Sekeping Ironi di Tanah Komodo

Satu buah patung tiruan binatang komodo baru saja diselesaikannya. Segelas teh panas dan sepiring sanggar yang telah disajikan oleh istrinya diabaikan begitu saja, justru sepotong kayu Kelumpang yang tergelatak diraihnya untuk dijadikan patung kedua pada siang hari itu (9/8). Sekurang-kurangnya, harus ada tiga buah patung yang siap dijual sebelum hari gelap jika ingin meraup untung. Begitu lah rutinitas yang dilakukan oleh Pak G setiap hari, semenjak awal tahun 1990. Jauh sebelum itu, Pak G adalah penggarap kebun dan pemburu, kemudian menjadi seorang nelayan, dan pada akhirnya menjadi pemahat.

Seraya memalu alat pahatnya, Pak G bercerita tentang ingatannya puluhan tahun lalu, sekitar tahun 1965-1970,ketika Ia masih menjadi penggarap dan pemburu bersama keluarganya. Pada saat itu, keluarga Pak G sering berpindah tempat untuk menggarap kebun. Mulai dari daerah Gunung Ara, Loh Lawi, dan Loh Sebita. Bersama keluarganya, Ia menanam umbi-umbian, pisang, pepaya, dan kelapa. Tentu saja, bagian yang paling disukainya adalah saat Ia menggiring rusa-rusa ke dalam jerat yang dibuatnya sendiri. Menyembelihnya dan mengambil dagingnya untuk disajikan di atas meja makan bersama dengan Kerampi, sejenis sagu yang banyak tumbuh di Pulau Komodo. Sementara bagian kepala dan isi perut rusa tersebut dibiarkan untuk dimakan oleh komodo nantinya.

Daerah terakhir tempat Pak G dan keluarga berkebun adalah di Loh Liang, yang sekarang merupakan pusat wisataTaman Nasional Komodo (TNK). Tempat di mana sekarang para wisatawan dapat melakukan trekking untuk menyaksikan binatang komodo langsung di habitatnya. Jika wisatawan teliti, masih dapat ditemukan beberapa pohon kelapa berumur tua masih tersisa, dan pohon-pohon asam yang tumbuh sejajar yang pernah sengaja ditanam untuk dijadikan pagar pelindung kebun dari serangan hama babi hutan.

Tahun 1971 adalah tahun terakhir Pak G menikmati hasil hutan dan kebunnya sendiri. Tepat dua tahun setelah ditetapkannya status Pulau Komodo sebagai Hutan Wisata. Ia dan keluarga, beserta masyarakat lainnya sebanyakpuluhan Kepala Keluarga (KK) dipaksa pergi oleh pihak Kehutanan yang datang bersama aparat bersenjata untuk segera meninggalkan Loh Liang karena keberadaan mereka dianggap dapat merusak lingkungandan ekosistem hutanyang membuat seolah-olah keberadaan binatang di dalamnya lebih berharga.

Dengan dalih konservasi  tersebut, anjing-anjing pemburu milik masyarakat ditumpas habis, rumah-rumah yang ada dibakar,dan tanaman-tanaman yang ditanam warga bertahun-tahun dimusnahkan tanpa masyarakat mampu berbuat apa-apa.

Dengan terpaksa Pak G dan juga keluarga lainnya kembali ke kampung yang sampai sekarang ditempatinya. Sumber penghidupannya pun ikut berubah, banyak dari mereka yang mengawalinya dengan menjadi Anak Buah Kapal (ABK) orang lain yang telah lebih dulu menjadi nelayan. Ada juga yang memberanikan diri mengutang sejumlah uang untuk membeli kapalnya sendiri. Sebagian lain menggarap lahan kosong di sebelah utara Desa Komodo. Begitu juga dengan Pak G, menjadi ABK sampai mampu membeli kapal bagannya sendiri.

Penghasilan nelayan bisa dikatakan cukup besar, Pak G misalnya, Ia bisa mendapat ratusan kilogram atau bahkan berton-ton cumi dalam satu kali pergi melaut, dari sore sampai esok paginya. Harga jualnya pun cukup tinggi, sekitar Rp 5.000,-/ kg pada tahun 1980-an. Namun, tidak jarang pula Ia harus rela pulang dengan tangan kosong. Begitu juga dengan aturan-aturan yang yang diterapkan oleh TNK, membuat banyak masyarakat termasuk Pak G jengkel, rekan kerjanya pernah dipenjara selama dua tahun karena kedapatan memasang bubu di zona yang dilarang karena dianggap merusak karang. Setelah hak atas tanah di Loh Liang dirampas, wilayah laut pun dibatasi demi konservasi. Padahal perihal zonasi tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat.

Tidak stabilnya penghasilan yang didapat dan ketatnya aturan pelarangan, membuat Pak G dan masyarakat lainnya mulai melirik mata pencaharian lain. Pak N, seorang tokoh masyarakat, menawarkan warga untuk berlatih memahat patung dengannya. Mengingat sudah mulai banyak wisatawan yang keluar dan masuk Desa Komodo. Apalagi status TNK yang menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia akan mampu menarik minat wisatawan lebih banyak lagi.Sehingga, menjual cinderamata atau mengubah kapal-kapal tangkap mereka menjadi kapal wisata terdengar lebih menjanjikan bagi masyarakat.

Namun, menjadi pemahat bukan berarti terbebas dari aturan-aturan zonasi. Pohon-pohon yang ada di hutan sekitar kampung dilarang untuk ditebang, para pemahat hanya diperbolehkan untuk mengambil kayu dari pohon yang sudah tumbang atau mati. Untuk mengambilnya pun mereka dilarang untuk membawa alat-alat tajam, seperti golok atau parang, jika kedapatan membawa alat tajam oleh petugas patroli, mereka dapat dituduh sebagai penebang pohon ilegal dan bahkan dapat mendekam di penjara. Maka, sebagian pemahat lebih memilih untuk membeli bahan baku kayu dari luar Pulau Komodo, seperti dari Pulau Flores.

Hari sudah semakin sore, patung ketiga yang dipahat olehPak G sudah hampir selesai, saatnya Ia menghubungi Pak H, anaknya yang merupakan penjual cinderamata untuk mengambil patung-patung hasil kerjanya seharian. Pak Gtidak pernah menjual hasil pahatnya ke penjual cinderamata lain karena Ia masih terikat utang dengan anaknya sendiri yang sudah memberikan modal untuk membeli bahan baku kayu.

Saya pun beranjak untuk pulang ke rumah, melewati dermaga, melewatikapal-kapal wisatawan yang diparkir di perairan depan desa. Tidak mungkin saya membohongi kedua mata saya sendiri, mau dipandangi dari sisi mana pun juga, kawasan ini memiliki bentang alam yang eksotik dan saya haqqul yakin, wisatawan-wisatawan yang berada di atas kapal-kapal itu juga akan berkata hal yang senada. Tapi, apakah mereka tahu bahwa di balik semua eksotisme yang ada, terdapat juga ironi terkait kehidupan masyarakat setempat? Apa yang diceritakan oleh Pak G menjadi penting untuk memeriksa kembali bagaimana isu konservasi berhasil diartikulasikan oleh sistem kapitalisme yang pada dasarnya hanya untuk memberi keuntungan segelintir orang, dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat yang telah lama lebih dulu memiliki relasi dengan alamnya.(Taufik/Peneliti Pada ARC Bandung)

 

Publikasi Lainnya