Sunspirit – Pembangunan di Flores semakin memperlihatkan sebuah kenyataan yang paradoks. Geliat kemajuan, pertumbuhan ekonomi, investasi, peciptaan lapangan kerja pada satu sisi disertai dengan proses alih kepemilikan tanah yang melahirkan warga asli minim tanah (landless society) di sisi yang lain. Dalam dan melalui pembangunan, tanah serta sumber daya agraria lain milik masyarakat adat setempat pelan-pelan dikuasai segelintir kelompok kaya untuk tujuan akumulasi.
Bagaimana proses alih kepemilikan dan akses atas tanah-tanah masyarakat adat bekerja melalui proses-proses pembangunan di Flores? Apa solusi yang bisa ditawarkan bagi penguatan masyarakat adat di Manggarai?
Pada Kamis, 11 Februari 2021, forum diskusi Zoom in on Flores menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Mekanisme Alih Kepemilikan dan Akses atas Tanah-Tanah Adat di Wae Sambi-Labuan Bajo”. Kali ini yang diundang sebagai pemantik diskusi adalah Romo Hermen Sanusi, Pr, M.A. Ia adalah tamatan master antropologi UGM dengan tesis berjudul Praktik Kuasa Elit dan Pemerintah Daerah dalam Proses Pelepasan Tanah Klan di Wae Sambi (2017).
Diskusi yang dihadiri kurang lebih 50 peserta ini juga menghadirkan beberapa penanggap yaitu Erasmus Cahyadi, Deputi Hukum dan Politik PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Benediktus Janur, praktisi hukum di Labuan Bajo, Doni Parera, Direktur LSM Ilmu dan Silvester Joni, kolumnis masalah sosial dan politik Manggarai Barat.
Sebagai pengantar diskusi, Romo Hermen menguraikan semacam genealogi singkat pelepasan tanah-tanah adat orang-orang Wae Sambi, mulai dari era Orde Baru hingga sekarang saat Labuan Bajo ditetapkan sebagai destinasi wisata super premium oleh Pemerintahan Jokowi. Di bawah pemerintahan Orde Baru, sebagian tanah-tanah klan di Wae Sambi diserahkan kepada Pemerintah untuk pembangunan awal Labuan Bajo sebagai kota Kecamatan.
Sementara dalam rentang tahun 2003-2007, saat awal pembentukan Kabupaten Manggarai Barat, tanah-tanah warga Wae Sambi pelan-pelan dikuasai oleh birokrat, sebagian besarnya adalah orang Manggarai. Dengan harga yang cukup murah, mereka memperoleh tanah-tanah strategis untuk membangun rumah.
Pelepasan lahan-lahan adat milik warga Wae Sambi semakin masif terjadi pasca Sail Komodo pada tahun 2013. Harga-harga tanah di Labuan Bajo melonjak tinggi. Tergiur dengan harga yang sangat tinggi, tanah-tanah milik warga setempat dalam ukuran yang lebih luas pun kian banyak jatuh ke tangan orang Jakarta, juga warga asing.
Parahnya pula kondisi ini dimanfaatkan para spekulan tanah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan dari temuan penelitian Romo Hermen, sebagian para pembeli tanah dari Jakarta juga merupakan spekulan tanah. Mereka membeli tanah untuk kemudian dijual lagi ke orang lain. Sebagai contoh di Labuan Bajo plank nama atas nama Alam Kul-Kul tersebar di mana-mana bahkan hingga ke wilayah Melo. Menariknya sejauh ini tak satu pun dari tanah-tanah tersebut yang mulai dimanfaatkan.
Sementara itu, Eras Cahyadi mengingatkan bahwa sekarang ini, pasca industri ekstraktif, pariwisata adalah ancaman nyata bagi tanah-tanah milik masyarakat adat. Dalam konteks Labuan Bajo dan sekitarnya, hal ini tentu menjadi ancaman besar, mengingat pariwisata super premium yang mengubah agenda pembangunan pariwisata Labuan Bajo dari yang berbasis komunitas menjadi sangat berbasis industri.
Apalagi secara konstitusi, masyarkat sedari awal berada pada posisi yang begitu lemah di hadapan otoritas negara. Bayangkan UUD 1945 Pasal 33 saja sudah merumuskan kekuasaan negara yang begitu absolut atas tanah-tanah rakyat. Sementara itu, kendati keberadaan masyarakat adat diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), namun pengakuan itu mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu, di mana sejauh ini indikator dari syarat-syarat tersebut juga masih kabur.
Kendati demikian, menurut Eras, masih ada jalan lain yaitu pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum melalui Perda, dalam rangka untuk memperkuat posisi masyarakat adat di hadapan otoritas negara.
Sementara itu, Bene Janur, praktisi hukum di Labuan Bajo mengingatkan bahwa rentannya pelepasan tanah-tanah adat di Labuan Bajo, juga sangat tidak terlepas dari faktor kultural setempat. Kelonggaran dalam struktur adat seperti mekanisme pengangkatan Tu’a Golo yang dipilih warga dan bukan berdasarkan garis keturunan sebagaimana di wilayah Manggarai yang lain, tak jarang berujung pada klaim kepemilikan yang berbeda-beda atas suatu tanah ulayat.
Sebagai contoh di daerah Lemes, Dalu Mburak, pengangkatan Tu’a Golo oleh warga kemudian berujung pada konflik antara warga adat dengan Tu’a Golo yang dipicu oleh munculnya klaim atas tanah-tanah adat yang berbeda-beda.
Perbedaan ini, menurut Bene, juga kemudian berimbas pada konflik tanah warga adat versus pemerintah yang sering terjadi di Labuan Bajo dan sekitarnya selama ini. Munculnya klaim tanah yang berbeda-beda yang kemudian diperparah oleh tidak tertibnya tata administrasi tanah-tanah Pemerintah, juga menjadi penyabab utama di balik konflik tanah yang berkepanjangan antara warga adat versus Pemerintah belakangan ini.
Baca: Prahara Keranga: Refleksi Kasus Tanah di Labuan Bajo-Flores
Senada dengan itu, Doni Parera juga menegaskan bahwa tumpang tindih klaim ulayat, merupakan akar utama di balik lemahnya posisi masyarakat adat di hadapan para mafia tanah di Labuan Bajo. Situasi ini diperparah pula oleh tidak adanya itikad baik dari pemerintah untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik tekrait perbedaan klaim ulayat dari tanah-tanah warga. Sebagai contoh duduk perkara konflik tanah di Menjerite itu dipicu oleh klaim atas tanah ulayat yang berbeda-beda. Sementara konflik ini belum terlesai dengan baik, pemerintah tiba-tiba datang untuk mengambil alih lahan-lahan konflik tersebut.
Di bagian terakhir, Silvester Joni kembali menegaskan bahwa kasus-kasus tanah di Labuan Bajo secara terang-benderang makin menunjukkan eksistensi masyarakat adat yang kian rentan atau tak berdaya di hadapan gempuran para mafia tanah, baik individu maupun pencurian legal dari negara. Situasi ini menuntut tanggung jawab kita untuk segera memperkuat posisi masyarakat adat.
Bertolak dari duduk soal seperti itu, forum ini pun merekomendasikan pentingnya penguatan posisi masyarakat adat di Manggarai agar mempunyai posisi yang cukup kuat di hadapan otoritas negara.
Pertama, masyarakat adat perlu diakui sebagai subjek hukum, antara lain melalui Perda. Pengakuan subyek hukum ini menajadi dasar untuk menuntut pengakuan dari negara. Dalam konteks Manggarai, yang dimaksudkan dengan masyarakat adat adalah kesatuan antara beo (kampong) dengan lingko-lingko (tanah ulayat) sebagai ruang hidup.
Kedua, dalam konteks Labuan Bajo dan sekitarnya, Pemerintah didesak untuk segera menyelesaikan konflik tanah-tanah ulayat. Di Manggarai misalnya langkah ini perlu diawali dengan memperjelas kepemilikan lingko (tanah-tanah ulayat) sebagai ruang hidup masyarakat adat.
Ketiga, reformasi struktur masyarakat dengan tetep merujuk pada filosofi-filosofi kearifan lokal tentang hubungan antara orang Manggarai dengan tanah.
Keempat, mendorong tata tertib hukum pertanahan yaitu perlu adanya kesesuain antara fakta yuridis dan fakta fisik terkait penguasaan atas tanah-tanah tertentu. Untuk tanah-tanah ulayat misalnya, bisa dipertimbangkan untuk pendaftaran tanah secara sistematis dan lengkap atau juga melalui mekanisme sertifikat komunal.
Sunspirit 2021