Floresa.co – Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers mengecam cara-cara pembungkaman terhadap suara kritis pers karena “mengancam demokrasi Indonesia.”
“Kita mengecam cara-cara pembungkaman kepada teman-teman jurnalis dan narasumber,” kata Sasmito Madrim, Ketua Umum AJI Indonesia saat konferensi pers bersama sejumlah elemen sipil pada Senin, 8 Mei, merespons upaya pengambilalihan akun Telegram dan WhatsApp jurnalis dan upaya peretasan wesite Floresa.
Sasmito mengatakan serangan terhadap pers yang kritis saat acara internasional, seperti dalam ASEAN Summit saat ini sudah terjadi berulang kali.
Sebelumnya, kata dia, saat KTT G20 di Bali pada November 2022, intimidasi dan teror juga dialami oleh jurnalis di wilayah itu, yang ia sebut bagian dari “upaya kontrol informasi yang dilakukan oleh negara.”
Serangan terhadap Floresa terjadi setelah pada Minggu 5 Mei menerbitkan laporan berjudul Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo.
Liputan kolaborasi dengan Project Multatuli ini mengangkat masalah pengabaian hak warga di beberapa kampung yang dilalui Jalan Labuan Bajo-Golo Mori untuk mendapat ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang digusur dan upaya tekanan polisi terhadap aktivis yang menyuarakan masalah ini dan hendak menggelar aksi unjuk rasa pada 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit di Labaun Bajo.
Hari berikutnya, 6 Mei, akun Telegram dan WhatsApp salah satu jurnalis Floresa yang terlibat mengerjakan laporan kolaborasi itu diambil alih pihak lain. Seorang intel TNI yang sebelumnya pernah menelepon dan mempersoalkan berita Floresa terkait proyek jalan itu juga menelepon jurnalis yang sama, namun tidak sempat diangkat.
Sementara pada 7 Mei, muncul serangan malware terhadap website Floresa, sehingga dinyatakan ‘hacked’ dan butuh tindakan segera.
Sasmito mengatakan, “kalau aparat penegak hukum memiliki komitmen” makan dalam kasus upaya peretasan website dan pengambilalihan akun media sosial jurnalis Floresa oleh pihak tertentu sangat mudah sekali dilacak terkait siapa yang melakukannya.
“Banyak serangan-serangan digital yang dialami oleh jurnalis dan aktivis di daerah tetapi kemudian kasusnya menguap.”
Sementara terkait dugaan campur tangan Intel TNI, kata dia, penting ditekankan bahwa TNI tidak ada kewenangan untuk mengurusi pemberitaan.
“Soal berita itu urusannya di Dewan Pers. Jadi, ketika pemerintah atau lembaga negara merasa keberatan dengan pemberitaan sebaiknya lapor ke Dewan Pers,” ujarnya.
Mekanisme yang diatur dalam UU Pers terkait masalah pemberitaan, kata dia, adalah hak jawab kalau itu dianggap salah atau kemudian hak koreksi.
“Jadi bukan kemudian melakukan intimidasi atau teror dengan menghubungi narasumber ataupun jurnalis yang membuat berita. Ini tentu cara-cara yang salah dan tidak bisa dibiarkan,” katanya.
AJI secara organisasi, lanjutnya, mengecam serangan-serangan terhadap kebebasan pers, “karena ini sangat jelas jurnalis dan narasumber dilindungi UU Pers.”
“Kerugiannya tidak hanya jurnalis, tetapi juga publik. Ketika informasi dikontrol, disensor, maka publik tidak bisa mendapat informasi secara valid,” katanya.
“Kebebasan mendapatkan informasi dijamin konstitusi. Ketika negara melanggar konstitusi, melanggar undang-undang pers, ini mengancam demokrasi.”
Sasmito juga meminta kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk “menindak anggotanya yang bertindak di luar konstitusi” dan mendorong Dewan Pers untuk turun tangan dalam kasus yang menimpa Floresa.
“Kita tidak mau cara-cara yang bertentangan dengan hukum, baik saat KTT di Bali maupun di Labuan Bajo, terus terjadi,” katanya.
Sementara itu, Ade Wahyudi dari LBH Pers mengingatkan semua pihak agar tidak boleh melakukan cara-cara intimidatif apabila keberatan dengan pemberitaan.
“Siapapun, mau aparat bahkan presiden, terkait dengan keberatan terhadap pemberitaan, mekanismenya sudah eksis, sudah ada UU Pers, sudah ada mekanisme keberatan yang diatur oleh Dewan Pers,” katanya.
Ia menjelaskan dalam pasal 8 UU Pers ditekankan bahwa dalam menjalankan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum, sehingga “tidak boleh mendapatkan intimidasi,” termasuk serangan-serangan siber untuk menggagalkan aktivitas jurnalistiknya.
“Kemudian di pasal 4 disebutkan terkait dengan bagaimana seorang wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh bahkan hingga menyebarkan.”
Oleh karena itu, kata dia, tindakan-tindakan yang intimidatif, harusnya bisa diminimalisasi atau jika ada keberatan gunakan jalur sengketa pers. bukan jalur-jalur yang tidak demokratis.
Wahyi juga mendesak Kapolri untuk memonitor jajarannya terkait dengan dugaan penghambatan terhadap kebebasan berekspresi, baik kepada masyarakat ataupun kepada pers.
“Begitu juga dengan Kompolnas, saya pikir bisa ikut memantau bagaimana kondisi kebebasan pers, kondisi kebebasan berekspresi dan berpendapat di sana [Labuan Bajo],” ujarnya.
LBH Pers juga meminta Dewan Pers agar bisa terlibat aktif mendorong atau turun tangan untuk “melindungi teman-teman jurnalis di Floresa karena potensi ancamannya tidak sedikit, tetapi kita lihat berkali-kali.”
“Turun tangan untuk melindungi ini menjadi sangat penting ataupun mekanisme berkoordinasi dengan aparat penegak hukum supaya [jurnalis] mendapatkan perlindungan dalam kerja-kerja jurnalistiknya,” katanya.