Masyarakat Adat Poco Leok Gelar Aksi Unjuk Rasa, Tolak Proyek Geotermal di Hari Lingkungan Hidup

0
16
Masyarakat adat Poco Leok long march dari Kantor DPRD menuju Kantor Bupati Manggarai

Pada Kamis, 5 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, ratusan warga dari 10 komunitas adat Gendang Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Bupati dan DPRD Manggarai. Mereka menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5 dan 6 yang dinilai mengancam ruang hidup dan warisan budaya mereka.

Proyek PLTP ini merupakan bagian dari perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu yang telah ada sebelumnya dan berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah barat Poco Leok. Proyek baru ini menargetkan kapasitas tambahan sebesar 2×20 megawatt.

Meski penolakan terus berlangsung, PT PLN tetap berupaya meloloskan proyek ini. Pada bulan Mei lalu, delegasi dari Bank Pembangunan Jerman (KfW) mendatangi Manggarai dan berdiskusi dengan sejumlah pihak. Namun, warga Poco Leok secara tegas menolak untuk bertemu dengan utusan bank tersebut.

Penolakan ini bukan tanpa alasan. Tahun lalu, KfW mengutus tim independen untuk meninjau proyek tersebut. Dalam kajian mereka, ditemukan bahwa proyek geotermal di Poco Leok melanggar sejumlah standar sosial internasional—termasuk soal perlindungan terhadap masyarakat adat.

Dalam aksi itu ratusan warga Poco Leok mengenakan pakaian adat Manggarai. Mereka memulai aksi dengan berjalan kaki dari titik kumpul di Gereja Katedral Ruteng sekitar pukul 11.00 WITA menuju gedung DPRD Kabupaten Manggarai untuk menyampaikan aspirasi. Usai berorasi di depan kantor DPRD, massa lanjutkan long march menuju kantor Bupati dan tiba sekitar pukul 13.00 WITA untuk melanjutkan aksi mereka.

Suara dari Poco Leok, Kritik Tajam terhadap Pemerintah

Sejumlah warga, baik perempuan maupun laki-laki bergantian orasi dan diselingi dengan Nenggo atau nyanyian tradisional Manggarai. 

Agustinus Sukarno, pemuda adat, menyebut aksi ini bagian dari refleksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Ia mengajak semua pihak menyadari bahwa bumi perlu dirawat, bukan dijual atas nama pembangunan.

“Flores bukan pulau geotermal, tapi Nusa Bunga. Kita hadir untuk mengetok isi kepala pemerintah, khususnya Bupati Nabit,” katanya.

Setelah Agustinus, orasi dilanjutkan oleh Tadeus, tokoh adat dari Gendang Lungar.

Ia menyampaikan bahwa “proyek geotermal tersebut merupakan bentuk pelecehan hak masyarakat adat”. 

“Kalau Bupati Nabit tidak mencabut SK itu, kami warga adat Poco Leok tidak akan tinggal diam ,“ tegasnya.

Tadeus melanjutkan, bahwa “Poco Leok bukan tanah kosong. Di dalamnya ada manusia. Dan manusia di Poco Leok bukan manusia biasa, tapi manusia yang punya adat dan beradab”. 

Ia menyayangkan sikap pemerintah daerah yang lebih mengakomodasi kepentingan investor dibanding rakyat yang memilihnya. “Bupati bukan tukang cap. Harus ada pertimbangan terhadap hak-hak rakyat,” tambah Tadeus. 

Sorotan terhadap dampak proyek dari perspektif perempuan disampaikan oleh Maria Suryanti Jun, salah satu perempuan adat Poco Leok. Ia mengkritik Bupati Nabit terkait proyek geotermal itu akan mengancam hak-hak perempuan.

“Bupati, dengar baik-baik. Bukan energi bersih dan hijau jika hutan kami gundul,” katanya lantang. “Poco Leok bagi kami seperti ibu kandung yang menyusui kami.”

Ia menegaskan bahwa perempuan sangat bergantung pada air bersih, yang terancam oleh proyek geotermal. Ia juga menyebut proyek telah menghancurkan harmoni sosial di kampungnya.

“Dulu kami hidup rukun, sekarang kami saling bermusuhan,” ujarnya.

Nada serupa disampaikan oleh Maria Teme, perempuan lainnya dari komunitas adat Poco Leok. Dalam orasinya, ia menyatakan penyesalan mendalam karena pernah memilih Heri Nabit dalam pemilihan kepala daerah 2020.

“Kami bukan orang bodoh. Suara kami percuma kalau akhirnya dibalas dengan kebijakan yang membunuh kami,” katanya.

Ia menilai Nabit telah mencederai kepercayaan pemilihnya.

“Karena biadabnya kamu menghadirkan proyek geotermal ini, kamu sendiri yang mencoreng kehormatan itu,” tegasnya.

Giliran berikutnya, Wilhelmus Jehau dari Gendang Mucu,  menyampaikan kritik tajam terhadap Bupati Nabit yang menurutnya telah mengkhianati masyarakat Poco Leok.

“Di sana tertulis ‘Kantor Bupati Manggarai,’ tapi bagi kami, itu bukan kantor bupati, melainkan tempat yang sudah menjadi sampah bagi orang Poco Leok,” ujarnya dengan suara tegas, mengarah ke gedung kantor bupati yang menjadi lokasi aksi.

Dengan nada getir, Wilhelmus menyampaikan kekecewaan atas narasi yang disebar pemerintah soal proyek geotermal yang disebut “ramah lingkungan”.

“Ramah lingkungan itu bukan slogan di atas kertas. Bagi kami, itu nyata: bagaimana kami hidup dari hasil bumi, dari tanah dan hutan yang kami rawat turun-temurun,” ujarnya. “Kau bilang geotermal itu hijau? Kalau hutan kami ditebang dan air kami mengering, apa itu namanya penghijauan?”

Ia juga menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan anak-anak mereka tidak ada kaitannya dengan proyek geotermal.

“Anak-anak kami bisa sekolah karena kami punya hasil bumi, bukan karena proyek-proyek seperti ini. Kami hidup dari tanah, bukan dari janji-janji kosong,” tegasnya.

Bupati Nabit Tersinggung, Kerahkan Massa Tandingan

Sekitar pukul 13.20, Bupati Nabit keluar dari kantornya dan berteriak ke arah massa aksi. Menurut keterangan seorang warga yang berdiri dekat pagar kantor itu, bahwa Nabit sempat teriak,  “kenapa kalian sebut nama saya?” sebelum akhirnya diarahkan kembali masuk oleh Satpol PP.

Servasius Masyudi Onggal, pemuda adat yang sedang berorasi saat itu, menanggapi reaksi Nabit dengan nada keras.

“Seharusnya Anda tidak tersinggung dengan kebenaran. Yang tersinggung dengan kebenaran itu bukanlah orang progresif.”

Setengah jam kemudian, Nabit terlihat keluar lagi lewat gerbang barat menuju Gereja Katedral Lama, lalu kembali membawa massa. Mereka sempat mencegat rombongan warga Poco Leok yang hendak pulang. Tiga dari delapan mobil warga berhasil dihentikan dan dikawal ke Polres Manggarai.

Sekitar pukul 16.30, Nabit menemui warga yang ditahan dan mengaku marah karena orasi warga menyinggung perasaannya. Warga akhirnya dipulangkan ke kampung dengan pengawalan polisi pada pukul 17.00.