Floresa.co – Sejumlah lembaga advokasi yang mendampingi warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT dalam perjuangan melawan proyek geothermal meminta bank asal Jerman yang mendanai proyek itu turun langsung ke lokasi untuk menemui warga.
Menurut mereka, PT PLN dan pemerintah mengabaikan pernyataan pimpinan bank tersebut baru-baru ini yang menekankan memberi perhatian serius pada tuntutan-tuntutan warga.
Pengabaikan itu tampak dengan tetap memaksa melakukan survei di Lingko Munting, lahan ulayat milik warga Gendang Rebak, Poco Leok pada 1 Agustus, kata mereka.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] mengkritisi aktivitas pada 1 Agustus itu yang berlangsung hanya “sepekan pasca warga Poco Leok menerima surat balasan dari Bank KfW.”
Ia pun mendesak otoritas bank itu “bertemu dan mendengar langsung suara penolakan warga” dan “mengambil keputusan untuk mengevaluasi kembali skema pendanaan kepada pemerintah Indonesia dan PT PLN.”
Melky mengatakan, pertemuan langsung dengan warga amat penting untuk mengetahui secara rinci situasi di lapangan karena menduga pemerintah dan PT PLN memberikan informasi yang tidak jujur kepada Bank KfW, sebagaimana “pola-pola lama dalam entitas bisnis seperti industri ekstraktif.”
Ia mengatakan Bank KfW bisa mencontohi langkah Bank Dunia yang sudah dua kali turun langsung ke lokasi proyek geothermal lainnya di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dan tidak begitu saja percaya pada klaim-klaim pemerintah dan PT Geo Dipa Energi yang hendak mengerjakan proyek itu.
Pastor Simon Suban Tukan, SVD, koordinator lembaga Gereja Katolik JPIC-SVD Ruteng juga mengatakan “PLN dan aparat keamanan tidak patuh pada konsen serius dari KfW.”
Ia mengtatakan, langkah pemerintah dan PT PLN kontradiktif dengan pernyataan Bank KfW yang menyatakan memberi perhatian terhadap “tuntutan warga agar proyek itu memenuhi standar lingkungan dan sosial internasional untuk investasi.”
Sementara itu, Valens Dulmin, pengacara dari JPIC-OFM Indonesia, lembaga Gereja Katolik lainnya yang turut mendampingi warga mengatakan aktivitas PT PLN yang terus-menerus berupaya menguasai tanah warga Poco Leok merupakan “upaya pemaksaan.”
Upaya tersebut, kata dia, selain menimbulkan keresahan sosial, juga berpotensi “melanggar peraturan perundang-undangan.”
“Apapun alasannya, keterlibatan aparat keamanan dalam proyek geothermal ini juga berpotensi menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan bagi warga,” ungkapnya.
Umbu Wulang T. Paranggi, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] cabang NTT menilai bahwa tindakan PLN yang melakukan pengerahan aparat keamanan sebagai bagian dari upaya intimidasi “agar masyarakat merasa takut.”
“PLN jelas mengabaikan hak tolak warga dan hak warga untuk menentukan masa depan lahan di kampungnya,” ungkap Umbu.
Umbu mengatakan, selain menuntut KfW menemui warga secara langsung, lembaganya berharap bank tersebut menyurati pemerintah dan PLN untuk “menghentikan semua proses di lapangan sebagai bagian dari penghormatan pada hak asasi warga.”
Kehadiran petugas PLN pada 1 Agustus direspons warga Poco Leok dengan upaya pemblokiran akses ke lokasi lahan ulayat mereka. Beberapa perempuan juga berusaha duduk di jalan, demi menghadang kendaraan polisi dan perusahan yang memaksa masuk.
Ini merupakan rentetan aksi penolakan warga yang terus menguat dalam beberapa bulan terakhir. Pada Juni, warga sempat terlibat bentrok dengan aparat, hingga beberapa terluka dan salah satu diantaranya dirawat di rumah sakit.
Pada 5 Juli warga mengirim surat kepada Bank KfW berisi argumen-argumen penolakan, di antaranya menolak eksploitasi atas ruang hidup, proses-proses proyek yang tidak melibatkan warga dan adanya represi oleh aparat keamanan.
Proyek tersebut, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional, adalah perulasan dari pembangkit listrik Ulumbu, berada sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.
Proyek ini menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini.