Kontroversi BOP

Kontroversi pembangunan BOP sudah mencuat. Pihak yang mendukung menilai kehadiran BOP dapat mengakselerasi pembangunan di Manggarai Barat pada khususnya. Sementara yang lain menilai BOP hanya mempercepat proses pencaplokan sumber daya publik di Manggarai Barat.

Penetapan BOP Labuan Bajo bagai ibarat mendapat durian runtuh bagi Mabar. Baru mekar tahun 2003, Mabar kini seperti dianakemaskan. Pada saat Sail Komodo pada 2013, Mabar disebut-sebut sebagai “pintu gerbang pariwisata di NTT”. Kini Melalui penetapan BOP, Mabar siap disulap habis-habisan menjadi kota pariwisata.

Tidak heran pula, dibandingkan dengan kabupaten lain, Mabar selalu mendapat perhatian dari petinggi negara. Sepanjang tahun dua tahun terakhir, sudah silih berganti para menteri mengunjungi Labuan Bajo. Mulai dari Menteri pariwisata, Menteri koordinator maritim dan sumber daya, menteri pekerjaan umum, menteri kelautan, menteri pertanian dan kemarin Menteri kehutanan.

Di penghujung tahun 2015, Presiden Jokowi sendiri mengunjungi TNK dan meresmikian bandar udara Komodo. Ia mengungkapkan rencana percepatan pembangunan dan perbaikan infrastruktur di Labuan Bajo pada khususnya.

Namun ada cerita menarik seputar kunjungan Menteri BUMN Rini Soemarno berserta para direktur utama BUMN yang menggelar rapat akhir tahun di Labuan Bajo. Usai pertemuan mereka berencana melakukan trekking di Pulau Padar, salah satu pulau di kawasan inti Taman Nasional Komodo.

Salah serorang yang mempersiapkan acara tersebut menceritakan,  sebagai persiapan kunjungan Menteri dan para dirut dibangunkan tangga kayu di Pulau Padar dan dermaga apung. Ia hampir tak percaya alasannya.

“Alasannya sederhana. Agar sepatu bu menteri dan para dirut tidak kena air.sementara tangga dibuat untuk yang gemuk-gemuk agar tidak jatuh”

Pembangunan Tangga itu sendiri menuai perdebatan. Terlepas dari apakah hal tersebut membuat nyaman pengunjungn atau tidak, pembuatan tangga dalam TNK dinilai menyalahi prinsip konservasi. Dalam zona inti, segala bentuk bangunan permanen sudah seharusnya dilarang.

Terlepas dari cerita tersebut, melalui BOP, tak salah lagi jika Manggarai Barat menjadi salah satu agenda penting dari masing-masing kementerian. Anggaran investasi mencapai 16 trilliun. Sebanyak 8 trilliun dari APBN dan 8 trilliun dari pihak swasta.

Anggaran dari pemerintah dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas infrastruktur seperti bandar udara, marina, tempat-tempat komersial, jalan trans-flores sepanjang lintas utara dan selatan, serta perbaikan fasilitas air bersih dan penambahan daya listirk.

Dukungan pemerintah

Meskipun tak banyak diketahui publik, pemerintah daerah kabupaten Manggarai Barat menyambut baik rencana tersebut. Bupati Gusti Dulla beranggapan, BOP adalah bentuk perhatian dari pemerintah pusat terhadap perkembangan di Manggarai Barat.

“Berita ini sangat membanggakan dan menggembirakan kita. Terima kasih kepada Presiden Jokowi atas perhatiannya kepada Kabupaten Manggarai Barat, berkaitan dengan potensi pariwisata yang  ada di Manggarai Barat”jelas Bupati.[1]

Sementara itu, menurut kepala Dinas Pariwisata Mabar, Theodorus Suardi, keberadaan BOP tidak tidak hanya mempercepatan pembangunan di Mabar tetapi juga mempermudah kerja pemda. Untuk infrastruktur, dia mencontohkan, kerja pemda sudah menjadi lebih ringan karena intervensi anggaran APBN.

Ditanya soal tumpang tindih kewenangan,  ia menjelaskan bahwa BOP bukan lembaga otorita berdasarkan wilayah tetapi berdasarkan fungsi. Tidak akan terjadi tumpang tindih, karena hanya hanya menyangkut pembagian kerja saja.

Namun ia mengingatkan, sedemikian fantastis proyek ini sehingga menuntut kesanggupan sumber daya manusia. “Apakah SDM orang lokal di sini sudah cukup atau tidak. Karena ini tidak boleh main-main” katanya.

Shana Fatina yang menjadi PIC BOP Labuan Bajo tak kalah optimisnya. Keberadaan BOP memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah terutama masyarakat lokal.  Ia mencontohkan, untuk pendapatan Daerah, dapat diperoleh dari retribusi 10 persen seluruh pelaku pariwisata di zona koordinasi BOP, termasuk BOP, operator travel, hotel, supermarket dan lain-lain.

“PAD dari retribusi 10% seluruh pelaku pariwisata d zona koordinasi BOP, termasuk dari BOP, operator travel, hotel, supermarket, dan seluruhnya” katanya dalam diskusi group whatapp pada 17 Februari 2017.

Lalu, menurutnya, kehadiran BOP menjadi solusi pengelolahan TNK selama ini. Selama ini, retribusi TNK selalu dibawa ke pusat sementara masyarakat lokal tidak menikmati hasilnya. Melalui pembentukan BOP, katanya, pemasukan dari sektor pariwisata akan langsung ke zona tersebut dan dikelolah untuk meningkatkan layanan masyarakat di sana.

“Uang yang masuk, kembali ke kita” katanya.

Kontroversi

Sekalipun sangat menjanjikan, tak sedikit yang meragukan kehadiran BOP. Apalagi, apa yang dijanjikan melalui BOP seperti pertumbuhan dan pembangunan merupakan cerita lama di Manggarai Barat, terutama di Labuan Bajo.

Ambil contoh adalah pengelolahan TNK di bawah Putri Naga Komodo yang rencananya mengelolah selama 25 tahun. Meskipun janjinya muluk-muluk, dalam praktiknya jauh panggang dari api. Warga protes, PNK pun bubar tanpa pertanggung jawaban yang jelas pada tahun 2010. Padahal sedianya dikelolah sampai tahun 2030.

 

Penolakan itu beralasan. Warga mengaku tak menemukan manfaat apa-apa, sementara perlakuan PNK dalam melakukan tindak tegas terhadap warga. Pada saat yang sama, keberpihakan kepada bisnis semakin merajalela. Sepeninggalan PNK, TNK sudah berubah menjadi lahan bisnis.

Kasus lain adalah Sail Komodo yang berlangsung di pantai Pede pada tahun 2013. Setelah beberapa tahun berjalan, event promosi senilai 3,7 trilliun itu kini diplesetkan jadi “Sial Komodo”. Sebabnya, pemerintah daerah dan masyarakat hampir tak merasakan apa-apa.

Apalagi, usai Sail Komodo, terjadi privatisasi Pantai Pede oleh PT. Sarana Investama Manggabar, milik Setya Novanto. Polemik ini sudah berkepanjangan, berpotensi menimbulkan konflik horisontal, dan demonstrasi berkali-kali. Belum lagi indikasi korupsi di sejumlah proyek. Di antaranya proyek air yang mencapai 30-an milliar.

Bupati Gusti Dula sendiri menyayangkan Sail Komodo ketika Manggarai Barat harus berurusan dengan persoalan sampah dan besarnya ongkos proyek air. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV swasta, dengan enteng ia menjawab, “Siapa suruh Sail Komodo di sini?”

Dalam sebuah diskusi di kantor DPRD, beberapa anggota DPRD beranggapan bahwa Sail Komodo adalah proyek pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menjadi penonton saja.

Selain itu, Yayasan Komodo Kita (YKK) muncul pada tahun 2011 dengan visi pengembangan dan persiapan pariwisata.  YKK terlibat aktif dalam mempromosikan TNK sebagai salah satu keajaiban dunia. Meski dari segi visinya yakni mendorong turisme dan mengurangi kemiskinan, YKK masih sangat dibutuhkan, namun yayasan ini sudah bubar.

Padahal di barisan dewan pembina dan dewan pelaksana nama-nama tokoh berpengaruh baik secara politik maupun ekonomi. Ada juga yang menjadi petinggi di media mainstream. Di deretan dewan pembina, ada nama Yusuf Kalla, Arifin Panigoro, Peter Sondakh dan Rikar Bagun. Di dewan pengawas, ada nama Sofyan Wanandi, Sulistiyanto, Suryadi Sasmita, Budiarto Tanojohardjo dan Don Bosco Salamun (Pemred BeritaSatuTV).

Sementara itu, kenyataan yang terjadi justru ironis. Bertambahnya jumlah turis, kasus privatisasi pantai, pulau-pulau, dan pesisir semakin merajalela. Ruang bisnis semakin besar sedemikian sehingga jumlah investasi meningkat pesat. Sementara fasilitas publik seperti rumah sakit, air, dan jalan raya masih jauh dari perhatian.

Apakah yang dapat menjamin bahwa BOP akan melakukan sesuatu yang baru dan tidak mengulangi janji manis yang sama? Sejauh manakah BOP dapat mengembangkan ekonomi sekaligus memperbaiki kesenjangan sosial dan fasilitas publik?

Pembangunan Sebelumnya

Alih-alih membawa kemaslahatan bersama, BOP bukan tidak mungkin mengulangi kesalahan yang sama. Kalau pun sukses secara teknis dan managerial, hasil akhirnya bukan pertama-tama untuk masyarakat secara umum, melainkan investor.

Dari porsi investasi saja, sudah dapat dilihat orientasi keberpihakannya. Dari 16 trilliun, separuhnya yakni sebesar 8 trilliun dari sektor privat. Hal itu tidak hanya menghilangkan posisi tawar negara, tetapi juga hukum rimba berlaku di kalangan investor. Siapa kuat dia dapat.

Apalagi, dari 8 trilliun yang disediakan pemerintah, semuanya berorientasi melayani investasi pariwisata ketimbang layanan publik. Anggaran sebesar 250 milliar, msalnya, direncanakan membangun marina, hotel, dan bangunan komersial di TPI. Bahkan untuk itu, sekitar belasan rumah tangga yang tinggal di sana diminta dipindahkan.

Tidak hanya itu. Pembangunan yang lain-lain sepenuhnya melayani kebutuhan pariwisata. Di antaranya, pembangunan bandar udara, pembangunan jalan lintas utara dan selatan, penambahan daya listrik, dan pengadaan air bersih demi kebutuhan kapal yatch.

Padahal, sebagai daerah agraris, kebutuhan sarana prasarana dan infrastruktur lebih mendesak dibuatkan ke sentra-sentra pertanian. Tidak hanya karena lebih dari separuh penduduknya adalah petani, tetapi juga karena lebih dari separuh dari  250 ribu penduduk Mabar tinggal di daerah-daerah pedesaan.

Jika proyek bandar udara dan pelabuahn marina memakan anggaran hingga ratusan milliar, sementara anggaran infrastruktur dari APBD tidak lebih dari 100 milliar dari sekitar 500-700 total APBD. Itu pun belum dihitung “saweran” dimana-mana.

Dari skema demikian, tidak mengherankan, BOP mengkhawatirkan sejumlah orang. Fajarudin, salah seorang pelaku wisata mengatakan, “BOP adalah kuda tunggangan investor.” Hal itu dikarenakan BOP justru hanya mempermulus langkah para investor.

Dalam kasus pembebasan lahan, anggota DPRD sudah memperlihatkan kekhawatirannya. “Kita tidak tahu BOP itu, apa yang akan mereka lakukan juga belum kita tahu,’’ ujar Marsel Jeramun sebagaimana dikutip dalam voxntt.com

Kebijakan yang Kapitalistik

Tidak saja kerumitan pengelolahan yang menimbulkan tanda tanya, namun kebijakan secara keseluruhan sudah tak menjamin prinsip kemaslahatan bersama lagi. Melalui BOP, sudah terang benderang bahwa pembangunan pariwisata sangat bercorak kapitalistik dan menuntut terjadinya privatisasi sumber daya publik secara masif.

Merujuk pada pendapat Cypri Jehan Paju Dale, dalam bukunya “Kuasa, Pembangunan, pemiskinan sistemik”, BOP sebenarnya sudah gagal mengidentifikasi kemiskinan di Manggarai Barat. Kemiskinan hanya dilihat sebagai produk dari kurangnya pembangunan dan intervensi pemerintah. Sebaliknya, kemiskinan adalah akibat dari pembangunan itu sendiri jika melihat banyaknya dana yang mengalir ke Mabar beberapa tahun terakhir.  Artinya, pemerintah gagal mengetahui mengapa masyarakat miskin, tetap miskin dan semakin miskin.

Dengan kata lain, kenyataan demikian terjadi karena negara modern memang sudah terkooptasi oleh kepentingan oligarkhi. Elite politik dan ekonomi sudah menyatu dalam satu tubuh. Prinsip utamanya, akumulasi modal dilakukan melalui akumulasi sumber daya alam. Tak heran, privatisasi dilakukan melalui regulasi dan berbagi langkah kebijakan. Segala bentuk kebijakan dan regulasi ujung-ujungnya mempermudah elit politik dan ekonomi mengakumulasi kekayaan.

Sayangnya, kemiskinan akibat ketidakadilan penguasaan agraria belumlah seberapa. Lebih memiskinkan lagi ketika terjadi  “pencaplokan” anggaran publik demi penyelenggaran even promosi dan pembangunan infrastruktur. Daripada menggunakan anggaran publik untuk infrastruktur bersama, kini sebagian besar dana dipakai membangun infrastrktur pendukung pariwisata. Sementara, dalam kenyataannya, industri pariwisata hanya dikuasai segelintir orang (Tolo:2016)

Karena itu, BOP tidak salah lagi jika hanya mereproduksi kemiskinan lebih lanjut. Alih-alih mengatasi kemiskinan dan struktur ekonomi-politik yang timpang, BOP justru menguatkannya. (Greg)

 

[1] http://humas.manggaraibaratkab.go.id/bupati-gusti-dula-perhatian-presiden-ri-jokowi-rahmat-besar-untuk-manggarai-barat/

Publikasi Lainnya