Baca juga: (Bagian 1) Suara dari Taman Nasional Komodo
Basir (Kades Papagarang)
Kalau saya bicara tentang TNK, saya punya bahasa, kami tidak menolak tapi yang kami tolak itu proses kerja di dalamnya. Misalnya, bagaimana dengan desa-desa yang sudah dikoptasi oleh TNK yang harus diprioritaskan pembangunannya. Padahal, kalau bicara dari sisi ketatanegaraan, desa ini kan ada kementeriannya juga. Masa, kita hanya mengurusi manusia-manusianya,sedangkan sumber daya alam mereka (TNK) yang urus. Ini yang menjadi kendala. Sementara itu, kita dituntut agar diprofil desa setiap tahun harus ada perubahan yang diminta oleh kementerian desa yakni terkait dengan potensi dan dari pariwisata, apa-apa saja.
Di Pulau Sembilan, ada aneka ubur-ubur yang beraneka warnanya, di Pulau Tatawa untuk snorkeling dan diving dan keindahan pantai lainnya, tapi tidak bisa dikelola oleh desa. Padahal, wilayah desa yang punya potensi sumber daya alam tersebut. Anehnya, negara selalu menutut anggaran dana desa dan potensi yang ada agar dikelola dan dimanfaatkan untuk devisa desa, tapi bagaimana, sementara kita dipasung dengan hal-hal begitu.
Seharusnya TNK sudah harus bersama dengan desa untuk duduk bersama kita diskusi. Misalnya, untuk Pulau Sembilan dan Tatawa itu kita mau buat apa. Misalnya, Pulau Sembilan buat jembatan atau pos, lalu siapa yang akan kerja di sana untuk pungut retribusi dan lain-lain. Anehnya, semua potensi alam yang ada dalam desa di TNK dikelola dan terpusat pada mereka, sementara pembagian anggaran dari APBD misalnya, sama untuk semua desa. Kan anggaran dari APBD diambil dari desa yang nantinya akan dikembalikan juga ke desa. Berarti tak ada yang spesial dari kawasan ini. Semua hasil retribusi diambil oleh TNK dan pembagian ke pusat, mestinya yang dibagi ke desa harus lebih banyak dibandingkan dengan desa-desa yang lain.
Baca juga: (Bagian 2) Suara dari Taman Nasional Komodo
Selama ini, banyak proyek-proyek yang masuk ke desa, tidak pernah koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah desa seperti pembangunan tower HP. Mereka semua yang urus termasuk surat menyurat dibuat oleh TNK. Bayangkan kecewanya kita yang dipilih oleh masyarakat secara demokratis dan politik, ternyata semua hal diurus oleh balai taman nasional. Dari sisi regulasi, juga terjadi tumpang tindih sehingga berakibat pada kewenangan pengelolaan TNK. Kita mau ambil material untuk bangunan juga dilarang, padahal untuk membangun, kita punya desa. Kalau material habis, kami mau ambil di mana lagi, kalau pun ada di beberapa pulau, tapi itu sangat jauh. Padahal, material yang ada juga negara punya.
Mestinya, desa yang ada dalam kawasan diistimewakan, tapi malah mereka memeras lagi kami. Nanti proyek-proyek tahun 2018 ini akan banyak masuk ke desa dan kita pasti ambil material untuk membangun. Kalau kita dilarang maka saya akan surati bupati bahwa ada yang menghalang-halangi pembangunan di sini. Kalau proyek kami ada masalah, maka kami akan protes. Terkait penangkapan nelayan, saya sudah dekati pihk taman nasional tapi mereka bilang kewenangan ada di propinsi. Saya tanya mereka dan mereka bilang kami juga harus menjaga mereka, orang pariwisata, guide karena melarang pukat digunakan di lokasi terlarang.
Kami juga menjaga jangan sampai terjadi konflik. Jadi mereka bilang solusinya bisa diproses lanjut ke polisi atau selesaikan dengan cara pukat mereka tetap disita dan tidak boleh digunakan lagi oleh nelayan. Sekarang, masih dalam proses. Yang membuat saya agak, bukan juga mengalah mereka bilang kebijakan yang kami ambil adalah melepaskan mereka, tetapi pukat mereka tetap kami sita karena pukat jenis itu sudah tidak boleh dipakai lagi atau sudah dilarang. Kalau masyarakat nelayan ini sudah mulai diarahkan ke polisi, susah sudah. Katanya, status pukat itu sudah dilarang, baru-baru ini katanya ada petugas propinsi yang datang dan bilang pukat itu sudah dilarang.
Sekarang ini bahkan ada isu kawasan taman nasional akan diperluas lagi. Kalau saya liat ada dua masalah utama yakni kebijakan TNK, termasuk dulu ada pembuatan film dokumenter yang menggunakan bom. Mereka melarang, tetapi mereka mengguakan bom untuk merusak. Mereka melakukan sesuatu yang merusak. Seperti orang yang meneliti tentang narkoba, tidak mesti harus memakai narkoba. Kalaupun mereka mau buat film seperti itu, mesti dikawal oleh polisi. Dan itu aturan yang dibuat oleh TNK sendiri. Sekarang ada banyak proyek yang sedang dibuat di Loh Buaya dan mungkin juga di Loh Liang dan anehnya, semua material diambil dalam kawasan semua.***(Kornelius Rahalaka/peneliti Sunspirit)