Posisi Kasus Pede

Oleh: (Cypri J P Dale dan Edward Angimoy)

Tulisan ini berusaha secara ringkas memetakan kasus Pantai Pede di Manggarai Barat, NTT, dalam dimensi hukum dan administrasi pemerintahan,  kebijakan publik, model ekonomi, model demokrasi, dan etika pembangunan. Sebuah tulisan yang lebih dalam dan utuh, dari berbagai pakar pada  setiap dimensi utama kasus Pantai Pede, diperlukan untuk melengkapi tulisan ini.

Kendati multi-dimensi, inti persoalan Pede berkutat di seputar kepemilikan, akses, dan pemanfaatan pantai seluas 31,670 m2 di tengah kota Labuan Bajo itu. Sementara otoritas kepemilikannya masih menjadi kontroversi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, tindakan Pemerintah Provinsi yang menyerahkan lahan yang sebelumnya menjadi ruang rekreasi publik ini kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk diprivatisasi memicu perlawanan karena membatasi akses publik pada kawasan milik negara ini. Kendati diklaim bahwa pemanfaatan ruang Pantai Pede oleh pihak ketiga untuk membangun hotel, restauran, dan sarana rekreasi berbayar akan mendatangkan PAD bagi pemerintah provinsi, masyarakat yang menolak privatisasi tetap mempertahankan manfaat pantai ini sebagai ruang publik terbuka dan taman rekreasi tidak berbayar atau murah dan alami; mengingat pantai-pantai di Labuan bajo sudah dikuasai oleh industri pariwisata dan tidak ada ruang publik lagi.

Selain itu, persoalan Pede perlu dipahami dalam konteks lebih luas terkait dengan industri pariwisata, ekspansi kapital, dan pertarungan kepemilikan, manfaat dan akses sumber daya publik di Manggarai Barat.

Sengketa Hukum dan Administrasi Negara

Dimensi hukum dan administrasi Negara dari Persoalan Pede terkait erat dengan kepemilikan dan hak untuk mengikat kontrak dengan pihak lain. Poros persoalannya adalah pemerintahan pada level mana yang memiliki kuasa untuk mengelola Pantai Pede?

Data-data sertifikat yang ada menunjukkan bahwa tanah itu bersertifikat atas nama Pemerintah Provinsi, yaitu sertifikat Hak Pakai No. 10 tahun 1989 seluas 17,286 m2 dan Hak Pakai No. 11 tahun 1989 seluas 14,384 m2.

Namun, menurut Undang-Undang Nomor 8 pasal 13 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mabar, barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat wajib diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat paling lambat satu tahun sejak terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat (tahun 2003). Dalam kenyataannya kemudian, sudah hampir 12 tahun Pantai Pede belum kunjung diserahkan.

Sudah ada usaha dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk meminta Pemerintah Provinsi menyerahkan Pantai Pede melalui surat nomor 556.9/351/XI/Parhub-2005. Isinya adalah permohonan supaya Berita Acara Nomor P.519/1.1/IV/1994, tanggal 05 April 1994, tentang Penyerahan asset Propinsi NTT atas sebidang tanah di Pantai Pede yang berukuran 31,670 m2 kepada Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, diperbaharui untuk diserahkan secara langsung kepada Pemerintah Daerah Manggarai Barat hasil pemekaran.

Namun ada hal yang janggal dan mengherankan tentang pengelolaan Pantai Pede di tahun 2005 itu. Pasalnya, sempat ada Perda No. 23 tahun 2005 tentang Retribusi Ijin Usaha Tempat Rekreasi dan Olahraga Air, yang kemudian diganti dengan Perda No. 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, yang pada intinya menegaskan bahwa salah satu objek penerimaan retribusi daerah Kabupaten Manggarai Barat adalah objek wisata Pantai Pede. Ketika ditarik ke belakang malah makin janggal dan mengherankan sebab dalam proses terbitnya Perda, Pemerintah Provinsi melakukan asistensi terhadap rancangan Perda. Ini berarti Pemerintah Provinsi mengakui Pantai Pede sebagai aset Kabupaten Manggarai Barat.

Alih-alih melanjutkan dan mendesak proses penyerahan Pantai Pede itu, Pemerintahan Bupati Agustinus Dula yang berkuasa sejak tahun 2010 hingga kini, malah mengakui kuasa Pemerintah Provinsi dan membiarkan Pemerintah Provinsi menyerahkan pengelolaan Pantai Pede kepada pihak ketiga lewat mekanisme Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer) yang berlaku selama 25 tahun sejak 2014 hingga 2039. Kesepakatan kerjasama ini dituangkan dalam MoU yang ditandatangani pada tahun 2012.

Sejak itu, sejumlah elemen masyarakat sipil dan anggota DPRD Manggarai Barat dan DPR NTT mempertanyakan kewenangan Pemerintah Provinsi NTT atas kawasan Pantai Pede dengan basis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003 tersebut. Namun hingga kini, Pemerintah Provinsi sama sekali tidak bergeming. Bahkan, di tengah sengketa seperti ini, PT SIM yang didukung Pemerintah Provinsi telah memulai pembangunan fisik di Pantai Pede.

Akibat lanjut dari sengketa kepemilikan itu adalah soal keabsahan kontrak kerjasama (MoU) antara Pemerintah Provinsi dengan PT SIM.  Bukti sertifikat kepemilikan memang melegitimasi hak Gubernur NTT untuk mengikat perjanjian dengan PT SIM. Namun, jika UU Nomor 8 Tahun 2003 tadi ditegakkan dengan dorongan pemerintah dan rakyat Manggarai Barat di masa yang akan datang, maka kontrak kerjasama Pemprov dan PT SIM itu rapuh.

Sengketa Kebijakan Publik

Sengketa kebijakan publik ini terkait dengan model pengelolaan Pantai Pede. Entah di bawah penguasaan Pemerintah Provinsi NTT atau Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, persoalannya adalah apakah Pantai Pede tetap menjadi ruang publik terbuka dan dikelola sebagai taman rekreasi pantai dan taman budaya untuk masyarakat atau diserahkan kepada pihak ketiga untuk pembangunan hotel, convention center dan taman rekreasi berbayar milik PT SIM (diprivatisasi).

Pemerintah Provinsi NTT, yang didukung Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, telah mengambil keputusan untuk mengalihkan pengelolan Pantai Pede kepada PT SIM melalui (MoU) pada tahun 2013. PT SIM juga sudah membuat grand-design pembangunan, yang menurut dokumen yang dibagikan pada tanggal 8 Desember 2015 di kantor Bupati Manggarai Barat, terdiri dari hotel, convention centre, restauran, dan sarana olahraga. PT SIM mengklaim itu semua sebagai fasilitas rekreasi publik, tetapi bagian terbesar area Pantai Pede dijadikan hotel dan restauran. Tidak ada ruang publik. Dan sebagaimana di hotel-hotel lain, sarana kolam renang dan lapangan olahraganya berbayar.

Kelompok yang menolak privatisasi menghendaki Pantai Pede sebagai pantai alami terbuka. Kendati ada retribusi, itu akan dipakai untuk perawatan kebersihan saja. Pantai dibiarkan alami sebagai tempat piknik dan penyelenggaraan acara-acara kerakyatan seperti festival, pentas seni, perlombaan, dan lain-lain. Cukup ditambah fasilitas kebersihan, kamar basuh dan toilet, dan panggung rakyat seperti yang pernah ada di Pantai Pede sebelum dirobohkan sejak perjanjian dengan PT SIM ditandatangani.

Kelompok yang menghendaki Pantai Pede sebagai ruang publik dan tidak diprivatisasi ini kemudian melakukan mobilisasi untuk mendorong perubahan kebijakan publik. Berbagai jalur demokratis telah ditempuh melalui audiensi, surat, demonstrasi, dan pendudukan tempat di Pantai Pede. Namun, hingga kini seluruh upaya tersebut sama sekali tidak digubris Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Bahkan, ketika tulisan ini dibuat, PT SIM sudah sedang melakukan aktivitas pembangunan di Pantai Pede.

Model pembangunan yang melayani Ekspansi Kapital dan Visi the Commons

Privatisasi Pantai Pede adalah bagian dari Ekspansi Kapital yang begitu masif dalam industri pariwisata yang sedang bertumbuh di Flores. Dalam caranya beroperasi, para pemodal berusaha mendapat ruang-ruang strategis untuk mengkapitalisasi keindahan alam dan keunikan budaya Flores menjadi keuntungan (akumulasi modal). Investor-investor besar dan kecil berlomba-lomba merebut peluang industri pariwisata, dari hulu sampai hilir. Betapa tidak, angka kunjungan wisatawan, baik lokal maupun asing, mencapai bahkan mencapai 95.410 orang di tahun 2015 (Lih. www.bappeda.nttprov.go.id).

Para pemodal yang membentuk PT SIM sejak tahun 2012 mengincar Pantai Pede di sentral kota Labuan Bajo. Bangun Guna Serah (BOT) menjadi mekanisme yang dipilih agar mereka mendapat untung dari aset pemerintah yang sampai sejauh ini dipakai sebagai ruang publik bebas dan gratis.

Resistensi masyarakat terhadap privatisasi ini adalah wujud dari pertahanan the commons. The commons yang dimaksud dalam hal ini adalah semua sumber daya bersama (tanah, air, udara, pantai, hutan, dan lain-lain) yang dimiliki secara kolektif, aksesnya terbuka, dan manfaatnya diperuntukkan sebesar-besarnya bagi masyarakat umum. Ketika pantai-pantai dan pulau-pulau sudah dikuasai pemodal, masyarakat kehilangan akses ke pantai dan pesisir, baik untuk penghidupan (secara khusus nelayan) maupun rekreasi (masyarakat umum). Pantai Pede menjadi pertarungan sengit untuk dipertahankan karena selain sudah di bahwa penguasaan negara (umum), ini merupakan pantai terakhir yang dapat diakses publik. Penolakan terhadap privatisasi adalah pertahanan untuk the commons, pertahanan akses dan manfaat atas pantai publik.

Ada unsur lain dari pertahanan the commons ini. Di tengah lemahnya penegakan hukum agraria berdasarkan UU No. 1 2014 tentang garis sempadan pantai (pasal 1 ), serta lemahnya kepemimpinan lokal di Manggarai Barat, pantai-pantai lain ditutup aksesnya untuk publik. Dan dalam konteks ini, Pantai Pede dipertahankan karena merupakan tanah negara, dan karena itu dapat diakses dan dimanfaatkan publik secara bebas.

Oligarki vs Demokrasi

Aktor privatisasi Pantai Pede melibatkan politisi-pengusaha dari persekongkolan yang sama, yang selain merupakan politisi juga pengusaha. Mereka ini bercokol dalam partai-partai dan sekaligus memiliki bisnis; terutama pertambangan, perkebunan, dan sekarang pariwisata. Ketika kelompok ini melakukan privatisasi aset publik milik pemerintah, sebenarnya yang mereka lakukan bukanlah pengalihan kepada pihak lain (pihak ketiga), melainkan pengalihan kepada diri mereka sendiri. Yang yang terjadi di Pantai Pede kemudian adalah sebuah pentas oligarki dalam wujudnya yang paling mesum: pejabat negara mengalihkan aset negara kepada diri mereka sendiri.

Jelas praktik oligarki seperti ini bertentangan dengan demokrasi. Berbagai mobilisasi masyarakat yang melibatkan orang muda, intelektual, seniman, LSM, lembaga-lembaga keagamaan termasuk Gereja Katolik di Manggarai merupakan ekspresi demokrasi melawan oligarki itu.

Dan kini, kita sudah dan sedang menyaksikan oligarki dilawan oleh demokrasi di Pantai Pede. Oligarki dalam bentuk politisi-pengusaha dilawan demokrasi dalam wujud aspirasi dan tuntutan publik.

Posisi Rakyat dalam Pembangunan: Subjek atau Objek?

Dalam logika sederhana, pembangunan semestinya didesain, diputuskan, dan dikerjakan dengan melibatkan publik untuk memenuhi kebutuhan publik. Namun, rencana pengelolaan Pantai Pede lebih banyak didesain dan diputuskan oleh Pemerintah Provinsi NTT (melalui privatisasi yang dilakukan PT SIM) dan kini difasilitasi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Rakyat Manggarai Barat yang juga adalah rakyat NTT, dalam banyak cara “dipaksakan” untuk menerima semuanya dengan dalih bahwa pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataan ini, pemerintah dan kaki tangannya menjadi subjek dan rakyat “dipaksa” menjadi objek saja.

Sejak awal, mulai tahun 2012, rencana privatisasi Pantai Pede dengan seluruh dalilnya sudah ditentang masyarakat sipil Labuan Bajo. Memang di tahun 2016, rencana pembangunan hotel berbintang di Pantai Pede itu kemudian dimodifikasi menjadi taman rekreasi dan jasa publik berbayar agar memberi kesan bahwa tuntutan publik diakomodasi. Namun tetap saja logika di balik modifikasi itu adalah privatisasi. Tidak heran, rencana itu tetap ditolak. Dan hingga kini, gelombang penolakan itu bahkan makin meluas.

Semua itu adalah bentuk-bentuk pernyataan kehendak dan aspirasi rakyat terhadap posisinya dalam pembangunan. Rakyat ingin terlibat dan mengawal proses-proses pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan itu memang sungguh-sungguh menjawab kebutuhannya. Rakyat ingin menjadi subjek, bukan objek.

Namun, meski rakyat sudah menyatakan protes publik terhadap rencana privatisasi itu lewat berbagai cara dan media, Pemerintah Provinsi NTT juga melalui berbagai cara tetap saja memaksakan privatisasi itu. Pembangunan fisik oleh PT SIM yang kini sedang berlangsung di Pantai Pede adalah buktinya.

Dinamika ini kemudian memperjelas posisi pemerintah yang tidak ingin agar rakyat menjadi subjek bersama dalam mendesain dan memutuskan model pembangunan macam apa yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Dan dalam pertentangan ini, Pantai Pede adalah sebuah contoh pertaruhan sosial terhadap posisi rakyat dalam seluruh proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung dengan sangat masif di Manggarai Barat.

Kepentingan Pribadi vs Kepentingan Umum

Dalam sudut pandang lain, yang sedang terjadi di Pantai Pede adalah sengketa antara pertarungan kepentingan pribadi dan golongan melawan kepentingan umum. Pantai Pede sebagai tanah negara, yang sejak awal penguasaannya oleh negara dipakai untuk kepentingan umum, sekarang dialihkan untuk tempat usaha kelompok bisnis dan politik tertentu. Dalih tempat rekreasi publik dipakai sambil menyembunyikan kenyataan bahwa tempat rekreasi publik milik bisnis tertentu itu adalah  tempat rekreasi berbayar. Rakyat Manggarai Barat yang menghendaki Pantai Pede sebagai ruang publik terbuka tanpa bayar diabaikan. Dalih Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun dipakai tanpa memperhitungkan bahwa bagi rakyat PAD dapat diperoleh dengan cara lain. Apalagi, berapa besar PAD dari perjanjian privatisasi ini juga ditutup-tutupi dari publik.

Pertahanan publik untuk Pantai Pede didasarkan pada argumentasi bahwa kepentingan umum lebih dijamin kalau pantai ini tidak diprivatisasi dengan pembangunan hotel, restoran, dan sarana olahraga berbayar oleh PT SIM, tetapi dikelola sebagai tempat rekreasi alami dan ruang publik terbuka. Jika dikelola sebagai tempat rekreasi alami dan ruang publik terbuka, maka Pantai Pede akan menjadi salah satu ikon Labuan Bajo sebagai kota pariwisata yang pro rakyat.

Pertarungan antara kepentingan pribadi dan golongan versus kepentingan umum ini menjadi pertarungan etis dan politis sekaligus. Karena itu, hasil akhirnya kemudian akan sangat menentukan dinamika sosial di daerah ini.

Demikianlah dimensi-dimensi utama kasus privatisasi Pantai Pede. Ke mana hasil akhir dari persoalan ini menarik untuk kita saksikan lebih lanjut.

 

Publikasi Lainnya