*) Kris da Somerpes
Kini proses pewarisan identitas nyaris sampai di titik akhir, walau sejatinya tradisi tidak berusia. Proses pewarisan dihadapkan pada beragam fakta yang dengan caranya masing-masing mencederai jalannya tradisi tenun NTT.
Pertama, para penenun NTT sementara ini mayoritas adalah generasi tua. Di beberapa tempat yang menjadi kantong-kantong tenun NTT seperti di wilayah kekaisaran Biboki TTU, Sumba Timur dan bahkan di Sikka Flores, para penenunnya adalah perempuan-perempuan tua dengan kisaran usia antara 40-60 tahun. Dan kalaupun ada golongan muda, maka menenun bukan menjadi pekerjaan utama, tetapi sebagai aktivitas pengisi waktu luang atau selingan.
Lantaran, menenun bagi generasi kini dipandang sebagai pekerjaan yang membosankan dan menyita banyak waktu. Tahapan proses pembuatannya yang sampai berminggu, secara ekonomis tidak efisien dan menguntungkan. Akibatnya tenun tinggal bergantung di ujung jari-jari uzur, generasi tua.
Kedua, Pada saat yang sama, waktu bergerak seperti berlari. Segala hal yang berkaitan dengan proses diminimalisir, demi tujuan mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam posisi ini tenun menjadi korban paling empuk. Pesona instantis-
me (bahkan pengabaikan akan proses) yang menonjolkan sisi sederhana, cepat, mudah dan ringan justru digandrungi, sementara yang lama, rumit, berat dan kaku dipandang purba dan kuno.
Perihal ini tampak mencolok pada ketertarikan massa pada kain-kiain batis, lantaran lebih ringan dan nyaman dikenakan. Bahkan di zaman instantisme, tenun ikat justru tenggelam di balik pesona ‘celana umpan’.
Ketiga, pengaruh lain dari problem instantisme adalah tawaran siap saji berbagai kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan untuk memproduksi tenun yang ditawarkan pasar. Berbagai bahan pewarna alami yang ada disekitar lingkungan dan diproses secara alamiah secara perlahan ditinggalkan, lantaran munculnya pewarna-pewarna sintetis produksi pabrik. Tidak hanya itu bahan dasar tenun berupa kapas nyaris punah setelah benang-benang toko jauh lebih mudah diperoleh dan pupoler digunakan.
Keempat ketertarikan yang tak terkontrol seperti di atas membawa dampak yang justru jauh lebih serius, yakni berkencambahnya duplikasi motif tenun melalui pembatikan, sablon dan digital print. Demi mengejar permintaan pasar, kaum berduit bisa dengan mudah menggandakan motif-motif tribal NTT. Ditambah harga beli yang jauh lebih murah sudah barang tentu banyak orang yang akan melirik motif-motif daerah yang diproduksi pabrik.
Kelima, selain karena pesona pasar, kebijakan ’setengah hati’ pemerintah untuk memproteksi pengaruh-pengaruh buruk atas keberadaan tenun NTT juga turut berpengaruh. Di satu sisi pemerintah mengumandangkan dalam dan melalui peraturan daerah dan atauran hukum lainnya untuk mewajibkan para pegawai negeri mengenakan pakaian motif daerah, namun di sisi yang lain justru begitu banyak pegawai negeri sipil yang justru mengenakan pakaian motif daerah hasil sablon, pembantikan dan dicetak dgital.
Keenam, ada disparitas harga atas tenun NTT. Bagi warga NTT harga tenun dijual murah, sementara bagi warga asing (lebih-lebih turis asing) dijual dengan harga mahal. Anggapan bahwa wisatawan asing banyak uang, sebenarnya adalah anggapan yang konyol jika berhadapan dengan bagaimana menghargai pewarisan identitas.
Justru sebaliknya, warga lokal harus mau membeli dengan harga yang jauh lebih tinggi, ketimbang warga asing. Sebagai warga lokal sesungguhnya masyarakat NTT menyadari bahwa tenun adalah identitas diri, identitas kultural, menjual dan membelinya adalah sebuah transaksi yang bermartabat, dan untuk itu perlu diganjar dengan harga yang mahal bahkan jika mau jujur tidak ada harga yang pantas untuk idealisme di balik itu.
Ada dampak ganda dari disparitas harga seperti ini, yakni pertama bisa membuat warga asing tidak berminat untuk memiliki (membeli) produk tenun NTT, dan kedua, warga lokal akan tidak menghargai tenun sebagai produk yang pantas untuk dihargai.
Inilah enam problem paling menonjol yang dialami mayoritas masyarakat NTT dalam upaya mewarisi dan mempertahankan identitas diri, komunitas dan tradisi. Di hadapan problem-problem tersebut dibutuhkan alternatif pelestarian yang digalang secara bersama, baik penenun itu sendiri maupun masyarakat umum, pemerintah dan juga pasar.[kbs/ssp]