Memanen “Mawo Laka”

sunspirit.org–Sebagian  besar lahan persawahan di daerah Nggorang, Manggarai Barat, sudah mulai musim tanam baru bahkan ada padi yang sudah berusia dua minggu.

Namun tidak demikian dengan lahan sawah di Rumah Baku Peduli. Sawah  seluas 30 x 105 meter baru saja mulai dipanen pada sabtu, 10 Juni 2017.

Barangkali ada yang bertanya, mengapa begitu lambat?

Jika diperhatikan, bulir padi yang dipanen berwarna mereka kehitam-hitaman. Jika tak tahu, ada yang bisa saja berburuk sangka. Padi tersebut dianggap terkena hama atau penyakitan.

Sebetulnya ciri tersebut adalah keunikan mawolaka atau yang biasa kita kenal padi merah. Dan tidak hanya warna bulir dan rasanya yang berbeda, perlakuan dan lamanya waktu tanam juga berbeda.

Padi merah adalah tanaman pangan organik. Artinya, benihnya bisa tumbuh alamiah tanpa harus memakai pupuk peptisida dan gabahnya dapat disemai jadi benih.
Pada masa lalu, padi merah biasa dikembangkan di ladang kering karena ia tergolong tahan terhadap kondisi kekurangan air.  Usai dipanen, sebagian hasil untuk dimakan, sebagian kecilnya disimpan agar dapat disemai pada musim tanam berikutnya.

Ada duajenis yang biasa dikembangkan. Pertama, beras ketan merah. Biasanya lebih pekat dan cocok dibuatkan nasi wajik. Kedua, beras merah biasa. Biasanya dimasak dan dicampur dengan beras putih.

Kini, hanya sedikit petani mengembangkan padimerah.Persoalannya, budidaya padi merah membutuhkan waktu lebih lama,yakni 100-110 hari. Hitung-hitungan secara ekonomis, ha litu merugikan petani.

Sebagian besar petani lebih memilih mengembangkan benihhibrida. Hanya dalam85 hari, mereka bisa memanen hasil. Setahun, jika benar-benartekun, bisa sampai tiga kali musim tanam.

Kembali Ke padi Merah

mawo laka (padi merah)

Ketika pada tahun 2012, Sunspirit kembali membudidayakan mawolaka, sebenarnya ada beberapa persoalan sistemik yang menyandera para petani.

Pertama, meskipun benih hibrida dapat dipanen dalam waktu yang lebih singkat, namun ongkos produksinya terbilang mahal. Pasalnya, mulai dari benih mesti dibeli, begitupula dengan pupuk. Harganya pun tak menentu.

Berbeda dengan benih organik, benih hibrida hanya dapat dimanfaatkan untuk sekali masa tanam. Untuk musim tanam baru, petani mesti membeli lagi benih baru.

Sementara itu, mereka masih perlu lagi membeli pupuk pepsitida.Benih hibrida tidak tahan terhadap hama penyaki dan mesti dalam kondisi yang terus berair.

Kedua, ongkos yang begitu mahal belum menjamin harga padi ikutan naik setelah panen. Begitu panen, harga beras kerapturun. Petani dirugikan.

Padahal tak jarang, untuk ongkos produksi, mereka meminjam modal dari lintah darat atau koperasi. Keadaan demikian membuat petani tak bergairah dalam mengelolah lahan.

“Kita yang kerja keras, yang kaya malah penjual benih dan pupuk” demikian mereka mengungkapkan ironi tersebut.

Pengembangan Mawo Laka

Pengembangan mawolaka adalah demi kemandirian para petani. Soal benih danpupuk, petani bisa terbebaskan dari sistem pasar yang membelenggu petani.

Karena organik, mawolaka juga sangat cocok untuk mendukung gaya hidupsehat.
Kini Sunspirit mengembangkanmawo-laka di kebun contoh rumah bakupeduli. Letaknya sekitar 7 km dari kota Labuan Bajo, melewati jalan trans Flores. Mawolaka juga dikembangkandi beberapa komunitaspetani.

Harga di pasaran masih menguntungkan. Per kilo dijual seharga Rp 15.000,00. Sementara harga beras putih, kerap tak menentu dan berkisar Rp 12.000,00. (Gius)

Publikasi Lainnya