Labuan Bajo, Floresmuda.com, Indonesia dengan 1280-an suku dan 700-an bahasa lokal adalah modal yang sangat besar untuk menjadikannya sebagai sebuah bangsa yang besar. Dengan kekayaan adat dan lokalitasnya itu Indonesia memiliki modal sosial dan modal komunal untuk bernegosiasi dengan ombak besar perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Demikianlah salah satu poin yang menjadi kesimpulan diskusi ‘Kelas Berbagi’ Rumah Kreasi Baku Peduli-Labuan Bajo, Minggu malam, 28 Agustus 2016.
Dengan tema umum ‘Budaya dan Identitas’, Paox Iben Mudhaffar, seorang pegiat budaya dan kajian keagamaan kelahiran Semarang namun kini menetap di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) berbagi pandangan tentang Indonesia dan Keindonesiaan mulai dari sejarah masa lalu hingga pergulatan dan pergumulan yang dihadapinya hari ini.
Mengawali diskusinya, aktivis jebolan Studi Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta dan Studi Ilmu Agama dan Budaya Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini memutar dua film dokumenter pendek. Satu film tentang rekaman jejak perjalanannya keliling Indonesia dan perjumpaannya dengan pegiat budaya dan pengurus lembaga masyarakat adat setempat mulai dari Halmahera-Maluku hingga Ende, Flores-NTT. Satu filmnya lagi adalah sebuah cuplikan singkat tentang Novel ‘Tambora 1815’, sebuah novel sejarah yang ditulisnya tentang letusan Gunung Tambora di NTB pada tahun 1815. Sebuah novel yang menceritakan peristiwa sebelum dan sesudah letusan Gunung Tambora. Berkisah tentang pergulatan kepentingan, cinta dan kehidupan yang menyelimuti bumi Aram-aram dan bagaimana hegemoni politik ekonomi Eropa membasuh peradaban-peradaban lugu Tambora dan sekitarnya. Letusan Gunung Tambora mengubur tiga kerajaan kala itu.
Berawal dari dua film dokumenter pendek itu, lelaki kelahiran Semarang ini menghadirkan ingatan peserta diskusi akan rentean peristiwa demi peristiwa masa lalu dan keterkaitannya dengan gelombang ekonomi dunia hingga hari ini.
Pariwisata di Labuan Bajo
Diskusi ‘Kelas Berbagi’ semalam juga pada akhirnya menyentuh apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi di Labuan Bajo, Manggarai Barat-Flores, NTT.
Menurut, Paox, panggilan akrabnya, dunia kini sedang bergerak ke arah yang lebih cair, transparan, tanpa sekat (beyond the boundaries). Sekian tahun lalu, Labuan Bajo~Kab. Manggarai Barat, sebuah Kabupaten yang hanya berada di barisan belakang, jauh dari pusat pemerintahan propinsi, apalagi Jakarta. Dalam kacamata pembangunan yang sentralistis, daerah ini hanyalah wilayah periferal, pinggiran, dan terabaikan.
Namun kini, orang dari seluruh penjuru dunia belum merasa ke Indonesia jika belum ke Labuhan Bajo, mengunjungi pulau Komodo dan berswafoto (selfi) di atas puncak pulau Padar dengan latar gunung dan laut yang sangat menawan itu.
Menurutnya, industri pariwisata itu merupakan “permainan” tingkat dewa, bagian dari gelombang revolusi ekonomi keempat, dimana akumulasi modal/kapital, resource, dan jaringan berpadu dengan kreatifitas tiada tara. Banyak hal yang dipertaruhkan, tetapi jelas, masyarakat kita tidak disiapkan untuk itu.
Suka tidak suka, mau tidak mau kita mesti menghadapi gelombang besar itu. Namun percuma kita melawan ombak besar. Lebih baik kita membuat papan surfing dan berselancar di atasnya.
Namun tentu saja, papan surfing model apa yang mesti kita buat?
Tentu saja, cara menjawab paling baik adalah dengan melakukan upaya-upaya kecil, secara perlahan, dan terus-menerus dengan fokus pada penguatan komunitas dan orang-orang lokal.
Demikianlah ‘Kelas Berbagi’ semalam di Rumah Kreasi Baku Peduli semalam. Diskusi ini dihadiri oleh belasan kawan-kawan pegiat komunitas dan praktisi pariwisata di Labuan Bajo yang juga turut menyumbangkan pikiran dan pandangan terkait apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi di Labuan Bajo hari ini dan upaya-upaya apa yang mesti kita buat sedari sekarang.
Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada Bang Paox yang sudah berbagi pandangan dan kepada kawan-kawan yang sudah datang berbagi.
Semoga ada kapan-kapan yang memampukan kita bisa berjumpa lagi di masa datang. (Boe Berkelana)