suatu kawasan konservasi ditetapkan hanya di atas kertas tanpa didukung penataan batas yang jelas dan pengaturan yang mandiri.Kondisi seperti digambarkan di atas terjadi juga di kawasan TNK.
Di Indonesia, hampir seluruh kawasan konservasi dikelola oleh pemerintah. Hanya sedikit yang pengelolaannya diserahkan kepada lembaga-lembaga swasta seperti Yayasan Leuser Internasional di Sumatra Utara. Dalam sejarah pengelolaan kawasan konservasi secara praktis dan konseptual berkembang dua strategi yakni strategi manajemen eksklusif dan strategi manajemen inklusif.
Manajemen eksklusif berangkat dari model perencanaan pengelolaan kawasan konservasi yang anti-parisipatif melalui penataan ruang dan penataan sosial yang sentralistik.
Proses ini umum dilakukan pemerintah dan organisasi konservasi swasta untuk mencegah ekspansi kegiatan manusia dan pembangunan. Model ini banyak diadopsi di Amerika Serikat. Sedangkan manajemen inklusif banyak diterapkan di Eropa Barat. Model ini meletakan masyarakat lokal sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan perencanaan pengelolaan. Berbagai pihak yang berkepentingan dengan taman nasional seperti penduduk yang tinggal dan bekerja di dalam kawasan konservasi.
Manajemen eksklusif adalah model yang cepat diadopsi oleh negara-negara selatan termasuk Indonesia. Implikasi pengadopsian model manajemen eksklusif, pemerintah otomatis menegasikan keberadaan masyarakat setempat. Pendekatan ini juga dikenal sebagai ekofasisme di mana demi pelestarian sumberdaya alam, rakyat harus menyingkir atau disingkirkan.
Yang menarik, pemerintah menggunakan standar ganda dalam mendefinisikan kawasan konservasi dan rakyat. Beberapa kawasan konservasi penting justru dikonversi menjadi areal peruntukan lain seperti pertambangan tembaga dan emas di Papua yang diberikan kepada PT Freeport Indonesia. Dipihak lain banyak kasus-kasus dilaporkan dari Aceh sampai Papua, pemerintah menggunakan kekerasan untuk mengusir komunitas-komunitas lokal.
Banyak pihak berkepentingan
Kawasan konservasi adalah sumber konflik. Berbagai institusi, kelompok sosial dan individu yang mempunyai kepentingan langsung, signifikan dan spesifik dalam kawasan konservasi. Kepentingan yang dimaksud mungkin berasal dari mandat institusional, kedekatan geografis, asosiasi sejarah, ketergantungan pada mata pencaharian, kepentingan ekonomi dan berbagai jenis kapasitas dan kepentingan lainnya.
Hubungan antara institusi pengelolaan kawasan konservasi dan stakeholder yang lain sering tidak sebaik yang diharapkan. Tidak jarang, instansi itu memandang masyarakat lokal sebagai ancaman potensial terhadap kawasan konservasi. Masyarakat adat penghuni kawasan tersebut tidak diakui perannya dalam memelihara keanekaragaman hayati.
Sebaliknya penduduk lokal melihat penentuan batas kawasan konservasi sebagai pembangunan yang represif, membawa nilai-nilai asing, merusak budaya lokal dan menghambat masyarakat mendapatkan kekayaan. Tidak mengherankan, kesalahpahaman antara instansi pemerintah dan penduduk lokal menjadi penyebab beberapa kegagalan paling serius dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Selain itu, apabila instansi pemerintah yang berwenang penuh dalam kawasan konservasi sama sekali tidak punya suara dalam menentukan apa yang terjadi di sekitar kawasan, sementara stakeholder lain yang tidak punya hak dalam menentukan apa yang terjadi di dalam kawasan, tetapi justru mengendalikan apa yang terjadi di sekitar kawasan, banyak jenis masalah yang mungkin terjadi diperbatasan. Misalnya, konflik dapat terjadi antara instansi yang menangani kawasan konservasi dan berbagai pihak berwenang lainnya seperti pemerintah pusat dan daerah.
Ada kalanya, konflik diselesaikan dengan kekerasan: penduduk setempat dipaksa keluar dari kawasan atau dilarang masuk oleh penjaga bersenjata. Seringkali konflik kekerasan bisa berlangsung selama bertahun-tahun seperti yang terjadi di kawasan Taman Nasional Komodo.
Instansi bertanggungjawab akhirnya mengeluarkan banyak sekali sumberdaya untuk mempelajari kawasan konservasi dan memaksakan peraturannya terhadap orang-orang yang melanggar. Kadang-kadang hubungan antara instansi dan para stakeholder bahkan tidak ada samasekali. Pengetahuan dan keahlian hilang dan berbagai masalah tidak diketahui sampai sudah terlambat sehingga kerusakan serius tidak dapat dihindari lagi.
Yang lebih disesalkan lagi, potensi kerja sama antara instansi dan stakeholder untuk melawan ancaman dari luar (eksternal) terhadap sumber daya alam misalnya pengembangan wilayah, ekspansi pertambangan, penebangan kayu, pemboman ikan atau biota laut yang sering menjadi musuh utama konservasi mungkin tidak akan pernah terealisasi.
Mencermati fenomena kekerasan yang kerapkali terjadi di berbagai wilayah konservasi seperti di kawasan Taman Nasional Komodo maka kiranya kini saatnya pemerintah perlu meninjau kembali dan meredesainsystem pengelolaan wilayah konservasi yang lebih bermartabat danmenghormatiHak Asasi Manusia (HAM).
Untuk itu, membangun manajemen kemitraan yang mengedepankan prinsip-prinsip kemitraan merupakan pilihan paling tepat dan strategis saat ini guna mengatasi berbagai ketimpangan yang kian masif.
Prinsip-prinsip kemitraan itu antara lain perlu duduk dan bicara bersama,membuka hati dan menciptakan rasa saling percaya, saling mengerti dan menghormati, tukar menukar impian dan bayangan, tukar menukar informasi, mencari kesamaan dan ketidaksamaan secara damai, mengakui isu-isu di mana persepsi dan tujuan masih berbeda, mengubah ketidaksamaan yang gampang dirubah, mencoba bernegosiasi dan berkompromi, sering bertemu dan berbicara bersama, memperbaiki dan memperluas kerja sama yang berlandaskan pada kesetaraan, keadilan, transparansi, akuntabilitas dan bermartabat. Prinsip-prinsip kemitraan tersebut kelihatan sepele, tetapi kadangkala sulit untuk diterapkan.
Namun, diyakini hanya dengan prinsip-prinsip kemitraan seperti tersebut di atas, konflik dan kekerasan dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi mendapatkan solusi penyelesaian yang paripurna dan damai. (Kornelis Rahalaka/Peneliti SPP)