Bapak Hamsa (Tokoh masyarakat Rinca)
Tahun 1970 tanah ini pernah dipilarkan oleh pemerintah kehutanan dari propinsi dan dari kecamatan dulu. Sekarang kita mau kerja tidak bisa. Ketika kita tanya mereka bilang, belum ada SK-nya. Sampai sekarang kita tidak mengerti juga, tunggu-tunggu sampe sekarang tidak muncul itu SK. Kita mau garap bagaimana. Kita ingin garap kita punya tanah. Kita tunggu SK, katanya perlu pengesahan dari Kepala Dinas Propinsi dan Kecamatan. Menurut masyarakat, ya sah karena pemerintah yang kasih patok. Tapi menurut mereka, mungkin tidak sah, makanya sampe sekarang kita ingin kerja hak milik kita yang di sana itu (Sebelah barat SD).
Kita ingin kelola kembali tanah-tanah kita. Luas sekali, mungkin puluhan hektar, itu namanya Wae Mata. Puluhan hektar, kita bisa lihat. Belum lagi di belakang SMP itu. Jadi, kita juga tidak mengerti, ini tanah dan pohon kita yang tanam, tapi mereka bilang ini taman nasional. Di atas tanah masih ada tanaman kelapa, kedondong sudah besar-besar. Kalau tidak dilarang, mungkin sudah ditanam yang baru lagi, tapi sudah tidak bisa. Saya pernah perjuangkan, tapi katanya tidak bisa. Alasannya, karena taman nasional. Kalau kamu kerja begini, belum ada SK-nya. Katanya ada SK-nya lagi. Saya pernah ditegur dan diancam tapi saya tanya balik mereka, siapa yang tanam pohon kelapa. Ini kan milik saya, saya yang tanam. Itu saya juga tanam jagung dan waktu petik saya undang mereka makan bersama, lucu juga.
Sampe sekarang, saya tetap kerja dan tidak ada reaksi dari mereka, itu kebun yang ada di belakang sekolah. Saya tetap kerja, hanya tahun ini belum karena masih musim panas. Hanya tanah di Wae Mata (disebelah barat SD) yang sudah tidak bisa kami kerja. Masyarakat di sini bersatu tapi takut. Takut ditangkap, ya begitulah. Ya masyarakat di sini orang bodoh kalau pemerintah bilang begini ya ikut saja. Padahal kami miliki sendiri bukan juga pinjaman, juga tidak. Bagaimana caranya untuk kerja lagi, tergantung pemerintah, agar kami bisa kerja kembali milik kami. Mungkin bisa bantu kita masyarakat bodoh ini. Bagaimana peran pemerintah? Memang dia (kades) bilang begini, kalau kamu orang mau kerja, kerja saja jangan jual saya punya nama. Katanya begitu, pernah sering omong dengan saya. Kalau kamu mau kerja, kerja saja tapi jangan bilang begini, saya yang suruh. Jadi, siapa yang mau kita ‘sandar’ kita juga kan takut.
Haji Sobri (Mantan Kades Pasir Panjang, Pulau Rinca)
Dulu saya masih kepala desa, orang datang dari mana-mana dari Reo, Pota, Ramu (para nelayan), mereka datang ambil pas di kantor balai taman nasional komodo (BTNK). Saya pernah diwawancarai wartawan dari Jakarta tentang taman nasional. Kami wawancara di bawah pohon sana, mereka minta tanggapan saya. Saya bilang ada untung ada ruginya. Di satu sisi ada untung tapi di sisi lain ada ruginya. Untungnya, kehadiran taman nasional, tangan-tangan jahat yang datang dari luar tidak ada. Dulu, tiap pagi begini bunyi bom tapi mana ada bunyi bom, sekarang tidak ada lagi, jadi hasil ikan bertambah. Hanya ruginya, orang dari luar boleh masuk asal ada pas. Kenapa orang luar dikasih ijin yang penting mereka ambil pas ijin supaya kalau patroli dating, bisa tunjukkan bahwa ini sudah lapor, itu saja.Tapi, kita tidak tahu, sebentar apa kegiatannya.Kalau petugas ikut di atas kapal barangkali.
Masalah taman nasional ini sejak awal, kami protes, protes, protes tapi belum ada solusi. Taman nasional terbentuk sejak tahun1980, kemudian milik (tanah) orang Rinca sebelum taman nasional terbentuk, ini yang kita belum tahu persis apakah ada kebijakan atau tidak. Itu hari ada yang datang dari Jakarta, tanya saya tentang pengelolaan pulau-pulau kecil dalam kawasan. Waktu itu saya Tanya mereka juga karena saya punya (pulau) milik dalam kawasan, tapi dia pisah dari pulau Rinca. Saya rencana dengan teman dari Inggris mau bangun hotel dan rumah makan, tapi ini kita dengar di luar-luar bahwa tidak boleh. Waktu itu, saya ke bupati dan bupati bilang saya setuju bapak haji bangun, asal tidak merusak karena yang bapak haji buat juga untuk mendukung pariwisata. Kalau bangun bongalow atau rumah makan berarti bapak haji dukung pariwisata. Sebenarnya, ada keterbukaan bisa tidak, bahwa kita mau rencana dalam kawasan tapi kita bukan mau merusak. Malahan kalau wisatawan mau bermalam di pantai, sudah ada hotel. Andaikan ini bisa TNK mau serahkan, dan banyak yang mau.
Baca juga: (Bagian 1) Suara dari Taman Nasional Komodo
Dulu kan tidak begitu, masyarakat pergi potong kayu, tangkap rusa dan kerbau banyak sekali. Padahal, kalau masyarakat berpikir tidak normal, bakar saja ini alang-alang, apa kerugian saya. Tak ada gunanya. Dulu saya dibilang kejam, ada petugas yang saya pukul. Masa, masyarakat yang ambil kayu sepotong kok harus dibawa ke Labuan Bajo. Sekarang, masyaraat tidak boleh lagi potong kayu sepotong, terpaksa mereka harus beli dari Warloka. Lebih baik pergi beli daripada ditangkap. Padahal, ditangkap kecuali ada pemboman.
Beberapa tahun lalu, ada warga yang ditangkap dan dipenjara, saya bersama ibu ke penjara dan kepada jaksa saya bilang, bagaimana dengan hukum, dia bukan tangkap tangan sementara bom, kok bisa dipenjara. Dia hanya ikut temannya dan mencoba-coba dan ikan itu dia bawa pulang dan jemur di kampong, tapi dia diproses 18 bulan penjara. Saya bilang, kalau melanggar hukum jangankan dihukum, ditembak mati juga bisa. Waktu itu, jaksanya orang dari Rote dan kami pulang, lalu tiga hari, tanggal 29 mereka suruh kami datang jemput warga itu, katanya sudah keluar. Mendengar itu banyak warga datang gendong saya, mereka senang sekali karena anak mereka dibebaskan. Begitu juga tanah-tanam milik orang di Rinca ini, mereka ingin kerja kembali tanah-tanah mereka.
Mereka (pemerintah) harus sadar bahwa taman nasional baru terbentuk tahun 1982 sementara harta milik orang Rinca sudah ada sebelum taman nasional terbentuk. Saya tahu, Aburizal Bakri beli Pulau Sebayur Kecil dengan harga Rp. 84 miliar. Pulau Sebayur Kecil yang ada di dekat atau di belakang Pulau Mesah. Saya sendiri punya lebih besar dan ada tiga pulau. Ada tiga pantai pasir putih di bagian barat, utara dan timur, semua berpasir putih. Namanya pulau Mbobabi, tinggal urus surat-surat, foto kopi KTP, tapi saya tidak bisa jalan sendiri. (Bersambung)