Kisah Keharmonisan Komodo dengan Penduduk Lokal

Sunspiritforjusticeandpeace.org-Sore hari pada bulan Agustus tahun 2016 di Kampung Rinca. Di usia uzurnya, nenek itu masih bersemangat bercerita. Ia membungkuk, menarik kainnya ke atas. Ia memperlihatkan betisnya.

Saya sedikit terperanjat. Mengernyitkan dahi. “Tambal dagingnya diambil dari daging lain” katanya tanpa ragu sambil menunjukkan bekas luka menganga lebar di bagian betis. Seluruh daging di sekitar bekas luka tersebut serasa tertarik memusat.

Dia mulai bercerita. Suatu kali, cukup jauh dari kampung, ia mengambil makanan untuk kambing. Suasana sepi. Ia sedang asyik menarik kayu bakar ketika secara tak disengaja menginjak komodo.

“Tiba-tiba kaki saya ditarik kuat”.

Dia hilang kendali. Terpelanting ke tanah. Kaget. Ia sadar apa yang terjadi setelah melihat rupa seekor komodo sudah ada di depannya. Kengerian segala melingkupinya. Hanya sesaat kemudian, Komodo mendekati wajahnya.

Ia teringat beberapa kejadian. Dari beberapa pengalaman digigit komodo, jika melihat darah, komodo bertambah garang.

“Saya tidak bisa apa-apa lagi saat itu”.

Dia sempat berpikir berteriak minta tolong. Namun jaraknya cukup jauh. Ratusan meter. Lagi pula, ia sudah cukup renta untuk teriak sejauh itu.

Komodo persis menatap wajahnya. Jantungnya berdegub kencang. Entah apa yang terjadi, ia berusaha tenang. Ia teringat cerita-cerita yang sudah merekam dalam ingatannya sejak kecil. Manusia dan komodo adalah bersaudara.

Dengan tenang, ia menatap mata komodo dan berkata, “Sebae, kenapa kau makan saya, kita adalah saudara”. Seketika hening. Ia tidak berujar lebih lanjut. Sementara komodo hanya menatapnya.

Ajaib dan tak terlupakannya sampai sekarang ketika komodo berbalik arah dan berjalan menjauh. Saat itu, orang-orang kemudian berdatangan menolongnya. Ia dirawat di Bali dan sampai sekarang masih hidup di Rinca.

Kisah nenek Tima yang berusia 70-an tahun itu hanya salah satu cerita tentang kedekatan hubungan antara komodo dan manusia. Bagi orang Pulau Komodo dan Rinca, cerita-cerita “ajaib” antara komodo dan manusia sudah familiar di antara mereka.

Di kampung Komodo ada banyak cerita tersebut. Seorang bayi pernah dibaringkan di pantai saat orang tuanya melaut. Ketika pulang, komodo masih terbaring di dekat bayi tersebut. Komodo tak sedikitpun melukai bayi tersebut.

Kalaupun komodo menggigit warga kampung, bagi mereka itu bukan suatu kebetulan. Pernah suatu waktu, komodo menggigit seorang anak kecil hingga tewas di kampung Komodo. Ia baru saja pulang memancing dan sedang buang air di belakang rumah ketika komodo menyergapnya dari belakang. Belakangan diketahui ada “sesuatu” antara komodo dan keluarga tersebut.

Kedekatan itu punya jejak yang kuat dalam kehidupan penduduk di pulau komodo.  Dalam cerita mitos yang dikenang masyarakat, manusia dan komodo adalah saudara kembar. Karena itu, komodo disebut “sebae” dalam bahasa komodo. Artinya, sebelah.

Mitos tersebut sangatlah hidup.  Karena ternyata ada kemiripan antara sejarah komodo sebagai binatang langka dan perkembangan penduduk komodo.

Konon, masyarakat komodo awalnya tak mengenal persalinan. Tiap kali melahirkan, perut seorang ibu mesti dibelah. Anaknya selamat, namun nyawa ibu harus melayang.  Jumlah mereka tak berkembang. Perjumpaan dengan orang Sumba yang berlabuh di pulau Komodo, barulah mereka mengenal persalinan. Orang Sumba mengajari proses persalinan. Saat itu, lahirlah seorang bayi dan seekor komodo sekaligus.

Kedekatan itu diperkuat dalam kehidupan keseharian mereka. Untuk waktu yang panjang, penduduk komodo bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu makanan. Saat berburu, penduduk Komodo memiliki kebiasaan tertentu. Hewan buruan seperti rusa langsung dicincang di tengah hutan. Kepala, kaki, kulit, dan organ dalam ditinggalkan untuk Komodo.

Pada masa itu, menurut Haji Majib, warga Komodo, jika sudah mendengar suara anjing, komodo datang mendekat. “Komodo dulu tidak susah cari makan. Mereka tinggal mendengar suara anjing” ujarnya.

Sebaliknya, penduduk Komodo tak terlalu khawatir dengan kehadiran komodo. Ada cerita dari seorang bapak, meskipun mereka menebang pohon lontar dekat komodo, komodo tak pernah agresif. Mereka percaya, komodo tidak sembarangan menyerang manusia. Komodo paling mungkin menyerang saat merasa terancam. Kalau Komodo merasa terancam, ia akan memberikan sinyal. Raco salah seorang guru di komodo menjelaskan, “ia mengeluarkan seperti bunyi seperti menghela nafas panjang sebagai tanda”.

Bahasa Komodo juga adalah penanda penting kedekatan tersebut. Meski datang dari daerah yang berbeda-beda, mereka berbicara dalam bahasa Komodo dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya ada anggapan bahwa bahasa Komodo adalah bahasa campuran. Dalam kenyataannya, bahasa Komodo merupakan bahasa yang independen.

Bagi orang Komodo, bahasa Komodo lebih dari sekadar instrumen komunikasi dan perekat persatuan di antara suku-suku yang berbeda itu. Mereka percaya bahwa komodo memahami bahasa Komodo. Jika ke hutan untuk berburu dan bertemu komodo di jalan, mereka biasanya menegur komodo dalam bahasa komodo. “Jika disuruh keluar, maka dia akan jalan” kata Raco, penduduk Komodo.

Uniknya pula, bahasa komodo tidak berkembang luas. Hanya dipakai di kampung Komodo dan Rinca. Tak heran, muncul keyakinan bahwa dimana ada orang yang menggunakan bahasa Komodo, di situ ada komodo.

Sementara itu, fakta yang tak banyak diketahui orang adalah tentang penduduk “asli” komodo.  Boleh Komodo masih ada dan malah mendunia, namun saudara kembarnya itu sudah tak ada.

Orang asli Komodo terakhir meninggal sekitar tahun 1980-an. Ia menikah dengan orang Manggarai, namun tak memiliki keturunan. Para pemuda yang sudah berusia 30-an tahun ke atas masih mengingat ciri-ciri fisiknya. Ia tinggi, berbadan kecil, dan telinga besar.

“Kalau ada angin, telinganya getar”

Mesti demikian, kata “asli” memang menimbulkan perdebatan. Namun hal itu sebenarnya menunjuk pada  orang yang sebelumnya ada di sana. Sebagian keturunan mereka sudah bercampur baur dalam ikatan perkawianan dengan suku lain. Mereka menyebar termasuk sebagian berada di kampung Rinca.

Peminggiran

Bulan Oktober, 2016. Di bawah cahaya redup, Salahudin menyodorkan kertas yang sudah dilaminating. Meski sudah dibantu cahaya senter, saya sedikit kesulitan membacanya. Hurufnya dicetak menggunakan mesin ketik dan beberapa kata masih memakai ejaan lama.

“Kita masih menyimpan bukti” kata Salahudin saat menyodorkannya. Dia menanti reaksi saya. Lanjutnya untuk menyakinkan, “Kami sudah besar saat itu. Kami melihat sendiri pondok-pondok dibakar dan pohon kelapa disiram air keras.”

Dermaga menuju Desa Papagaran, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat - Flores, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)
Dermaga menuju Desa Papagaran, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat – Flores, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)

Di rumah Salahudin saat itu ada sekitar 10 orang. Sebenarnya mereka sedang berembug untuk pembangunan mesjid namun akhirnya terlibat percakapan panjang soal pembentukan awal TNK pada tahun 1980.

Bagi mereka pembentukan TNK adalah cerita penyingkiran. Saat baru terbentuknya, penduduk Komodo dipindahkan. Kebun mereka dirampas. Dari tinggal tersebar di sepanjang pulau, mereka akhirnya menempati wilayah terbatas di kampung Komodo. Lebih mengerikan lagi, sejak itu mereka tidak diperbolehkan mengambil hasil hutan dan memburu hewan liar. Mereka hanya melaut.

Kertas yang ditunjukkan Salahudin adalah bukti kepemilikan tanah di Loh Liang. Sekarang, Loh Liang adalah pintu masuk bagi para wisatawan. Sebelumnya tempat itu adalah kebun milik penduduk. Ada sekitar 60-an hektar. Ketika berjalan di Loh Liang beberapa hari sebelumnya, Haji Majid menunjukkan bahwa pohon-pohon yang tumbuh sejajar itu tak lain adalah bekas pagar kebun.

Dulunya proses pengambilalihan itu tanpa perlawanan dan ganti rugi. Di era Soeharto, warga sangat takut dengan tentara. Jika tentara datang, pria-pria dewasa di kampung Komodo datang menjemput dan menggendong mereka dari kapal agar sepatu mereka tak basah.

Apalagi, masyarakat percaya saja bahwa upaya itu untuk pembangunan yang lebih baik dan memperbaiki kehidupan mereka. Saat itu rumah-rumah mereka dipindahkan dari Loh Liang, pondok-pondok mereka dibakar dan pohon kelapa diberanguskan. Ketika itu tengah berlansung, seorang nenek meninggal. Kini kuburannya masih dapat dilihat di dalma kawasan Loh Liang.

Sebenarnya keadaannya jauh lebih miris. Penduduk komodo dipindahkan secara paksa ke pulau Flores. Entah apa yang kemudian membatalkannya. Tapi ada cerita yang hampir semua penduduk Komodo tahu. Saat menjelang kedatangan Soeharto untuk meresmikan TNK, tiba-tiba saja semua komodo menghilang. Seorang “pawang” yang didatangkan pihak BTNK sudah kewalahan. Lalu penduduk Komodo dipanggil untuk melakukan acara adat. Saat itu barulah komodo bermunculan.

Jika Salahudin mempertanyakan status tanah tersebut, dia tidak berupaya mengambilnya kembali. Namun ia mengingatkan bahwa negara mestinya menaruh perhatian pada hak-hak warga negara terutama kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa lalu di bawah rezim yang totaliter dan militeristik.

“Kami bukan ingin mengambil tanah itu, tetapi bagaimana negara tetap menghargai kami warga-warganya” kata Salahudin.

Ungkapan Salahudin merujuk pada sejarah panjang usai pembentukan TNK dimana masyarakat setempat disingkirkan dan tidak dihormati hak-haknya.  Setelah mereka tak lagi berburu dan meramu makanan, mereka menjadi nelayan. Hanya bertahan sebentar, lalu kini sebagian besar menjadi penjual patung dan souvenir di Loh Liang.

Pada awal pembentukan TNK, masyarakat merasakan kegamangan luar biasa. Dari berburu dan meramu makanan, mereka belajar melaut terutama dari orang-orang Bugis dan Bajo. Ikan dalam kawasan TNK sangat melimpah, namun saat itu harganya belum seberapa dan lalu lintas penjualan belum berkembang.

Tidak lama kemudian, sekitar pada era 2000-an, laut menjadi kawasan konservasi. Ini periode sulit. Sistem zonasi membatasi wilayah penangkapan ikan. Apalagi, bersamaan dengan penetapan aturan baru tersebut, tindakan tegas dilakukan pihak pengelolah yakni TNC yang bergandeng tangan dengan pihak kepolisian. Pada periode ini, banyak yang disiksa, dipukul, bahkan dipenjara.

“Kita dulu sangat takut sekali, karena ditindak tegas”, kata salah seorang yang turut hadir dalam pertemuan di rumah Salahhudin.

Pada saat bersamaan, penduduk mulai diperkenalkan cara membuat patung dan souvenir. Pada awalnya hanya sekitar 10 orang saja yang menggeluti kerajinan patung dan souvenir. Kini sebagian besar penduduk komodo berkecimpung dalam usaha ini. Mereka berjualan di Loh Liang, pintu masuk wisatawan. Tidak sampai lebih dari 10 keluarga saja yang masih menjadi nelayan.

Masalahnya, mereka bersaing satu sama lain. Padahal jumlah turis tidak selalu banyak menuju Loh Liang. Apalagi tempat mereka berjualan, tidak menarik. Bentuknya seperti lapak jualan sayur dengan luasnya hanya sekitar 1×2 meter saja. Di saat ada kunjungan kapal Cruz, mereka terpaksa bikin kemah, agar yang lain mendapat tempat berjualan.

“Cukup sulit bertahan begini terus” kata Pak Magu, salah seorang pegawai di kantor desa.

Untungnya ada beberapa dari antara mereka yang sudah direkrut menjadi pawang selama kunjungan wisatawan. Mereka bukan dari staf BTNK tetapi seperti tenaga harian lepas.

Selain itu untuk menyongkong kehidupan ekonomi, rata-rata penduduk Komodo memelihara kambing. Namun memelihara kambing bukan tanpa persoalan.

“Masalah kambing di sini terus menerus dibahas” kata polisi Ardi yang bertugas di sana.

Menurutnya, hampir tiap pertemuan desa, tema penertiban kambing selalu menimbulkan debat alot. Pernah suatu ketika, warga mengusulkan untuk memindahkan semua kambing ke pulau yang terdekat.

Masalahnya, tidak semua warga mau membuat kandang. Kambing dilepaskan bebas begitu saja berkeliaran bebas di padang di belakang kampung warga. Kambing-kambing inilah yang membuat komodo sering mendatangi kampung warga. Karena untuk waktu yang cukup lama, komodo seringkali diberikan daging kambing oleh pihak BTNK di Loh Liang sebelumnya.

“Kita juga cemas kalau komodo datang ke sini. Anak-anak kecil sering bermain bebas di belakang kampung” terang Ardi.

“Lalu bagaimana jika Komodo datang?” tanya saya.

“Mereka usir” ujarnya.

Laporan Gregorius Afioma

 

(*Pernah dimuat di Flores.co)

Publikasi Lainnya