Kurang lebih selama empat hari terakhir saya membaca informasi tentang Sumba dan mendatangi Trip Advisor setiap hari. Salah satu informasi yang saya dapat adalah: kalau dari Ruteng, Kabupaten Manggarai, penerbangan ke Sumba hanya dengan maskapai Susi Air. Susi Air merupakan pesawat kecil yang hanya menampung 12 penumpang. Pemiliknya tentu saja Menteri Kelautan Republik Indonesia, Susi Pudjiaastuti yang sangat fenomenal itu.
Sesuai dengan informasi yang disampaikan pegawai Susi Air di bagian penjualan tiket, jam keberangkatan pukul 08.30 WITA dari Ruteng, Kabupaten Manggarai. Dengan terburu-buru, saya berangkat dari rumah. Sampai di bandara saya membayar tiket. Untuk maskapai ini, pembayaran tiket baru dilakukan saat hendak terbang. Setelah itu, saya mendapat informasi bahwa ternyata keberangkatan ditunda pukul 11.00 WITA.
Ada sebagian penumpang yang memilih balik ke rumah saat mendengar tentang tundanya waktu keberangkatan. Namun ada juga penumpang lain yang menunggu dengan setia. Saya sendiri baru kali ini terbang mengunakan Maskapai Susi Air. Jadi saya sedikit was-was.
Sama seperti saya, beberapa penumpang lain juga tampak was-was. Terlihat sekali dari obrolan antara penumpang. Ada yang menyampaikan lelucon agar jika hendak muntah, tinggal membuka jendela pesawat.
Hampir semua yang menunggu di situ terlihat cemas, kecuali satu penumpang yang bernama Rambu Putri. Rambu Putri adalah perempuan asli Sumba. Dia ke Manggarai karena mengurus proyek di wilayah Kecamatan Pota, Kabupaten Manggarai Timur. Pada saya, ia mengatakan bahwa penerbangan akan biasa saja dan memakan waktu selama 30 menit dari Kota Ruteng. Kemudian saya memutuskan untuk mendekatinya dan bertanya banyak hal tentang Pulau Sumba.
“Nanti berencana kemana saja di Sumba? Ada keluarga di sana?” tanya dia kepada saya.
Saya menggelengkan kepala sambil tersenyum dan menjawab;
”Tidak. Saya ke sana mau lihat-lihat tenunan di sekitar Waingapu.”
“Oh, saya kebetulan rumah di kampung Raja. Kalau mau, nanti ikut saya saja. Akan saya perkenalkan dengan penenun di situ,” ucap dia menanggapi jawaban saya.
“Wow, saya beruntung kalau begitu,” sorak saya dengan penuh gembira.
Saya diam-diam mengamatinya. Ah, dia orang baik-baik! Dilihat dari tutur katanya kepada saya. Terlihat ia tampak terbuka dan begitu elegan saat bergabung dalam pembicaraan kami yang kebanyakan orang Manggarai. Kemudian saya menyadari bahwa ada suster dari ordo SSPS yang juga hendak berangkat ke Sumba bersama kami.
Saya kemudian mendekati sang suster dan berbasa-basi. Saya bertanya kepadanya tentang Sumba. Pertanyaan pertama; “ Suster, Sumba aman kah?”
“Aman saja sama seperti Ruteng. Hanya tidak semaju Ruteng. Ke Sumba ada acara?” jawab sang suster lalu balik bertanya pada saya.
“Saya mau lihat-lihat Tenun Sumba, Suster,” jawab saya.
Kami lalu terlibat dalam obrolan santai.
“Penulis? Dari media mana?” tanya sang Suster lagi.
“Saya anak sekolah, suster. Sedang belajar di Labuan Bajo.”
Dalam hati saya mengumpat betapa penting posisi dalam situasi sosial seperti ini.
“Suster tau tempat-tempat tenun di sana?” lanjut saya.
“Kalau yang bagus itu ke Kaliuda. Bagus-bagus itu. Itu jalan ke arah utara. Kami juga ada di sana,” jawabnya.
“Saya mau cari yang ada disekitar Waingapu dulu, suster,” ucap saya.
Sang Suster lalu menyuruh saya menemui kerabatnya yang disapa Ibu Yuli di Lambanapu, Sumba. Saya kemudian mengucapkan terimakasih kepadanya atas informasi tersebut.
Percakapan kami terhenti ketika ada telepon masuk yang diterima Step, salah seorang staf Susi Air. Ia yang mengurus mulai dari penjualan tiket sampai ke urusan barang dan menghitung penumpang di dalam pesawat.
“Pesawat 10 menit lagi landing,” katanya sambil mengutak-atik telepon genggam.
Rambu Putri yang kemudian saya panggil kakak mendekati saya dan berkata, “Ayo non buruan check in biar nanti bisa duduk di belakang pilot. Tempatnya bagus buat foto-foto.”
Saya menggendong tas carrier Consina serta tas samping Eiger dan berkemas dengan cepat. Sebelum beranjak, saya memeriksa semua barang yakni kamera, telepon genggam, dan paspor. Semua sudah siap dan hatipun sudah siap. Saya memiliki kebiasan buruk meninggalkan barang di tempat saya duduk atau tempat nongkrong. Itu alasan sangat logis untuk memastikan semua barang pada tempatnya. Bayangkan terbang tanpa telepon genggam atau Paspor. Bukankah itu petaka besar yang akan menjadikan perjalanan sebagai bencana galau?
Sepuluh menit kemudian pesawat landing dan menurunkan satu penumpang. Penumpang tersebut satu-satunya yang datang dari Sumba.
“Wah, satu saja?” saya mendengar seorang penumpang bicara demikian. Ia penumpang yang ikut mengantar istrinya yang lolos PNS SM3T dan ditempatkan di Sumba Barat Daya.
“Iyo Om. Kecuali ada yang turun di tengah jalan,” jawab saya sekenanya.
“Ole enu pikir ini oto kol kah?” balasnya tergelak. Semua penumpang yang berdiri dekat kami pun ikut tertawa.
Saya dan Rambu Putri berjalan paling depan saat memasuki pesawat. Pesawat ini hanya bisa menampung 12 orang dan jumlah kami hanya 9 orang, dengan 3 laki-laki dewasa, 1 bayi laki-laki, dan 5 perempuan. Dari sekian penumpang ini terdapat dua penumpang bersuku Jawa, satu penumpang dari Sumba dan sisanya dari Manggarai. Saya dan Rambu Putri duduk di belakang pilot.
Terdapat empat deret kursi di pesawat ini. Tiga kursi disusun tiap deret dengan satu kursi gandeng yang bisa ditempati dua orang dan di pinggir luar terdapat satu kursi. Di tengahnya dibatasi lorong yang sangat sempit.
Pilot menginstrusikan tentang keselamatan penumpang dan co-pilot mengatur bagasi-bagasi kami. Sejak masuk saya sengaja duduk tepat di belakang pilot atau di bagian paling kiri. Sedangkan Rambu Putri duduk di bagian paling kanan. Kami menyimpan tas samping yang kecil di kursi bagian tengah.
Saya terlampau bersemangat terbang dengan Susi Air.Pemandangan di luar sangat mengagumkan melalui kaca-kaca polos yang lumayan banyak di badan pesawat. Bermodal nekat, saya mengambil video sejak bunyi mesin pesawat dinyalakan. Pesawat yang saya tumpangi melintas di atas kota Ruteng dengan pesona sawah-sawah yang ternyata banyak berbentuk seperti lodok. Dari video kemudian saya tahu bahwa jika dari Kota Ruteng ke Sumba, maka pesawat akan bergerak ke arah selatan Kabupaten Manggarai. Kami terbang tepat di atas Wae Rebo. Sayang sekali saya tidak memiliki fotonya sebagai barang bukti. Warga kantor akan ramai –ramai mengatakan:”Aeee, joak-jaek!” jika saya menceritakan hal ini. Begitulah!
Dua puluh lima menit di atas pesawat, Pulau Sumba pun terlihat. Hamparan padang yang tidak berujung dengan bukit-bukit yang mempesona. Terlihat seperti hamparan bukit cinta di Labuan Bajo dengan versi yang lebih luas.
Tepat 30 menit perjalanan saat pesawat landing di bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Saat turun, giliran kami penumpang terakhir yang turun dari pesawat. Rambu Putri sempat mengajak Pilot untuk berfoto. Ini Indonesia dan bule adalah imajinasi konkrit tentang kesempurnaan. hehehehehhehe. Sayangnya saya juga menjadi bagian dari adegan itu.
Turun dari pesawat saya masih sempat berfoto sebagai barang bukti di Instagram dan facebook bahwa saya benar-benar ke Sumba dan bukan editan. Walaupun kemudian hanya orang bodoh yang mau membuktikan kepada dunia maya tentang apa yang dilakukannya. Di ruangan kedatangan saya menanti Rambu Putri menunggu bagasi dan turut mengangkat barang bawaan suster banyak. Oh iya, saya lupa menanyakan nama suster tersebut. Dilihat sepintas, usianya seperti sudah menginjak 70-an. Saya juga sempat mengucapkan salam perpisahan “Da…da!” kepada penumpang lain yang terbang bersama dari Ruteng. Mereka meneruskan perjalanan ke Sumba Barat Daya.
Ketika keluar dari ruang kedatangan, sama seperti kebanyakan bandara lain, saya langsung dikerumuni oleh ojek-ojek. Bedanya mereka tidak langsung mengangkat tas penumpang. Selain itu hampir semua yang ada di situ makan sirih-pinang. Gigi mereka berwarna merah.
Terdapat spanduk besar di pagar bandara yang tulisannya berbunyi; “Buanglah sampah pada tempatnya!!! Bagi yang makan sirih pinang dilarang meludah di sembarang tempat”.
Beberapa menit kemudian Rambu Putri keluar dan memperkenalkan seorang bapak yang mengendarai mobil sebagai suaminya. Saya akhirnya memutuskan untuk ikut. Entah kenapa saya tidak merasa takut sedikitpun untuk ikut dengan mereka.
Jarak dari bandara sekitar dua kilometer menuju Kampung Raja. Kami masuk ke kampung raja setelah sebelumnya keliling kota melihat-lihat situasi kota .
Kampung Raja merupakan kampung tua yang berada di tengah kota Waingapu. Di sini suasana kampung teramat kental dengan budaya dan adat yang sangat mengakar. Rumah-rumah panggung dengan atap alang-alang terlihat sangat rapi dan sebagian rumah dijadikan ruang terbuka sebagai pusat kegiatan.
Di tengah kampung ini dibangun jalan yang memisahkan dua kampung. Ada bagian kepala yang dijadikan tempat tinggal raja, dan bagian ekor untuk ditempati sepupu raja dan besan-besan.
Usai turun dari mobil, saya dipersilakan duduk di rumah adat. Dengan serta merta, 3 orang ibu-ibu penenun menyambut saya.
“Dia bukan tamu (Tourist). Ini anak sekolah datang penelitian,” jelas Rambu Putri menggunakan bahasa Lokal.
Saya duduk dan langsung disuguhi sirih pinang. Tempat sirih pinangnya juga menarik karena terbuat dari anyaman pandan hutan. Di sini tamu wajib makan sirih pinang sebagai bentuk penghormatan kepada pemilik rumah. Kemudian umbu Putri memperkenalkan saya pada ibu-ibu penenun. Ada yang bernama Ina Hana dan Ina Heyen.
Sesaat kemudian ada yang membawakan teh. Dalam keadaan haus saya dengan senang hati meminumnya. Sambil menghabiskan teh, ibu-ibu itu membuka kain-kain tenun mereka, menawarkan, dan menyebutkan harganya kepada saya.
“Besok pagi kita akan kunjung ke mama Raja,” kata Rambu Putri.
Saya manggut-manggut tanda setuju. setelah basa-basi saya dipersilakan untuk ke kamar dan kemudian kembali untuk makan siang.
“Makan seadanya,” kata suami dari Rambu Putri, “kami biasanya hanya makan berdua.”
“Saya senang sekali diterima di sini,” jawab saya.
Sebelum makan, kami tentu saja terlebih dahulu berdoa dengan cara yang berbeda. Setelah itu kami makan dengan cepat. Sesuatu yang agak sulit juga bagi saya.
Sebagai salah satu rumah keluarga Raja, banyak hal yang membuat saya kagum. Keluarga ini memiliki guest house yakni salah satu kamar yang sengaja dikosongkan untuk tamu-tamu berukuran 3 X 4 meter. Di dalamnya terdapat kamar mandi. Saya menempati kamar tersebut dengan seprei biru dan semua perabot berwarna biru. benar-benar seperti tidur di dalam kantong ajaib Doraemon.
Pertama kalinya sepanjang tahun ini saya berdoa: “Tuhan, Kau baik. Kau tidak biarkan saya sendiri dan asing di tanah asing ini.”
Saya berdoa dan lupa tanda salib. Di ujung doa, saya harus mengusir nyamuk yang banyak. Selain Nyamuk saya sungguh mengagumi tempat ini. (bersambung)
Laporan: Henny Dinan