Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik

Pembangunan  seringkali  diklaim  sebagai  suatu  proses  yang membuat hidup lebih baik bagi semua orang. Proyek-proyek dirancang  dan dilaksanakan atas dasar motivasi dan dengan tujuan yang tampak  mulia, yaitu “kehendak untuk memperbaiki” (Li, 2007) kehidupan orang yang  menjadi  sasarannya.  Namun  dalam  kenyataan  dan  pengalaman konkret kita temukan bahwa pembangunan tidak bermanfaat secara merata bagi semua orang di semua tempat. Bagi kelompok tertentu di tempat tertentu pembangunan memang mendatangkan kekayaan dan kesejahteraan; namun bagi banyak orang lain pembangunan  tidak saja gagal memenuhi janji kemajuan dan kesejahteraan, tetapi justru membawa serta ancaman bagi keberlanjutan hidup komunitas, alam, dan budaya mereka.

Kehendak untuk memperbaiki bercampur-aduk dengan kehendak untuk berkuasa, kehendak untuk menguasai, kehendak untuk mengatur, kehendak untuk menjalankan apa yang diinginkan; sehingga alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam  berbagai  bentuk.  Karena  itu  pembangunan  merupakan sesuatu yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.

Buku  ini  mendedah  ambiguitas  pembangunan  itu  dengan menyingkap  tidak  saja  kontribusi-kontribusi  positif,  tetapi  juga ambivalensi-ambivalensi dan    kontradiksi-kontradiksi    yang menyertainya. Dengan itu buku ini mengkritisi pandangan dan kepecayaan yang naif bahwa pembangunan itu sepenuhnya baik bagi semua orang, terutama bagi orang yang dilabel miskin, dan kerena itu perlu dijalankan, dipercepat dan diperluas tanpa syarat.

Sebaliknya  saya  menunjukkan  bagaimana  pembangunan  justru menjadi  penyebab  kemiskinan  dan  mengancam  kelangsungan hidup komunitas, alam, dan budaya dari kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan itu. Di dalam buku ini keterkaitan antara  pembangunan  dan  kemiskinan  tidak  dilihat  sebagai hubungan yang linear seperti dalam persepsi konvensional; yaitu bahwa pembangunan adalah solusi bagi kemiskinan. Sebaliknya saya  membongkar  kompleksitas  hubungan  pembangunan  dan kemiskinan. Di sini kemiskinan dilihat sebagai realitas-rekaan yang tercipta  bersamaan  dengan  proyek    pembangunan (masyarakat tertentu dilabel miskin oleh orang yang menciptakan proyek untuk menanggulangi kemiskinan itu, tanpa mempedulikan potensi-potensi manusia, alam, dan budaya mereka yang berlimpah) dan sebagai realitas-nyata yang dihasilkan oleh berbagai bentuk ekslusi, marginalisasi, eksploitasi, dan represi akibat praktek kuasa dalam dan melalui pembangunan itu.

Argumen inti saya adalah bahwa dari sudut pandang kontrahegemonik  pembangunan  merupakan  medan  sekaligus  wujud praktek kuasa hegemonik yang alih-alih mendatangkan kesejahteraan bagi semua, justru menciptakan kemiskinan sistemik, kehancuran ekologis, dan destruksi budaya. Pada saat yang sama saya juga mengkritisi cara pandang yang sudah terlanjur dipercaya umum bahwa pembangunan adalah alat di tangan penguasa (politik dan ekonomi, pemerintah dan pengusaha, negara dan pasar) untuk memperbaiki kesejahteraan manusia, terutama orang miskin. Pandangan itu, yang seringkali dipakai untuk melegitimasi pembangunan arus utama, mengandung daya tipu yang luar biasa dan melanggengkan berbagai tipu daya atas nama pembangunan.

Kuasa Dalam dan Melalui Pembangunan: Genealogi Kemiskinan Sistemik

Tinjauan kritis atas kompleksitas hubungan antara pembangunan dan kemiskinan memerlukan penelitian tentang Kuasa: apa itu kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dipraktekkan dalam realitas politik, ekonomi, dan kultural, termasuk dalam dan atas nama pembangunan.

Selain kuasa koersif, yaitu otoritas yang umumnya dianggap atau diklaim legitim yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan politik dan ekonomi (terutama pemerintah dan pemodal), dalam buku ini saya menaruh perhatian pada kuasa diskursif  yang  bekerja  lewat  praktek  wacana,  klaim-klaim kebenaran dalam onstruksi pengetahuan ilmiah dan kepercayaan moral, lewat hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan, dan lewat institusi-institusi,  dan  dalam  kombinasi  dari  semua  itu,  yang mentransmisikan  dan  sekaligus  merupakan  perwujudan  praktek kuasa. Dalam kenyataanya kuasa koersif dan kuasa diskurisif ini beroperasi secara bersamaan dalam suatu jejaring praktek material dan non-material dalam berbagai taktik multi bentuk, yang oleh buku ini diidentifikasi sebagai praktek kuasa hegemonik.

Sebagai perpaduan antara kuasa koersif dan kuasa diskursif, kuasa hegemonik itu berciri manipulatif. Walaupun brutal dalam kasus tertentu, seringkali kuasa itu bekerja dengan memanipulasi kesadaran dan kehendak publik, termasuk mereka yang dieksploitasi dan  ditindas. Mereka  menerima,  erestui,  dan  bahkan  ikut berpartisipasi dalam praktek pembangunan, tanpa menyadari proses-proses pemiskinan yang sedang terjadi. Bahkan seringkali mereka benar-benar secara lugu percaya pada janji-janji pembangunan itu.Dan ketika mereka sadar, umumnya sudah terlalu terlambat, mereka sudah berada di posisi marginal, lingkungan hidup mereka sudah diambil alih dan rusak, dan budaya mereka mengalami degradasi.

Saya memakai istilah Daya Tipu untuk menggambarkan karakter manipulatif dari kuasa hegemonik itu. Nyatanya, dalam bahasa Indonesia, daya menjadi akar kata yang sama dari memberdayakan dan   memperdayakan,   diberdayai   dan   diperdayai,   menjadi berdaya atau diperdaya-hingga-tak-berdaya. Sambil mengakui sisi memberdayakan dari pembangunan itu; buku ini menaruh perhatian kepada sisi memperdayainya; dan bagaimana proses ‘memperdaya’ itu dibungkus sedemikian rupa dalam institusi-insitusi, konstruksi-konstruksi berpikir, program-program, yang tampaknya baik tetapi dengan sengaja memanipulasi atau tanpa sengaja memperdayai.

Daya tipu itulah yang menjadi akar paling dalam dari tipu daya pembangunan.   Ciri generik dari tipu daya itu adalah klaim bahwa pembangunan itu baik dan perlu bagi semua dan karena itu perlu diperluas dan dipercepat tanpa syarat; sambil menyembunyikan berbagai proses dan mekanisme perampasan, dominasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk. Buku ini dengan teliti menelisik bagaimana pembangunan justru menjadi proses pemiskinan, lewat berbagai proses-porose politik, ekonomi, dan kultural. Juga buku ini menaruh perhatian dengan teliti pada perbedaan antara kehendak untuk  memperbaiki  dengan  hasil  atau  tujuan  yang  diinginkan, yaitu kehendak untuk menguasai (dengan sengaja – by commision)dan akibat yang dihasilkan (dengan tanpa sengaja – by ommision). Pemiskinan itu justru terjadi juga dalam dan melalui proyek-proyek yang disasar sebagai kehendak untuk menanggulangi kemiskinan.

Itu tidak berarti bahwa saya dengan naif begitu saja mencampakkan  pembangunan dan sama sekali tidak mengakui kontribusi positifnya. Buku ini mengakui kontribusi positif pembangunan dalam bentuk kemajuan yang dinikmati oleh banyak pihak, terutama bagi elit politik dan ekonomi, dan bagi korporasi dan kapitalis lokal dan global, serta kaki tangan mereka. Yang disoroti buku ini adalah klaim kebenaran yang sulit ditemukan kebenarannya bahwa pembangunan itu membawa manfaat bagi semua orang tanpa kecuali, dan bahwa pembangunan itu adalah solusi yang diperlukan oleh orang miskin dan termarginal, dan karena itu harus diperluas, dipercepat, dan dilanjutkan tanpa syarat. Jadi buku ini mengkritisi pengatasnamaan orang miskin untuk melegitimasi pembangunan, dan klaim bahwa merekalah yang membutuhkan dan mendapatkan manfaatnya.

Karena itu kritik buku ini diarahkan kepada konsep dan praktek pembangunan  arus  utama (main-stream).  Secara  garis  besar, yang dimaksud sebagai pembangunan arus utama dalam buku ini merujuk kepada pembangunan yang dikonsepkan dan dijalankan di negara-negara berkembang, institusi-institusi internasional, dan kerjasama pembangunan bilateral dan multi-lateral, yang melibatkan pemerintah,  investor,  lembaga-lembaga  internasional,  para  ahli pembangunan,  serta  agen-agen  pelaksananya  pada  semua  level.

Lewat studi kasus yang mendalam, buku ini menelisik, bagaimana pembangunan arus utama itu justru menjadi wujud dan medan praktek kuasa hegemonik yang alih-alih mengentas kemiskinan, justru menghasilkan kemiskinan, sebuah proses pemiskinan sistemik dalam wujud mekanisme pencaplokan sumber daya, dominasi, eksploitasi, ekslusi, margninalisasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.

Pendekatan Ekonomi-Politik

Buku  ini  memakai  pendekatan  ekonomi-politik (political  economy  approach).  Analisis  ekonomi-politik mengkaji keterkaitan antara proses-proses politik dan  ekonomi  yang  menentukan  relasi  kuasa  baik  kekuasaan politik (power)  maupun  kekuasaan  ekonomi (kekayaan/wealth) antara  kelompok-kelompok  berbeda  di  dalam  masyarakat. Kajian ekonomi-politik juga menelisik bagaimana relasi-relasi itu diciptakan, dipertahankan, ataupun berubah dari waktu ke waktu,21 lewat  penguasaan  sumber  daya  dan  alat-alat  produksi,  lewat konstruksi pengetahuan dan kekuasaan, lewat hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang memungkinkan terjadinya ketimpangan sistemik.

Analisis  ekonomi-politik  seperti  ini  membantu  kita  untuk melihat bagaimana dalam dan melalui pembangunan, kelompok-kelompok  yang  berbeda (misalnya  elit  birokrat,  para  pemilik modal,  dan  masyarakat  lokal)  memiliki  akses  dan  penguasaan yang berbeda terhadap kekuasaan politik dan sumber daya alam penguasaan  itu  menentukan  manfaat  yang  mereka  dapatkan dari proses pembangunan itu, dan juga mempengaruhi kondisi kehidupan mereka secara umum. Perspektif ekonomi-politik ini juga membantu kita untuk keluar dari frame yang konvensional dan sempit dengan melihat pembangunan seakan-akan sebagai proses ekonomi yang ditentukan oleh ‘hukum pasar’ atau ‘logika ekonomi’ semata, sambil abai melihat bahwa pembangunan itu sesungguhnya medan pertarungan kekuasaan yang pada akhirnya menempatkan sekelompok  orang  sebagai  yang ‘berkuasa’,  dan  yang  lainnya ‘dikuasai’.22

Pertanyaan utama yang memandu aspek empirik dari studi ini adalah  “bagaimana dan mengapa rakyat NTT tetap miskin di tengah kelimpahan potensi alam, manusia, dan budaya mereka; sementara kelompok elite politik dan elite ekonomi, seperti para birokrat, politisi, dan para pebisnis dan korporasi menjadi semakin kaya dan berkuasa? Bagaimana dan mengapa penderitaan terus saja mendera meski proyek pembangunan semakin banyak, dengan anggaran yang terus meningkat, dan investasi kapital nasional dan trans-nasional  yang  semakin  mengokohkan  cengkraman  bisnis  mereka?”

Kemiskinan NTT di sini tidak dilihat sebagai kemiskinan alamiah, seubah keadaan yang statis, sebuah kondisi yang begitu adanya (terberi) sejak semula. Buku ini justru menaruh perhatian pada kekayaan manusia, alam, dan budaya NTT sebagai satu kesatuan. Sambil mempertanyakan klaim dan labelisasi kemiskinan itu, buku ini menaruh perhatian kepada alasan dan proses yang mengakibatkan kemiskinan itu: mengapa dan bagaimana orang menjadi miskin di NTT. Pilihan ini mengantar kepada studi mengenai kemiskinan sistemik, sebuah kondisi yang berkait erat dengan proses-proses dan struktur-struktur politik, ekonomi, dan budaya, baik pada aras lokal NTT sendiri maupun dalam keterkaitan dengan proses-proses pada tingkatan nasional dan global.

Hasil  eksplorasi  atas  data-data  empirik  dengan  panduan “relasi-relasi kuasa macam apa yang terjadi antara berbagai elemen sosial-politik-ekonomi-dan-budaya di NTT; dan bagaimana relasi kuasa itu tumbuh dan berkembang (evolve) dari waktu ke waktu, mengejawanta dalam dan sekaligus memfasilitasi proses-proses pembangunan dan pengentasan kemiskinan, dalam keseluruhan dinamika sosial, politik, dan budaya?Refleksi kritis macam itu  memungkinkan  buku  ini  memetakan  matriks-matriks  relasi keterjajahan (kolonialitas,  bukan  hanya  kolonialisme/penjajahan politik) atau dominasi, eksploitasi, dan penindasan yang terartikulasi atau tereproduksi dalam praktek-praktek politik, ekonomi dan budaya seputar pembangunan dan kemiskinan, yang kemudian membentuk pola hegemoni kelas (yaitu segelintir elit ekonomi-politik-budaya di satu sisi dan mayoritas tertindas di sisi lain). Dengan kata lain, buku ini mencoba menyingkap bagaimana sistem penindasan dan keterjajahan bekerja dalam dan melalui pembangunan yang sekarang ini dijalankan dalam sistem politik dan ekonomi kita.

Perlu ditegaskan bahwa kendati menjadikan pembangunan di Manggarai Raya, NTT, sebagai studi kasus, buku ini bukanlah sebatas evaluasi atas kebijakan pembangunan lokal di NTT (policy analysis). Data dan analisisnya memang membumi di NTT; dan refleksi teoritis dan praktis tentang jalan alternatif yang dirintis buku ini merupakan bagian dari pergulatan kontra-hegemonik di NTT. Namun buku ini  juga  sekaligus  mengajak–dengan  contoh  pergulatan  NTT–antara pembangunan, kuasa, dan kemiskinan dalam masyarakat kontemporer. Dengan kata lain, buku ini merupakan telaah atas dominasi  pemikiran  dan  praktek-praktek  neo-liberal  kapitalistik dengan basis rasionalitas modern (modernitas).   Sambil menelaah aneka program dan proyek pembangunan yang dijalankan di NTT, buku ini mencoba   menggali dan mendiskusikan asumsi-asumsi, pretensi-pretensi, dan klaim kebenaran modernitas dan kapitalisme yang merasuki praktek-praktek dan konsep-konsep pembangunan itu.

Lebih jauh, buku ini juga membedah, meminjam rumusan Foucault, ‘aparatus-aparatus  sosial  konkret’  dari  pembangunan; yakni ‘rangkaian elemen-elemen diskursif dan material -misalnya, diskursus-diskursus, institusi-institusi, bentuk-bentuk arsitektural, keputusan-keputuasan yang mengatur, hukum-hukum,    ukuran-ukuran administatif,   pernyataan-pernyataan ilmiah’   dan ‘sistem relasi-relasi… yang terbangun antara semua elemen itu’ (Briggs  Morgan, 2002).  Singkatnya, buku ini bukanlah sebuah kajian kebijakan pembangunan dalam arti  sempit,  melainkan  sebuah  kajian  tentang  masyarakat  dan permasalahannya.  Fokus  perhatiannya  adalah  pada (1)  kondisi-kondisi, proses-proses, dan mekanisme-mekanisme dominasi dan keterjajahan yang dialami oleh kaum miskin (=Pemiskinan Sistemik) yang terjadi oleh karena relasi-relasi kuasa hegemonik (=Kekuasaan) dalam dan melalui proses pembangunan arus-utama dewasa ini (=Pembangunan).

Tiga Trajektori Ilmu Sosial Kritis

Analisa  ekonomi-politik  pembangunan  dalam  buku  ini  dibantu oleh  teori  sosial  kritis  terutama  teori  ekonomi-politik  Marxis, perspektif kritis Foucauldian yang berakar pada tradisi pemikiran kritis  Eropa  dan ‘pemikiran  dan  praksis  de-kolonial’  dan/atau ‘teori  dan  pemikiran  sosial  post-kolonial’.  Lebih  khusus,  dari berbagai trajektori teori sosial kritis itu, ada setidaknya beberapa konsep utama yang secara komplementer dipakai. Konsep-konsep itu adalah teori dominasi kelas yang diperluas, konstruksi kuasa/ pengetahuan (power/knowledge)  dan  kepengaturan /governmentality), teori keterjajahan (coloniality), dan kemiskinan struktural, dan opsi-kuasa, baik sebagai kuasa hegemonik yang mendominasi maupun kuasa kontra-hegemenomik yang menggerakkan pembebasan.

Singkatnya, seperti yang dijelaskan dengan rinci pada bab 3, perspektif teoritis buku ini adalah:

  • Analisis kontrol atas sumber daya dan Formasi Kelas : Marx dan Kritik atas Pembangunan Kapitalistik
  • Analisis Pembangunan Sebagai Wacana, “Kuasa/Pengetahuan”, dan “Kepengaturan: Foucault dan Teori Post-Development
  • Analisis Pembangunan dan Keterjajahan: Teori Pos-Kololian, dan Pemikiran-Gerakan De-kolonial.

Manggarai Raya – NTT Sebagai Studi Kasus

Diskusi kritis tentang Pembangunan, Kuasa dan Kemiskinan dalam buku ini tidak semata-mata diupayakan sebagai diskusi teoritik abstrak-umum semata, tetapi sebuah telaah kritis yang ditempatkan dalam konteks empirik dan pergulatan konkret tertentu. Untuk itu buku ini mengambil sebagai studi kasus di Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia.

NTT sendiri adalah kisah paradoksal. Di satu sisi potensi alam, budaya dan sumber daya manusianya sungguh unggul; namun di sisi lain NTT akrab dengan kemiskinan, baik ril maupun rekaan. Potensi NTT yang paling fenomenal dan menjadi perhatian dunia adalah keberadaan Komodo dan seluruh ekosistemnya, yang kini  masyhur sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia (world’s seven wonders of nature). Keberadaan Komodo-Keajaiban Dunia ini,  bersama  dengan  potensi  kelautan,  pertanian,  peternakan, pertambangan,  dan  juga  potensi  budaya  dan  ekonomi  kreatif, menjadikan NTT sebagai salah satu kawasan pembangunan ekonomi paling dinamis di Indonesia sekarang ini.

Dalam rancangan pembangunan Pemerintah Indonesia, yang tertuang dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011-2025, NTT dimasukkan dalam satu korider dengan Bali dan NTB, dengan fokus pembangunan pada  pariwisata  dan  daya  dukung  pangan  nasional.  Untuk  itu pemerintah mempromosikan NTT kepada para investor lokal dan asing, serta memfasilitasi operasi mereka di NTT antara lain dengan perangkat aturan serta pengembangan infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan umum, pelabuhan pariwisata, dan jalan-jalan raya ke pusat-pusat sumber daya-alam dan budaya NTT. Berpadu dengan hasrat para pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya pariwisata dan pertambangan, implementasi MP3EI ini memang menjadikan NTT salah satu medan investasi di bidang pariwisata, pertambangan dan pertanian. Investor dalam dan luar negeri, besar dan kecil, berbondong-bondong memburu untung di tempat ini.   Semuanya didasari klaim bahwa pembangunan itu penting dan berguna bagi rakyat miskin, dan didasarkan atas kehendak untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Tidak hanya investasi. Atas nama kemiskinan, NTT juga menjadi  sasaran proyek pembangunan dari lembaga bantuan internasional, baik  lembaga  antar-pemerintah (proyek  bilateral  atau  multi-lateral), maupun bantuan swasta lewat berbagai lembaga swadaya masyarakat internasional. Pada tahun 2013, misalnya, NTT menjadi sasaran dari 4  program dari lembaga-lembaga bilateral, 15 program dari lembaga multilateral, 20 program dari lembaga non-pemerintah (lembaga pengelola bantuan swasta). Total anggaran yang dikelola oleh lembaga-lembaga itu tidak kurang dari 233 milyard (untuk satu tahun saja). Sebuah jumlah yang tidak sedikit (Bapeda NTT, 2013). Pemerintah sendiri, pada tahun yang sama, menggelontorkan anggaran sebesar 3,7 triliyun rupiah untuk pembangunan di bawah payung  event  Sail  Komodo.  Menurut  klaim  pemerintah,  dengan anggaran sebesar itu,  “Sail Komodo merupakan jembatan emas menuju NTT sebagai destinasi pariwisata dunia” (Menko Kesra RI, 2013). Akumulasi   APBD,   APBN   dan   bantuan   pembangunan internasional itu, ditambah dengan invasi kapital swasta di bidang pariwisata dan pertambangan, menjadikan NTT sebagai sasaran proyek pembangunan dalam berbagai wujud.

Namun  ironisnya,  sisi  lain,  di  balik  semua  kisah  maraknya pembangunan itu, baik oleh pemerintah, Investor, dan Lembaga-lembaga  bantuan,  label  miskin  masih  saja  melekat  pada  NTT. Sebagian masyarakat lokal — pemilik segala sumber daya itu, yang  atas nama mereka anggaran pembangunan dan bantuan kemiskinan dikucurkan– justru terperangkap dalam belenggu kemiskinan yang berkepanjangan. Pemerintah  dan  lembaga-lembaga  pengelola proyek  bantuan  internasional  dari  tahun-ke-tahun  menciptakan proyek  dengan  frame  yang  tidak  berubah:  NTT  miskin,  dan karena itu NTT butuh dana pembangunan dan bantuan.

Kerja mereka tampaknya menjadi habitual dalam lingkaran setan-proyek-kemiskinan: kemiskinan-proyek-kemiskinan-proyek-kemiskinan, dst, tanpa ujung. NTT yang begitu kaya akan sumber daya dan menjadi  medan  para  investor  memburu  untung,  diperlakukan sebagai kawasan miskin yang butuh pembangunan dan bantuan, tetapi tetap miskin. Dan kemiskinan itu dipakai sebagai legitimasi untuk  mempercepat  dan  memperluas  investasi  dan  eksploitasi sumber  daya  alam,  menciptakan  lebih  banyak  proyek  bantuan internasional  dengan  dana  yang  makin  tinggi,  sedemikian  rupa secara terus-menerus sehingga menciptakan sebuah paradoks: kaya tapi miskin, terus menjadi sasaran bantuan tetapi juga terus dilabel miskin.

Paradoks kaya tapi miskin di tengah laju pembangunan dan proyek bantuan ini memicu pertanyaan: mengapa orang NTT menjadi miskin dan bagaimana mereka menjadi miskin serta tetap miskin atau semakin miskin? Bahkan label kemiskinan itu sendiri juga layak diselidiki; benarkah dan atas dasar apa mengklaim NTT miskin mengingat kelimpahan sumber daya alam, sumber daya kultural, dan tentu saja sumber daya manusia NTT sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dasar ini seringkali diabaikan dan dianggap tidak relevan oleh  agen-agen  proyek  pembanguan  pemerintah  dan  swasta, para investor, dan pelaku proyek bantuan atas nama pengentasan kemiskinan seperti lembaga-lembaga PBB, Bank Dunia, IMF serta lembaga-lembaga bantuan pembangunan bilateral bergentayangan di  NTT. Mereka menganggap kemiskinan di NTT sebagai kemiskinan ‘demikian adanya’; dan pembangunan, atau lebih persis proyek pembangunan yang mereka rencanakan dan kehendaki, merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi kemiskinan itu. Mereka   tidak mengkaji kemiskinan secara luas, mendalam, dan sungguh-sungguh.

Juga tidak banyak yang mencoba mempertanyakan asumsi-asumsi dan pretensi-pretensi mereka sendiri, baik tentang kemiskinan itu sendiri maupun tentang pembangunan yang mereka bawa sebagai solusinya. Lebih dari itu,   tidak ada kajian tentang dampak negatif pembangunan yang telah mereka jalankan atau yang mereka dukung  bagi masyarakat setempat. Singkatnya, bagi agen-agen pembangunan pemerintah  dan  swasta  itu,  beserta  lembaga-lembaga  bantuan pembangunan internasional yang terlibat, kemiskinan itu merupakan ‘kenyataan-demikian-adanya’,  tanpa  bertanya  apakah  masyarakat setempat sungguh-sungguh miskin, dalam arti apa mereka miskin, mengapa dan bagaimana mereka menjadi miskin. Juga bagi mereka pembangunan yang mereka jalankan dan mereka dukung merupakan solusi bagi orang miskin, tanpa usaha untuk mengkaji dengan jujur dan kritis dampak dari pembangunan itu bagi mereka.

Buku  ini  mengambil  pertanyaan-pertanyaan  mendasar  itu secara serius untuk membedah hubungan antara pembangunan dan kemiskinan sistemik di NTT. Buku ini mendasarkan diri pada pengalaman nyata manusia NTT berhadapan dengan praktek kuasa hegemonik  dalam  pembangunan  dan  proyek-proyek  atas  nama kemiskinan. Karena itu buku ini membedah misalnya proyek-proyek konservasi, investasi, pariwista, pertambangan, perdagangan bebas,  dinamika politik seperti pilkadal, pemekaran, jalannya pemerintahan dan  birokrasi,  pengelolaan  APBD  dan  APBN,  pengalaman pelayanan publik, realitas birokasi yang koruptif secara sitemik. Juga pengalaman orang NTT berhadapan dengan elit lokal, turis asing, investor yang semakin banyak merangsek masuk menguasai tanah dan bisnis pariwista, pengalaman berhadapan dengan birokrat, para pedagang dst.

Pembangunan dianalisa sebagai medan dan wujud praktek kuasa hegemonik, yang alih-alih mengatasi masalah kemiskinan seperti yang  dipropagandakan,  justru  menjadi  sebab  sekaligus  proses pemiskinan. Enam simpul studi kasus dikaji dengan fokus yang berbeda  untuk  menemukan  jawaban  bagaimana  pembangunan di NTT bekerja dengan daya tipu yang menghasilkan tipu daya sistemik. Dalam bab tentang konservasi dan eko-turisme, misalnya, buku ini menyingkap proses-proses resources grabbing sebagai green grabbing, yaitu perampasan penguasaan, akses, dan pemanfaatan sumber daya dari masyarakat setempat dan dari negara (bangsa) kepada agen-agen kapitalis nasional dan global. Hal yang sama terjadi dengan tambang dan perdagangan bebas kopi, gula dan air.

Dalam bab-bab tentang praktek politik dan pemerintahan, buku ini menyingkap bagaimana operasi negara itu tidak saja menghabiskan anggaran pembangunan untuk birokrasi dan administrasi, tetapi juga terarah kepada pelayanan maksimal bagi ekspansi kapital ke NTT, dengan mengorbankan pelayanan bagi masyarakat setempat.

Temuan-temuan  buku  ini    persis  bertolak  belakang  dengan kepercayaan semu para pelaku-pendukung pembangunan arus-utama itu, sebuah kepercayaan yang   senantiasa mereka propagandakan. Ditemukan bahwa akar dari kemiskinan sistemik di NTT bukan hanya kurangnya pembangunan atau macetnya proses demokrasi prosedural. Akar kemiskinan di NTT adalah   proses-proses politik dan  ekonomi  pembangunan  yang  membawa  serta  eksploitasi, marginalisasi, ketakberdayaan (powermlessness),  imperialisme kultural,dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Dan itu semua terjadi, justru karena praktek kuasa hegemonik dalam dan melalui pembangunan.

Prakek kuasa hegemonik itu bukannya berkurang berkat susksenya proses  demokrasi,  desentralisasi,  dan  otonomi  daerah  pasca-reformasi, tetapi justru berjalan beriringan dan bahkan dimediasi oleh proses-proses demokrasi itu. pembaungan pemiskinan. eksploitasi, dominasi, marginalisasi. bukan karena kurangnya pembangunan, tetapi justru karena dan melalui pembangunan itu.

Tawaran Alternatif

Perspektif kontra-hegemonik yang dikembangkan buku ini tidak hanya bertujuan untuk membongkar tipu daya dan daya tipu pembangunan, demokrasi dan proyek kemiskinan, tetapi juga dapat menjadi fondasi untuk mengembangkan alternatif. Karena itu, buku ini berbicara tentang Kuasa Kontra-Hegemonik Dan Artikulasi Baru dari Self –Determinasi. Konkretnya, kuasa kontra-hegemonik dan artikulasi baru self-determinasi itu dirumuskan dalam Tujuh Agenda Transformasi dan Opsi-Opsi Dekononial (Bab 11), yakni:

  • Melampaui Paradigma Proyek Pembangunan Dan Bantuan Kemiskinan: Keadilan Sosial Dan Hak Asasi Manusia
  • Melampaui Ekonomi Kapitalistik Dan Pasar Bebas: Tata Ekonomi Baku Peduli
  • Melampaui Logika Investasi: Kedaulatan Masyarakat setempat Dalam Kepemilikan, Pengelolaan, Dan Pemanfaatan Sumber Daya
  • Melampaui Good Government-Good Governance: “ Pemerintahan Yang Berdaulat Dan Produktif”
  • Melampaui Demokrasi Elektoral: Politik Sebagai Urusan Publik
  • Dari Tipu Daya Konservasi Menuju Pengembangan Ekologi Komunitas
  • Melampaui Pengetahuan Hegemonik Menuju Ekologi Pengetahuan dan Perjuangan Epistemik

Relevansi Teoritis: Sebuah Ajakan Untuk Pertarungan Diskursif

Secara keseluruhan, ke arah mana pembaca hendak diajak oleh penelitian dan penulisan buku ini? Hendak ke mana arah dituju, tergantung Anda! Kalau Anda adalah elite politik dan ekonomi yang  hegemonik, atau jika Anda kaki tangan mereka, atau mungkin Anda adalah orang yang sedemikian bebalnya sehingga mau terperdaya dalam tipu-daya mereka, maka Anda akan menganggap wacana kontra-hegemonik seperti ini sebagai ‘kritik yang mengganggu stabilitas dan ketentraman’. Anda tidak salah! Namun, stabilitas itu adalah stabilitas Anda dan tuan yang Anda abdi, ketentraman Anda dan kroni-kroni  Anda. Stabilitas dan ketentraman Anda itu bukanlah stabilitas umum, bukan kesejahteraan masyarakat ‘yang di bawah’ (people at the bottom), yang termarginalkan (the excluded), yang tertindas (the oppressed) dalam dan melalui pembangunan dan demokrasi kapitalistik-neoliberal.

Sebaliknya, kalau Anda adalah pembaca yang sendiri sudah berada dalam pergulatan melawan hegemoni modernitas dan pembangunan kapitalistik-neoliberal, dan kalau nurani Anda diilhami rasa keadilan, dan jiwa Anda dikobari semangat pembaharuan, tidak mustahil Anda akan menemukan pada lembaran-lembaran buku ini data-data, analisis dan argumen yang membuat Anda semakin sadar akan karakter hegemonik dan relasi kuasa dalam pembangunan dan demokrasi. Dan semoga dengan itu semangat dan karya untuk ‘dunia yang lebih baik’ semakin diteguhkan, lewat dialog-dialog dengan percikan refleksi buku ini.

Baik bagi penentang maupun bagi pendukungya, buku ini hendak saya ajukan sebagai ajakan untuk pertarungan diskursif, sebuah perdebatan teoritis dan praktis tentang bagaimana kehidupan yang layak dapat dibela dan dipertahankan.  Buku ini memang merupakan bagian dari usaha berpikir kritis (critical thinking) yang merupakan bagian dari perjuangan bersama   untuk tata dunia yang lebih baik. Pemikiran kritis kontra-hegemonik seperti ini, bersama dengan aksiaksi kontretnya, sekarang bermunculan di banyak tempat di penjuru muka bumi, sebuah gerakan yang memberi pengharapan akan masa depan bumi manusia kita.

Buku ini mengambil mandat akademik dan tanggung jawab politiknya sebuah tugas seperti yang direfleksikan Michel Foucault yaitu untuk membongkar  hegemoni  kuasa/pengetahuan,  yang  menopang stabilitas status quo yang dinikmati elit-elit politik dan ekonomi di satu sisi dan keterjajahan kelompok marginal di sisi lain; dan sekaligus membentuk “kehendak politik” kelompok pembaharu, termasuk di dalamnya kaum tertindas, untuk memperjuangan sebuah tata politik, ekonomi, dan kultural baru dengan keadilan dan kesejahteraan umum sebagai intinya.

Penelitian ini dengan sadar dan terencana keluar dari kepungan sains  positivistik  dan  menolak  bersikap  netral.  Dalam  analisis ekonomi-politik  yang  kritis,  apalagi  yang  berfokus  pada  relasi kuasa, netralitas sama artinya dengan membiarkan status quo. Analis sosial pada akhirnya harus memilih: pada posisi mana dia berada, dan dari posisi mana dia berpikir dan melakukan analisa. Posisi ini akan menentukan alur atau arah analisis. Dalam alur itu, buku ini pun sekaligus sebuah kajian ekademik dan politis.   Di sini, yang akademik tidak dipisahkan dari yang politik, seperti yang dipercaya dan diikuti dengan setia oleh para pemikir neoliberal. Sebaliknya, buku ini mempertahankan sebuah tradisi akademik yang justru terlibat dengan pergulatan politik masyarakat, di mana si peneliti dan pemikir sendiri menjadi bagiannya (bagian dari masyarakat itu).

Studi-studi yang terlibat seperti ini umumnya disertai oleh harapan bahwa analisis-analisis teoritis dan akademik merintis jalan  dan  meneguhkan  perjalanan  menuju  sebuah  proyek emansipasi, sebuah kerja de-colonial, sebuah perlawanan terhadap keterjajahan lewat konstruksi berpikir dan asumsi-asumsi dan klaim-klaim kebenaran.

Relevansi Praktis: Menulis Ulang Sejarah Masa Depan NTT

Selain relevansi teoritis bagi perdebatan yang berbobot tentang keterkaitan kuasa, pembangunan, dan kemiskinan, saya berharap bahwa buku ini memiliki kontribusi bagi gerakan sosial di NTT dan di Indonesia pada umumnya.

Akibat dari daya tipu dan tipu daya pembangunan dan praktek kuasa hegemonik berselubung demokrasi yang disoroti buku ini sungguh mengerikan. Sementara elit politik menggengam kuasa dan  elit  ekonomi,  termasuk  investor,  meraup  untung,  rakyat kebanyakan  masih  harus  bergulat  dengan  persoalan-persoalan bagaimana untuk sekadar bertahan hidup di tengah bermacam-macam  kesulitan.  Bagi  kelompok  marginal  itu,  pembangunan bukanlah kabar baik, dan demokrasi hanya menebar janji tanpa realisasi. Di tengah semarak pembangunan dan pesta demokrasi terus-menerus   dan   pemekaran   kabupaten-kabupaten   baru, NTT pun   tetap tinggal dengan Nasib Tidak Tentu dengan   terus mencoba untuk optimis    dalam    harapan Nanti Tuhan Tolong. Ketika pembangunan dan demokrasi dengan seluruh janji surga yang diobralnya tidak mampu memperbaiki kesejahteraan umum di NTT, ketika elit politik dan ekonomi menopang kuasa mereka dengan  ketidakadilan,  ketika  Negara  secara  beruntun  gagal memenuhi janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka orang terpaksa  menunggu  uluran  tangan  dewa  penolong  karena  tak lagi mampu menanggung kesulitan hidup, karena pembangunan dan  politik  tak  kunjung  berhenti  menjadi  mesin  eksploitasi, marginalisasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.

Namun, harapan Nanti Tuhan Tolong itu tidak lebih dari ilusi – Tuhan yang Muncul dari Mesin) dalam mitologi Yunani Klasik. Berharap Nanti Tuhan Tolong itu  pada  hakikatnya  adalah  candu:  menenangkan  dan  memberi optimisme  semu,  namun  sekaligus  membelokkan  perhatian  kita dan   melumpuhkan semangat melawan ketidakadilan dan mencari alternatif jalan keluar. Di tengah ketidakadilan yang sistemik, bukannya menggelorakan semangat ‘hanya ada satu kata dan tindakan: Lawan’, orang NTT mengharapkan pertolongan Nanti Tuhan Tolong. Padahal tidak ada Tuhan yang datang dari sebuah mesin, dan tidak ada mesin yang menghasilkan Tuhan penolong serupa itu.

Lantas, alternatif apa yang hendak dikembangkan buku ini? Daripada berharap Nanti Tuhan Tolong, termasuk Tuhan yang diharapkan datang tolong lewat investor, pemerintah dan lembaga bantuan internasional; buku ini (1) mengungkap daya tipu dan tipu daya pembangungan dan (2) mengajukan sebuah kerangka kritis untuk mengembangkan wacana (konsep dan praktek)   yang lain tentang pembangunan, kuasa, dan kemiskinan; sebuah wacana yang berpusat pada Penentuan Nasib Sendiri  (Self-determinasi). Atas dasar itu, buku ini berbicara tentang alternatif-alternatif kontra-hegemoni, opsi-opsi dekolonial, dan agenda-agenda emansipasi di NTT.

NTT  sekarang  ini  sedang  dalam  proses  menulis  ulang sejarahnya:  (1) sejarah perlawanan terhadap daya tipu dan tipu daya  pembangunan,  dan (2)  sejarah  perjuangan  menentukan nasib sendiri dengan survival, kesejahteraan, dan martabat sebagai intinya. Walau masih sporadik dan belum terkonsolidasi gerakan menulis  ulang  nasib  NTT  itu  tampak  dalam  gerakan-gerakan melawan  tambang,  mengkritisi  investasi  pariwisata,  reformasi pemerintahan, gerakan ekonomi kerakyatan, gerakan intelektual.

Pelaku intinya adalah masyarakat adat, kaum muda, intelektual, aktor-aktor  pemerintah,  koperasi,  komunitas  agama,  gerakan perempuan,  dan  lain  sebagainnya.  NTT  sedang  melahirkan harapan perubahan. Dan buku ini sendiri– yang secara tegas menunjukkan perlawanan terhadap hegemoni pembangunan dan mempromosikan kosmovisi NTT dan gerakan alternatif– adalah anak kandung dari gerakan itu.

Skema Buku Ini

Buku  ini  terdiri  dari  tiga  bagian  besar.  Bagaian  Pertama menjelaskan kerangka analisis (Bab 1) dan metodologi penelitian (Bab 2) yang berfungsi mengantar pembaca memahami anasilisis kuasa, pembangunan, dan pemiskinan sistemik yang dipakai dan metodologi yang mendasari eksplorasi buku ini.

Bagian Kedua berisi tujuh studi kasus di Manggarai Raya, yang selain dapat dibaca secara terpisah, secara bersama-sama menampilkan berbagai dimensi dari praktek kuasa, pembangunan, dan pemiskinan sistemik di Manggarai Raya. Setiap bab diawali dengan narasi-narasi hasil studi lapangan, disusul dengan analisis berdasarkan kerangka teoritis yang dipakai. Bagian terakhir setiap bab disertai dengan alternatif kontra-hegemonik terkait dengan kasus yang dibahas.

Tujuh  studi  kasus  ini  dipilih  untuk  menjelaskan  dimensi-dimensi penting dari kuasa, pembangunan, dan kemiskinan di Manggarai Raya. Kasus pengelolaan Taman Nasional Komodo (Bab 3), Pembangunan Pariwisata, Pertanian, dan Pertambangan (Bab  4),  dan  Tata  Niaga  Air,  Kopi,  dan  Gula (Bab  5)  lebih berfokus pada kuasa dalam pengelolaan sumber daya ekonomi.

Tema tentang pengolaan APBD  (Bab  6) dan Korupsi  (Bab  7) mengungkap tata pemerintahan dan kebijakan pembangunan. Bab tentang Pelayanan Publik Bidang Kesehatan (Bab 8) dipakai untuk menjelaskan contoh dari kemiskinan sistemik yang diakibatkan oleh pembangunan dan politik sebagai praktek kuasa hegemonik. Sedangkan kasus terakhir, yaitu tentang Keterjajahan Perempuan Manggarai (Bab 9) mengungkap dimensi gender, bersamaan dengan dimensi kelas dari ketidakadilan akibat praktek kuasa di Manggarai Raya. Bab 10 merangkum seluruh studi kasus di Manggarai dalam satu kesatuan analisis.

Bagian  Ketiga, yang merupakan Refleksi dan Tawaran Alternatif dibagi dalam tiga bab. Bab 10 merangkum seluruh studi kasus dalam sebuah kesimpulan tentang praktek kuasa hegemonik, pembangunan, dan kemiskinan sistemik dengan contoh kasus di Manggarai Raya. Bab 11 mencoba memakai pendekatan kontra-hegemonik  atas  kuasa,  dan  mendiskusikan  bagaimana  prakek kuasa kontra-hegemonik memungkinkan alternatif baru di luar pembangunan arus utama, yang alih-alih menciptakan kemiskinan sistemik,  namun/tetapi  justru  menghasilkan  ketidakberdayaan kaum tertindas. Ini menjadi semacam studi eksploratif tentang kemungkinan-kemungkinan  agenda  transformasi.  Bab  terakhir (bab 12) menutup buku ini dengan refleksi tentang siapa yang kerangka logis buku ini dapat kita harapkan sebagai pembaharu, terutama ketika kita sudah sadar untuk berhenti percaya pada janji-janji penguasa dan mimpi pembangunan. Bab ini menjembatani buku ini dari diskusi ke aksi nyata, yang merupakan awal sebuah medan pertarungan nyata praktek kuasa hegemonik vs kontra-hegemonik.

Dengan tiga bagian itu, buku ini berusaha tampil sebagai satu kesatuan yang utuh : kerangka analisis, studi kasus, dan kesimpulankesimpulan dan peluang aplikasinya.

Labuan Bangsa-Bangsa, 3 Maret 2014

Cypri Jehan Paju Dale

Publikasi Lainnya