*) Kris da Somerpes
Tenun atau menenun tidak sekedar proses untuk menghasilkan lembaran kain yang difungsikan untuk menutup tubuh dan atau alat tukar. Tetapi jauh melampaui itu merupakan simbol perjuangan dan perlawanan untuk mempertahankan identitas
Identitas Perempuan
Menenun selalu identik dengan perempuan. Konon, seorang perempuan yang tidak bisa menenun dipandang ‘bukan perempuan’ bahkan bisa kehilangan pesona di hadapan kaum pria.
Elisabet Abu, ketua kelompok tenun Nekmes Baboi Insaka kampung Ekafalo, Insana TTU mengisahkan pengalaman masa mudanya. Bahwa menenun merupakan pekerjaan wajib kaum perempuan. Lantaran itu walaupun masih kanak-kanak, mereka sudah diajarkan untuk menenun semua jenis tenunan.
Selain sebagai pekerjaan wajib kaum perempuan dan selanjutnya menjadi salah satu ciri perempuan NTT, kegiatan menenun juga merupakan bentuk perlawanan kaum perempuan terhadap dominasi partriakhi. Dimana perempuan senantiasa dipojokkan, dianaktirikan bahkan diinjak-injak harkat dan martabatnya hanya karena imagologi konyol yang menegaskan bahwa perempuan itu lemah.
Perihal perjuangan kaum perempuan untuk mempertahankan identitas, harkat dan martabatnya dalam dan melalui tenun, sejarah NTT pantas mencatat nama besar Ratu Dona Maria Du’a Lise Ximenes da Silva, permaisuri raja Sikka Ximenes da Silva.
Ratu Dona Maria tidak hanya membangkitkan semangat kaum perempuan untuk menenun dengan mengajak menenun, tetapi juga mengirim perempuan-perempuan Sikka untuk secara khusus belajar tenun di pulau Jawa. Ada idealisme tentang kesetaraan harkat dan martabat manusia yang diperjuangkan Ratu Dona. Bahwa dalam dan melalui tenun dan menenun, perempuan dapat terlibat dan melibatkan dirinya di tengah realitas sosial sebagai aktor perubahan, agen pembangunan.
Identitas Komunitas
Sejarah kehidupan komunitas-komunitas lokal atau suku-suku di NTT pantas pula megapresiasi kaum perempuan. Lantaran dalam dan melalui menenun, kaum perempuan NTT menulis tradisi pun menerajut jatidiri komunitas.
Mereka merekam peristiwa-peristiwa keseharian, mencatat kesan-kesan yang direfleksikan alam dan sekitarnya, memaknai setiap perjumpaan yang diupacarakan dan diritualkan, baik mitos, legenda maupun keyakinan kepada Yang Tertinggi. Dengan keahlian dan imajinasinya, mereka bekukan pemaknaan atas semuanya itu dalam ikatan benang-benang menjadi motif dan corak.
Komunitas masyarakat Sikka pasti tahu bahwa tenun ikat motif Naga Lalang yang melukiskan ular naga sebagai simbol kekuatan dan harapan. Atau jika Tenun ikat dari Sumba Timur dengan motif pohon dianggap lambang interaksi antara Tuhan menjenguk manusia dan manusia ditarik ke arah Tuhan.
Dan masih banyak lagi simbol-simbol yang diungkapkan dalam motif-motif tenun yang dengan ciri dan kekhasannya masing-masing menegaskan tentang ke-ada-an suku dan komunitas bersangkutan. Dan perihal itu, di NTT tak terbilang banyaknya, menyebar di ratusan pulau dan tumbuh di puluhan suku.
Namun menariknya bahwa dari semua itu dapat kita temukan dalam dan melalui lembaran-lembaran tenun yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Dengan imajinasi dan keahlian masing-masing, mereka wariskan identitas suku secara turun temurun. Tujuannya bukan hanya agar dapat dikenang semata, tetapi juga sekaligus menjaga agar identitas komunitas tetap terjaga hingga entah.
Identitas Harus Dihargai
Sebagai simbol dan ungkapan identitas diri, kain tenun pada mulanya tidak untuk digadai apalagi dijual. Tenun dibuat untuk dijadikan harta pribadi atau keluarga dan menjadi medium perjumpaan dengan Yang Tertinggi.
Tenun dan atau menenun juga merupakan idealisme untuk mendorong terwujudnya perubahan sosial yang dimulai dari diri sendiri (penenun) juga komunitas sosial (suku).
Lantaran itu proses pembuatan selembar tenun adalah sesuatu yang istimewa dan bahkan bermartabat bagi seorang perempuan. Amat beralasan mengapa proses pembuatan kain tenun disebut bermartabat.
Pertama, perempuan penenun akan melakukannya secara manual dengan bantuan peralatan-peralatan tenun tradisional. Mereka memintal benang dari kapas, selanjutnya memberi warna dengan bahan-bahan pewarna alami. Hal ini selain menunjukkan peran keterlibatan perempuan dalam proses penciptaan. Pada saat yang sama menegaskan pengakuan bahwa alam sekitar memiliki kekuatan yang perlu dibagikan.
Kedua, dan perihal itu dibutuhkan waktu, kesabaran dan ketekunan. Lantaran menenun membutuhkan kecermatan dan ketelitian. Setiap jenis tenun memiliki waktu proses yang berbeda-beda. Untuk menenun jenis songket, bisa dibutuhkan waktu dua sampai tiga minggu. Untuk tenunan jenis futus/ikat dibutuhkan waktu satu bulan. Sedangkan untuk tenunan jenis buna/talik dibutuhkan waktu sampai setahun. Masing-masing jenis tenunan memiliki tingkat ketelitian dan kecermatannya sendiri. Inilah salah satu faktor yang membuat harga tenun NTT begitu mahal.
Ketiga, menenun juga merupakan aktivitas olah imajinasi. Lantaran proses menenun melibatkan emosi/perasaan dan maksimalisasi peran imajinasi menjadi faktor penting dan utama dalam menenun. Apalagi ketika penenun harus menenun berdasarkan motif-motif purba. Seperti di kabupaten Sikka, untuk motif korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya). Atau di kabupaten Ende untuk motif klasik seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular. Untuk menenun motif-motif in, butuh imajinasi yang lebih lantaran selain melawan lupa juga menjumpa identitas diri.
Keempat, sebagai bagian dari aktivitas merajut kehidupan, proses menenun adalah proses yang sakral, lantaran dalam prosesnya terjadi perjumpaan dan relasi kedekatan antara manusia dengan Yang Tertinggi, pun bermartabat lantaran memperjumpakan manusia dengan dirinya sendiri dan sesama, pun dengan lingkungan alam sekitarnya.
Di sumba Timur misalnya, para penenun menenun motif yang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dari kelahiran sampai pada kematian. Motif tenun klasik yang berharga sampai ratusan juta ini dalam proses pembuatannya tidak hanya melibatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kehidupan, atau hanya dibutuhkan imajinasi dan keahlian tetapi juga totalitas dan ketulusan. Karena bagi mereka menenun motif perjalanan kehidupan manusia sama seperti merawat kehidupan, membimbing ziarah hidup manusia dalam perjalanan menuju keabadian.
Empat faktor di ataslah yang membuat tenun ikat NTT menjadi begitu istimewa. Keistimewaannya terletak pada posisinya yang bermartabat dalam ruang sosial, berkarakter dalam ruang imajinasi, bermakna dalam motif dan corak, berharga dalam pusaran pasar, pun memesona dalam penampilannya. [Kris da Somerpes/ssp)