Floresa.co – Pers tidak bisa hanya terpukau pada pembangunan yang masif di Flores, tetapi perlu memberi tempat pada isu-isu yang terpinggirkan dan perjuangan mereka yang diabaikan, demikian harapan para narasumber dan peserta yang terlibat dalam acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023 di Labuan Bajo baru-baru ini.
Wigbertus Gaut, dosen Universitas Katolik Indonesia St Paulus Ruteng yang berbicara dalam sesi diskusi acara itu mengatakan, peran pers amat penting karena proyek-proyek pembangunan membawa serta berbagai masalah serius bagi warga lokal.
“Isu-isu tentang peminggiran masyarakat yang perlu diperhatikan pers,” katanya.
Digelar di Baku Peduli Center, Watu Langkas, 10 kilometer arah timur Labuan Bajo pada 28 Mei, acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023 yang diinisiasi oleh Project Multatuli, berkolaborasi dengan Floresa dan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Surabaya.
Acara dimulai di Surabaya pada 18 Mei dan ditutup di Jakarta pada 3 Juni, bersamaan dengan ulang tahun kedua Project Multatuli.
Di Labuan Bajo, acara ini mengangkat tema “Pariwisata, Pengabaian Warga dan Kerusakan Alam di Flores: Bagaimana Pers Memainkan Peran?”
Jefry Dain, ketua panitia mengatakan, tema ini hendak mengajak pers merefleksikan peran di tengah konteks Flores saat ini yang sedang menjadi sasaran pembangunan masif.
Acara ini, katanya, menjadi momen bagi pekerja pers untuk bertanya “apakah selama ini sudah menjalankan peran yang semestinya,” dalam merespons masalah-masalah seperti pengabaian hak-hak dasar warga, peminggiran dan penguasaan sumber daya oleh segelintir orang.
Di samping diskusi, acara diisi dengan pentas seni yang melibatkan berbagai komunitas, seperti musik dari Kamus Band milik komunitas pemuda di Labuan Bajo, tari dari Sanggar Tatekind Art SMK Negeri 3 Komodo, dan stand up comedy dari Komunitas Stand Up Indo Labuan Bajo.
Melihat Pembangunan di Flores
Wigbertus mengatakan, pembangunan di Flores, khususnya di sektor pariwisata memang rentan dengan peminggiran dan pengabaian masyarakat setempat karena menempatkan orang-orang luar, termasuk para investor, sebagai anak emas.
Hal ini, kata dia, terjadi karena tren di negara berkembang seperti Indonesia yang melihat pariwisata sebagai primadona atau sektor unggulan, beda halnya dengan di negara maju ketika sektor pariwisata hanya dilihat sebagai bonus bagi perekonomian.
“Di negara maju, wisatawan dan masyarakat lokal dianggap sejajar. Tetapi di [negara] kita, pariwisata berkembang menjadi eksklusif, sesuatu yang sangat mewah,” katanya.
Wigbertus mengatakan, di negara maju pembangunan dimulai dengan sektor industri primer dan ketika sektor itu sudah maju dan bisa memenuhi kebutuhan dasar warga, baru mendorong industri jasa seperti pariwisata.
Di Indonesia, yang terjadi adalah “lompatan dari petani, nelayan, langsung pariwisata,” katanya, sehingga “bagi kita, investor pariwisata dianakemaskan, diutamakan dibandingkan kepentingan masyarakat lokal.”
Gejala seperti ini, jelas dia, terlihat dari menjamurnya pembangunan berbagai infrastruktur di daerah Labuan Bajo dan sekitarnya, yang berbeda jauh dengan situasi di wilayah lain di Manggarai Barat.
“Walaupun tidak ada orang di Batu Gosok,” katanya menyebut salah satu wilayah di pinggiran Labuan Bajo, “tetapi di sana ada tiang listrik, kabel-kabelnya lengkap.”
“Belum tentu di kampung-kampung [di Manggarai Barat] ada listrik,” katanya.
Wigbertus menyebut gejala ini sebagai sebuah “lompatan pembangunan yang instan karena melihat pariwisata” sebagai sektor yang cepat menambah devisa negara.
“Jika investor dianakemaskan dan tidak adanya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, konflik terjadi karena masyarakat jadi penonton,” katanya.
Sementara itu, Mershinta Ramadhani dari Puanitas, organisasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, menyoroti masalah terbatasnya akses kelompok perempuan dalam pariwisata.
Ia mengatakan, di Labuan Bajo, perempuan umumnya bekerja di sektor informal, dengan perbedaan upah yang sangat jelas dengan laki-laki dan tidak ada perlindungan.
Ia mengatakan, peluang kerja bagi perempuan saat ini 30 persen di sektor informal, sementara di sektor formal strategis kurang dari 5%.
Ia juga menyebut tingkat kekerasan berbasis gender yang tinggi – meski tidak menyebut secara persis data jumlah kasus – dan tidak ada akses yang merata pada faktor penunjang pengembangan diri karena masalah pola pikir maupun struktur sosial dan konstruksi sosial masyarakat dalam melihat posisi perempuan.
Mershinta juga menyebut sejumlah regulasi diskriminatif yang belum inklusif dan peraturan-peraturan sosial tidak tertulis yang membatasi peran dan gerak perempuan.
Ia mencontohkan soal sopir dalam bisnis pariwisata di Labuan Bajo, yang hampir tidak ada perempuan.
“[Itu terjadi] bukan karena perempuan tidak bisa nyetir, tetapi karena pengaruh konstruksi sosial,” katanya.
Mershinta juga mengkritisi cara pandang yang melecehkan perempuan, termasuk komentar-komentar seksis yang muncul dalam acara diskusi itu yang ia dan beberapa perempuan lainnya protes keras.
“Lelucon-lelucon seksis yang tidak lucu dan menjadi obrolan yang dibiasakan dan dinormalisasi” katanyanya, “sangat mengganggu sekali dan menggambarkan bahwa perspektif gender kita di Manggarai Barat masih sangat rendah.”
Wigbertus dan Mershinta sama-sama berharap pers berperan mengubah situasi ini.
Pers, kata Wigbertus, diharapkan memberi perhatian pada mereka yang hak-haknya diabaikan demi memberi karpet merah bagi para investor.
Ia memberi contoh dua soal serius dalam pariwisata di Labuan Bajo saat ini yang perlu menjadi perhatian pers, yakni pencaplokan wilayah sempadan pantai oleh hotel-hotel yang membuat warga setempat sudah sulit mengakses pantai dan konflik agraria akibat peningkatan permintaan tanah untuk investasi.
Sementara bagi Mershinta, pers bisa ikut terlibat mendorong akses yang merata bagi perempuan dengan mengusung pemberitaan-pemberitaan yang berperspektif gender.
“Di Labuan Bajo, saya kurang sekali menemukan [pemberitaan] media yang berperspektif gender,” katanya.
Pengalaman Project Multatuli dan Floresa
Devina Yo dan Rosis Adir, masing-masing mewakili Project Multatuli dan Floresa, berbicara tentang bagaimana kedua media tersebut berupaya menjawab keresahan publik terhadap pers saat ini, terutama terkait kurangnya memberi ruang bagi kelompok terpinggirkan.
Project Multatuli dan Floresa telah terlibat dalam kolaborasi meliput beberapa isu strategis di Labuan Bajo, termasuk yang terbaru adalah perihal pengabaian hak warga terdampak pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori untuk mendapat ganti rugi dan tekanan terhadap warga saat hendak menyuarakan persoalan tersebut saat ASEAN Summit.
Menurut Devina, Project Multatuli lahir dua tahun lalu karena berangkat dari keresahan terhadap kurangnya perhatian terhadap isu-isu terpinggirkan, yang ia sebut ‘gurun pemberitaan’ pada media di Indonesia.
“Gurun pemberitaan adalah kenyataan di mana media-media arus utama, terutama di Jakarta cenderung membahas pengalaman laki-laki yang ada di Pulau Jawa yang berasal dari kelompok elit yaitu politik dan bisnis,” katanya.
Hal ini, kata dia, berkaitan dengan model bisnis media umumnya yang bergantung kepada iklan, baik dalam bentuk iklan langsung maupun iklan yang dihasilkan dari mengejar klik.
Dua hal ini, kata dia, akhirnya mempengaruhi bagaimana media memproduksi berita.
“Kalau mencari iklan harus baik-baik dengan yang memberikan iklan. Yang memberi iklan ya pemegang kekuasaan baik dari segi politik maupun finansial. Dan ketika media mencari uang lewat iklan yang hadir dari klik di internet, mereka harus memproduksi berita yang cenderung populer dan jauh dari usaha membahas hal berat-berat seperti pengabaian hak warga, kerusakan lingkungan,” katanya.
Devina mengatakan, media “cuma mau melihat yang indah-indahnya saja” karena “itu yang menghasilkan klik dan keuntungan.”
Ia menjelaskan, Project Multatuli sejak awal menyadari bahwa kalau mau konsisten “melayani yang dipinggirkan, mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan, kami harus mengubah sistem bisnis kami.”
“Kami tidak boleh cari uang dengan cara-cara yang biasa,” katanya.
Karena itu, menurut Devina, model bisnis yang dirancang Project Multatuli adalah dengan mendapat uang dari pembaca dalam program membership di mana pembaca memberi iuran setiap bulan.
Ia mengatakan, mereka juga bekerja sama dengan berbagai organisasi, umumnya lembaga masyarakat sipil yang memiliki perhatian dalam isu-isu yang menjadi fokus mereka.
“Kami produksi berita, mereka mendanai,” katanya.
Sementara itu, Rosis menjelaskan bahwa sejak berdiri pada 2014, Floresa berikhtiar menjadi media yang fokus mengawal proses-proses pembangunan di NTT dan Flores khususnya.
Ia mengatakan, Floresa memang tumbuh dan berkembang di tengah dinamika Flores dalam konteks Indonesia pasca-desentralisasi dan sistem pembangunan baru yang menyasar wilayah Indonesia bagian timur.
Sejak awal tahun 2000, kata dia, berbagai wilayah di Flores menjadi sasaran eksploitasi tambang; pada 2017, pemerintah juga menetapkan Flores sebagai Pulau Geothermal dan Flores juga ditetapkan sebagai episentrum baru industri pariwisata nasional dengan penetapan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.
Kendati membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi, kata dia, intensifikasi pembangunan pada sektor-sektor itu membawa serta sejumlah soal serius, seperti pencaplokan sumber daya alam, penyangkalan hak masyarakat adat, penggusuran warga dari kampung halaman mereka, pengrusakan hutan dan laut, serta alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan bisnis pariwisata dan pertambangan.
“Berhadapan dengan masalah-masalah ini, kami melihat bahwa tidak banyak yang memilih berdiri bersama mereka yang menjadi korban atau mau menentang proses-proses yang memicu berbagai masalah serius itu,” katanya.
“Di sisi lain, infrastruktur masyarakat sipil seperti perguruan tinggi, media massa, dan infrastruktur kebudayaan masih sangat terbatas,” tambah Rosis.
Soal berikut, kata dia, adalah perihal media massa lokal. “Sementara pada tahun-tahun awal Floresa berdiri, masalah yang kami temukan adalah umumnya media berpusat di Kupang, saat ini kendati banyak media baru yang bermunculan, masalahnya adalah masih terbatasnya perhatian pada isu-isu strategis yang berdampak serius pada mereka yang terpinggirkan,” katanya.
Ia juga menyebut lembaga keagaman dominan seperti Gereja Katolik, kendati dalam kasus tertentu seperti pertambangan bersatu dengan gerakan masyarakat sipil dalam mendengarkan teriakan warga untuk keadilan dan ketahanan ekologis, namun dalam kasus-kasus lainnya misalnya industri pariwisata, “Gereja Katolik cenderung bersekongkol dengan kekuatan pemodal dan komprador birokrat.”
Dalam situasi pertarungan kekuasaan yang asimetris semacam ini dan lemahnya masyarakat sipil kata dia, perjuangan masyarakat korban pembangunan dan penyalahgunaan kekuasaan semakin berat.
“Karena itu Floresa memilih hadir untuk menjadi bagian dari gerakan kritis yang mau mengawal sekaligus menjadi penyambung lidah bagi masyarakat yang seringkali diabaikan,” katanya.
Dengan tim dan sumber daya yang terbatas, kata Rosis, Floresa memutuskan untuk hanya berfokus pada isu-isu tertentu. Dua hal yang selalu menjadi pertimbangan; isu itu berdampak luas dan korbannya adalah mereka yang tidak berdaya.
Ia mengatakan, Floresa memegang prinsip demikian karena percaya bahwa mereka yang berkuasa tentu dengan sendirinya memiliki kuasa, entah itu uang ataupun pengaruh, yang akan berpihak pada kepentingan mereka.
“Mereka punya juru bicara, humas, punya sumber daya untuk misalnya membuat siaran pers lalu disebar ke media-media. Karena itulah, kami berdiri bersama mereka yang tidak memiliki kuasa, untuk bergerak bersama mereka, meneruskan suara mereka,” katanya.
Devina dan Rosis senada bahwa tidak mudah untuk terus bertahan di jalur yang telah dipilih.
Project Multatuli, kata Devina, telah beberapa kali diserang secara digital, beberapa narasumber laporan mereka yang mendapat tekanan.
Ia mencontohkan tekanan ketika pada 2021 mereka menulis laporan tentang seorang ibu di Luwu Timur yang mencari keadilan karena tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan suaminya terhadap anaknya tetapi kemudian kasusnya dihentikan oleh polisi.
“Kami membuat hashtag #PercumaLaporPolisi. Saat itu website kami diserang, tidak bisa diakses,” kata Devina.
Sebagaimana terkonfirmasi dari data lembaga advokasi kebebasan pers seperti AJI, kata dia, jurnalis rentan mengalami kekerasan ketika memberitakan isu-isu tertentu, seperti terkait lingkungan, kebebasan masyarakat sipil dan pembangunan yang merugikan masyarakat.
Rosis juga menyatakan Floresa telah beberapa kali menjadi sasaran intimidasi, termasuk setelah merilis laporan bersama Project Multatuli.
“Jurnalis kami pernah diintimidasi oleh intel TNI, dan akun WhatsApp dan Telegram diretas,” katanya.
Ia menyatakan, berbagai tekanan ini membuat Floresa terus berupaya membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memperkuat diri.
Selain dengan media lain di tingkat nasional, kata dia, Floresa juga terus membangun koordinasi dengan Asosiasi Media Siber Indonesia, AJI, LBH Pers dan Dewan Pers.
“Kami juga berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, antara lain dengan lembaga Sunspirit for Justice and Peace dan sejak tahun lalu dengan Yayasan Kurawal,” katanya.
Ia menjelaskan, Floresa tidak punya cita-cita yang muluk-muluk, tetap hanya berusaha hadir menemani mereka yang seringkali diabaikan, rentan dan tidak berdaya “agar suara mereka bisa tersampaikan, bisa terdengar.”
Bergandengan Tangan
Acara ini juga memberi kesempatan kepada warga untuk menyampaikan harapan mereka kepada pers.
Yosep Erwin, warga adat asal Desa Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat yang sedang berjuang melawan proyek geothermal di desanya mengatakan, ia berharap pers tetap memberi perhatian pada perjuangan mereka.
“Tanpa ada keterlibatan media, tanpa ada keterlibatan wartawan, suara penolakan kami pasti tidak didengar oleh dunia ini,” katanya.
Dengan bantuan media, kata dia, “suara penolakan kami bisa disuarakan ke tempat yang lebih luas.”
“Kami melibatkan media dan lembaga advokasi karena pada awal penolakan kami suara kami diabaikan. Kami pernah bersurat ke pemerintah, tetapi diabaikan,” katanya.
Servasius Masyudi Onggal, pemuda asal Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang juga sedang berhadapan dengan proyek geothermal menyatakan bersyukur karena ada banyak “media yang bersedia membantu kami.”
“Walaupun kami berteriak keras dan mayoritas masyarakat Poco Leok menolak keras pembangunan ini, tapi suara kami tidak sampai keluar tanpa bantuan media.
“Kami sangat berterima kasih dengan keterlibatan teman-teman media, juga organisasi masyarakat sipil,” katanya.
Sementara itu, Maria Oktaviani Simonita Budjen dari Yayasan Ani yang fokus dalam pemberdayaan perempuan dan kelompok disabilitas mengatakan, ia berharap ada kolaborasi yang lebih erat dengan pers dalam mengangkat persoalan-persoalan kelompok rentan di Flores.
“Intinya kita kolaborasi. Kita punya masalah yang sama. Kita punya keresahan yang sama. Dan pers yang sudah diberikan kebebasan dalam mendistribusikan informasi,” katanya.
Salah satunya, kata dia, adalah normalisasi lelucon seksis dalam acara itu.
“Kita perlu sama-sama saling menghargai. Ubah mental kita karena dasar dari semua itu dari mental,” katanya.
Markus Makur, jurnalis Kompas.com yang berbasis di Borong, Manggarai Timur sepakat dengan pentingnya kolaborasi.
Ia mengatakan, salah satu yang penting adalah antara jurnalis dan akademisi di kampus-kampus di Flores yang diharapkan lebih peka dengan masalah-masalah sosia.
“Untuk mengadvokasi, wartawan tidak bisa sendiri. Dengan pertemuan ini, kita satukan hati. Begitu banyak persoalan sosial, ketidakadilan sosial dan kebenaran palsu, kita berkolaborasi antara jurnalis dan akademisi,” katanya.
Sementara itu, Jefry Dain berharap acara ini menjadi momen penting untuk saling belajar dan memperkuat jaringan untuk bersikap kritis terhadap pembangunan di Flores.
Ia mengatakan, acara ini sengaja melibatkan peserta dari beragam latar belakang, baik jurnalis, warga adat, aktivis, pelaku wisata, orang muda, mahasiswa, siswa “karena kami yakin bahwa masa depan Flores, juga Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi pembangunan berkeadilan adalah tanggung jawab kita semua.”
Ia juga secara khusus menyinggung soal munculnya pernyataan-pernyatan seksis dari sejumlah pihak saat acara itu.
“Kami amat menyayangkan hal ini. Bagi Floresa ini menjadi catatan penting bahwa dalam gerakan sosial di Flores, isu-isu penghargaan terhadap perempuan ini masih menjadi soal serius, apalagi untuk pemenuhan hak-hak mereka,” katanya.
“Kami menjunjung tinggi inklusi dan sedang membangun diskusi dengan sejumlah elemen untuk bagaimana bergerak bersama memberi perhatian pada isu ini.”