Masyarakat kita betul-betul aneh, penyumbang terbesar produk pangan untuk Nusa Tenggara Timur (Lumbung Pangan) justru menderita kekurangan pangan. Padahal kalau dilihat kondisi di Irigasi Lembor, tidak kurang-kurang institusi yang sudah tersedia dalam upaya penanggulangan kekurangan pangan. Mulai dari penanggung jawab Pemerintah (dalam hal ini Dinas Pertanian, Badan Penyuluh Pertanian dan Ketahanan Pangan) dan DOLOG; sampai kepada DPR yang bertanggungjawab atas legislasi yang mengaturnya. Dari petani sendiri yang tergabung dalam Kelompok Tani (POKTAN), Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN), Perkumpulan Petani Pengelolah Air (P3A), Gabungan P3A (GP3A), Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA).
Namun peristiwa kekurangan pangan akhir-akhir ini membuat kita semua bertanya-tanya, apa gerangan yang keliru dalam tata kelolah pangan kita??? Apakah pemberdayaan sudah cukup diupayakan, apakah Pembangunan Bidang Pertanian dalam praktek pelaksanaanya telah dijalankan dengan memegang prinsip-prinsip non-diskriminatif, trasparansi, partisipatif.
Dari pengamatan APEL, ada beberapa persoalan mendasar yang menyebabkan petani kekurangan pangan:
Pertama, keterbatasan sumberdaya manusia, persoalan ini merupakan penyumbang terbesar mengapa petani kekurangan pangan. Dalam aktivitas produksinya petani tidak tahu membuat analisis usaha tani yang menguntungkan. Sering terjadi biaya produksi melampaui hasil produksi. Tambahan pula, petani kurang memahami manajemen penghasilan dan mekanisme pengelolaan paska panen.
Kedua, pada dasarnya Lembor khususnya, memiliki sunber pangan karbohidrat yang beragam seperti sorgum, jagung dan ubi-ubian namun dengan adanya sistem pertanian yang monokultur saat ini, para petani tergiring ke pola konsumsi yang berpusat pada beras. Parahnya lagi, seluruh pengeluaran rumah tangga mulai dari biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, sosial dan lain-lain bertumpuh pada beras. Beras menjadi sandaran pokok dan satu-satunya untuk menghidupi keluarga. Lambat laun, sistem ini menghilangkan varietas lokal seperti sorgum, jagung dan ubi-ubian dari kehidupan masyarakat. Bahkan banyak generasi muda kini yang tidak mengenali aneka tanaman lokal yang pernah ada dan dikembangkan oleh nenek moyang dimasa lalu. Akibatnya sudah jelas, sumber pangan satu-satunya adalah beras dan kelestarian berbagai jenis tanaman lokal yang dibanggakan oleh nenek moyang kita terancam punah. Tidak heran, para petani kerap mengalami kekurangan pangan.
Ketiga, pergeseran musim yang sulit diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakir, kami selaku petani merasakan perubahan musim yang cukup signifikan. Curah hujan yang tidak menentu mengakibatkan pergeseran musim tanam. Dan pergeseran musim tanam ini menyebabkan produktivitas petani tidak memuaskan bahkan sering gagal panen.
Berangkat dari tiga persoalan diatas, APEL mengajak sesama teman petani untuk bertani secara lain dan cara berpikir yang berbeda, yakni pengembangan pangan lokal. Arahnya tentu saja pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan keluarga sembari mengusahakan pelestarian berbagai jenis pangan lokal di daerah bersangkutan. Meskipun belum begitu menyolok, namun perlahan nan pasti APEL mulai memperlihatkan perubahan ditengah sistem monokultur yang sudah terpola sekian lama di Irigasi Lembor.
Dalam segala keterbatasan APEL berusaha menggabungkan beberapa Kelompok Tani, Kelompok UBSP serta Kelompok Wanita yang ada di Irigasi Lembor sembari tiada henti mengajak yang lain untuk bergabung. Kini APEL tumbuh menjadi sebuah Organisasi Tani yang mengkarekteri diri dengan semangat “aliansi” terhadap segala bentuk kemapanan yang meninabobokan masyarakat. “Berasisasi” dilawan dengan memunculkan dan mengembangkan kembali ragam pangan lokal yang ada di Lembor. Pola konsumsi karbohidrat tidak lagi harus terpaku pada beras, melainkan juga memanfaatkan pangan lokal dan disesuaikan dengan kecukupan gizi 3BA: Beragam, Berimbang, Bergizi dan Aman. Pengembangan sorgum oleh anggota APEL telah menjadi salah satu bukti bahwa sorgum layak untuk menjadi sumber pangan selain beras. jenis tanaman lokal ini ttelah terbukti adaptif, minim air dan pupuk, mampu hidup di lahan kering dengan teknik perawaatan yang mudah dan ramah lingkungan. Dari sisi kandungan gizi sorgum mengandung serat tinggi dan rendah glukosa.
Semangat aliansi ini mendapat dukungan dari Lembaga KEHATI yang menjadi mitra kerja APEL. Kerjasama APEL dengan Lembaga KEHATI sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2013/2014 silam. Di tahun pertama pola pengembangan pangan lokal lebih mengarah pada demplot dalam rangka pengembangan benih dengan luas areal hanya 3 hektar. Hasilnya dilanjutkan dengan kerjasama tahun kedua (2014/2015) dalam bentuk kebun belajar dengan sistem tumpang sari dan luas arealnya 8 hektar. Memasuki tahun ketiga ini (2015/2016) pengembangan pangan lokal berskala cukup besar dengan luas arel mencapai 50 hektar.
Untuk memperluas jaringan dalam pengembangan pangan lokal ini APEL bergabung dalam P3L se NTT yang angotanya terdiri dari Kabupaten Ende, Kabupaten Flores Timur, Adonara, Lembata, Rote dan Sumba.
Sebagai tindak lanjut dari program kerjasama diatas, maka untuk meningkatkan kemampuan anggota dalam prosesing pangan lokal agar menumbuhkan minat dan selera pasar maka salah satu bentuk kegiatan yang dijalankan APEL untuk tahun 2015/2016 adalah Pelatihan Olahan Pangan Lokal dari Sorgum.
Penulis adalah petani sekaligus pegiat pangan lokal di Lembor. Ia juga aktif dalam berbagai advokasi masalah pertanian di Lembor. Pada tanggal 20 Maret 2017 lalu, ia telah meninggalkan kita semua karena sakit yang dideritanya.