Floresa.co – Sejumlah kain tenun tradisional Manggarai dan beberapa daerah lain di NTT terpajang di dinding ruangan berukuran sekitar enam kali delapan meter.
Di salah satu sisi ruangan itu, dua orang perempuan dewasa terlihat sedang asyik dedang – menenun – menggunakan peralatan tradisional berbahan kayu.
Mereka duduk di antara dua papan kayu dengan dua kaki menjulur ke depan. Tepat di atas kaki mereka, ada jajaran benang-benang berwarna, yang sebagiannya telah dirapatkan membentuk kain dengan beberapa motif.
Di antara jajaran benang tersebut, beberapa potong kayu lempeng berukuran kecil yang berfungsi merapatkan benang diposisikan bersilangan dengan kaki kedua perempuan tersebut.
Sembari mata terfokus pada tenun yang sedang dikerjakan, sesekali tangan mereka menggerak-gerakan sebuah kayu merapikan setiap benang, memastikan agar semuanya terpasang dengan baik.
Ruangan itu terasa tenang. Sekali bunyi pukulan kayu untuk merapatkan benang terdengar bertalu-talu, lalu berhenti saat mereka fokus merapikan benang, memastikan semuanya tertata rapi.
Semuanya tampak dikerjakan dengan cermat, apalagi ketika hendak membuat motif-motif pada kain tenunan itu.
“Ini namanya motif ranggong,” kata Herlina Lenos [38] sembari menunjukan motif berbentuk seperti jaring laba-laba.
Saban hari, bersama rekannya, Karolina Mun [32], yang sama-sama berasal dari Barang, Desa Barang, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, mereka setia mengerjakan lembar demi lembar tenun dengan beragama motif.
Keduanya adalah penenun di Rumah Tenun Baku Peduli yang berada persis di pinggir jalan Trans Flores, di sebelah kanan jalan dari Labuan Bajo menuju Ruteng. Tempat itu berada di dekat daerah persawahan di Watu Langkas, 16 kilometer arah timur dari Labuan Bajo.
Di ruangan lain yang bersebelahan dengan tempat kerja keduanya, tampak pula varian-varian produk lain, seperti kemeja, topi, selendang, gantungan kunci, yang semua menggunakan bahan dasar tenun.
Itu adalah toko yang memang secara khusus memasarkan hasil karya mereka, ditambah dengan dari komunitas penenun lain yang bekerja sama dengan rumah tenun.
Tempat ini, yang menjadi salah satu lokasi pelestarian beragam jenis tenunan dari berbagai wilayah di NTT, juga menjadi salah satu spot wisata budaya yang kerap dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Wisatawan yang ke sini, tidak hanya untuk membeli tenun, tetapi juga menyaksikan secara langsung rangkaian proses mulai dari tahap pewarnaan, hingga pembuatan sebuah tenun.
Sebuah bangunan berbentuk bundar dan beratap ijuk, mirip bangunan rumah adat Manggarai, yang berada di belakang rumah ini, menjadi tempat bagi rumah tenun melakukan proses pewarnaan benang hingga pengeringan sebelum kemudian siap untuk dipakai.
Karena itu, wisatawan, menurut Tomy Jedoko, salah seorang staf rumah tenun, tidak hanya datang untuk membeli tenun, tetapi juga menyaksikan dan mendapat cerita bagaimana proses pembuatan sebuah tenun, narasi budaya, kisah-kisah sejarah dan filosofi tenun dijelaskan secara terperinci kepada wisatawan.
“Kita juga menjual pengalaman melihat langsung proses produksi tenun dari bahan-bahan pewarna alami,” katanya.
Tomy mengatakan, jumlah kunjungan wisata ke tempat itu bervariasi setiap bulan. “Kalau sepi 100-an [wisatawan], kalau ramai bisa sampai 500-an orang sebulan,” ungkapnya.
Wisatawan tersebut, yang sebagian besar adalah pengunjung yang meluangkan waktu sebelum atau sesudah mengunjungi destinasi utama Taman Nasional Komodo, juga bervariasi dari segi asalnya.
“Pada awal sampai pertengahan tahun itu biasanya turis lokal, sedangkan mulai Agustus sampai Oktober kebanyakan mancanegara, karena mereka sedang liburan musim panas,” katanya.
“Kalau dibuat persentase, turis lokal 70 persen, sedangkan mancanegara 30 persen. Lokal itu kebanyakan Jawa, khususnya Jakarta, ada banyak juga dari Batak,” tambahnya.
Berangkat dari Keprihatinan
Elisabeth Hendrika “Ney” Dinan, direktur Sunspirit for Justice and Peace, lembaga yang menaungi rumah tenun mengatakan, tempat itu mulai dirintis pada 2010, berawal dari gerakan baku peduli, sebuah unit program pemberdayaan sosial ekonomi Sunspirit.
Kerja unit ini, jelasnya, lebih ke gerakan pemberdayaan dengan konsep ‘ekonomi baku peduli.’
“Konsep ekonomi baku peduli adalah salah satu transaksi yang semangatnya berakar pada praktik adat hubungan pertukaran yang bukan hanya pertukaran barang, tetapi perbuatan perbuatan baik seperti dodo di Manggarai,” katanya, merujuk pada kebiasaan dan sistem kerja tradisional yang dilakukan secara bergantian dalam semangat gotong-royong.
Saat itu, kata Ney, fokus gerakan ini bukan hanya tenun, tetapi semua hal yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi masyarakat kecil yang tidak diakomodir oleh negara dan di sisi lain mereka tidak punya akses ke pasar.
“Waktu itu, kami jual gula merah, kopi, tenun, produk tradisional lain seperti topi re’a [topi anyaman daun pandan], dan beberapa lainnya,” katanya.
Rumah tenun kemudian resmi dibuka pada 2012. Salah satu alasannya, kata dia, adalah karena melihat fenomena migrasi kelompok perempuan Manggarai ke luar pulau sangat tinggi, yang ia sebut karena tidak tersedianya lapangan kerja bagi mereka.
“Perempuan-perempuan ini berangkat dengan skill yang tidak memadai,” sebutnya.
Ia menjelaskan, Sunspirit melihat bahwa persoalan yang dihadapi perempuan tersebut salah satunya bisa diselesaikan dengan memaksimalkan tenun yang sudah mengakar di masyarakat di tengah perkembangan pariwisata di Labuan Bajo yang sangat masif.
“Salah satu tujuan pariwisata berkelanjutan adalah meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal. Saya pikir tenun masuk ke dalam kategori itu. Tenun, kebudayaan yang dimiliki masyarakat lokal, dan bisa meningkatkan ekonomi,” ujarnya.
Yang dilakukan rumah tenun adalah menciptakan produk tenun dan memberi pengalaman ke turis, menjadikan tenun itu sebagai atraksi wisata.
“Hal baik yang bisa dicontoh dari rumah tenun adalah mendorong peningkatan ekonomi melalui tenun, di sisi lain mendorong upaya pelestarian tenun dengan menghubungkan aktivitas produksi tenun dengan pariwisata,” pungkasnya.
Bernilai Tinggi
Setiap tenunan yang dikerjakan di sini melewati proses yang panjang dan dikerjakan dengan telaten.
Herlina mengatakan, mereka mengerjakan satu kain songke, nama untuk kain adat Manggarai, selama satu hingga dua bulan jika dihitung mulai dari proses pewarnaan benang hingga sebuah kain bisa rampung.
Ia mengatakan, di rumah tenun, prosesnya memang menggunakan benang yang dibeli, sementara untuk pewarnaan menggunakan bahan dan proses alami.
Untuk bahan warna hijau misalnya, kata dia, diambil dari daun indigo yang saat ini sudah dibudidayakan di dekat rumah tenun.
Ia mengatakan mereka juga menggunakan kulit kayu malir atau kayu mahoni untuk mendapat warna merah muda.
Warna-warna alami ini, kata dia, mereka ketahui dari pengalaman yang diwariskan turun-temurun, namun sebagiannya dari hasil eksperimen mereka sendiri.
Ibunya yang adalah seorang penenun, kata dia, misalnya hanya mengenal daun indigo, “sementara bahan-bahan dari kayu mereka belum tahu.”
“Ketika mereka pernah ke sini, ia kelihatan kaget kenapa kami bisa tahu cara menghasilkan warna lain. Mereka bilang di zaman mereka [mama] lebih banyak pakai daun indigo untuk pewarna,” katanya.
Proses pewarnaan benang memakan sekitar waktu satu minggu, di mana bahan pewarna direbus. Setelahnya benang direndam dalam air rebusan. Air yang sama akan digunakan merendam beberapa benang untuk menghasilkan warna berbeda-beda.
Setelah proses pewarnaan itu, kata Herlina, barulah kemudian benang digunakan untuk membuat tenun.
Ia mengatakan, dalam proses pembuatannya motif untuk setiap kain menggunakan motif yang diwariskan turun-temurun, meski dalam prosesnya tetap ada perbedaan-perbedaan, tergantung pada kombinasi benang.
Motif tersebut “berkaitan dengan kehidupan masyarakat Manggarai,” katanya.
Contohnya, kata dia, adalah motif yang disebut libo [mata air] yang juga disebut mata manuk [mata ayam].
Motif itu, kata dia, berhubungan dengan sumber air, yang adalah sumber kehidupan hidup manusia.
Herlina mengatakan, proses pembuatan setiap tenun tidak berdasarkan pada gambar, lalu membuatnya dengan mengacu pada gambar tersebut.
“Prosesnya tidak demikian. Semuanya, termasuk soal motif sudah ada dalam ide, lalu kita buat berdasarkan ide yang ada itu. Tidak butuh gambar,” katanya.
Karena proses yang panjang seperti itu dengan proses pembuatan yang teliti dan mengandalkan kerja intelektual dan imajinasi mereka sebagai penenun, maka setiap tenunan yang mereka hasilkan dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi daripada jenis kain biasanya.
Di rumah tenun, harga satu tenun bervariatif, mulai dari 500 ribu rupiah, satu juta, bahkan ada yang belasan juta, tergantung proses, bahan dan cerita di balik tenun itu.
Pemberdayaan Ekonomi Penenun
Rumah tenun tidak hanya fokus memberdayakan kedua penenun mereka, tetapi juga bekerja bersama komunitas penenun lain.
Sejauh ini, menurut Ney, ada dua kategori. Pertama, komunitas yang langsung bekerja sama dengan rumah tenun, seperti komunitas di Kecamatan Cibal.
Di komunitas itu, jumlah anggota penenun 76 orang, semuanya perempuan. Mereka berada di Kampung Barang, Golo dan Ringkas.
Kedua, kata dia, komunitas lainnya yang bekerja sama sebagai mitra, yaitu komunitas di kabupaten lain di NTT, yaitu di Bajawa, Ende, Sumba, dan Sabu.
Model kerja sama dengan dua kategori komunitas ini, jelasnya, juga berbeda.
Komunitas yang menjalin kerja sama langsung rumah tenun diintervensi mulai dari sebelum produksi, misalnya pengadaan benang, pembuatan pola dan motif tenunan serta desain model kain, sampai pemasaran tenun.
Sedangkan kerja sama dengan komunitas mitra hanya dalam pemasaran tenun, sebab mereka mengalami keterbatasan untuk mengakses pasar di Labuan Bajo. Jadi, tenun yang mereka hasilkan dibantu dijual di rumah tenun.
“Selain itu, kerja sama pemberdayaan dan pertukaran pengetahuan tentang tenun,” tuturnya.
Keuntungan rumah tenun, kata dia, adalah kita punya akses untuk mengunjungi semua wilayah itu dan belajar.
“Itu yang kemudian memperkaya pengetahuan kita tentang pewarna, sehingga bahan pewarna dan praktek pembuatan pewarna di rumah tenun tidak hanya berdasarkan satu referensi dari Manggarai saja, tetapi kita membawa pengetahuan dari sabu dan daerah lainnya,” tambahnya.
Ney mengatakan untuk pemasaran, mereka telah melakukan banyak cara, termasuk mengirim ke luar negeri dan pernah menitip tenunan di toko-toko tertentu di Labuan Bajo.
“Tapi kita putuskan untuk tidak lagi lakukan itu karena dari segi harga sudah keluar dari prinsip kita bahwa antara kita dan penenun transparan menentukan harga,” katanya.
“Kita tidak mengambil untung sendiri. Peran kita bukan sebagai calo. Kita menentukan harga yang adil baik bagi pembeli maupun penenun,” katanya.
Karena itu, kata dia, saat ini penjualan hanya lewat rumah tenun saja.“Kita boleh katakan bisnis yang kita lakukan adalah bisnis sosial, bukan untuk mengambil untung berpuluh kali lipat,” katanya.
Ia mengatakan, selain bekerja sama dengan komunitas penenun, mereka juga bekerja sama dengan pihak lain yang membantu membuat produk turunan, seperti baju, tas ransel dan souvenir kecil dengan berbahan tenun.
Ney mengatakan, sejauh ini mereka tidak melakukan produksi massal dengan mempertimbangkan kondisi pasar yang fluktuatif antara musim ramai dan musim sepi.
“Tamu di musim tertentu sangat banyak dan di musim tertentu sangat sedikit. Itu akan sulit terukur,” katanya.
Ia mengatakan, memang pada 2019 pernah satu kali ada institusi pemerintah yang membeli tenun dalam jumlah yang sangat banyak sehingga satu hari bisa mendapat 80 juta rupiah.
Tapi, jelas Ney, itu adalah kasus khusus.
Ia mengatakan, “kita bukan pemodal besar yang akan memonopoli, yang punya kapasitas yang punya sumber daya keuangan yang sangat besar untuk menguasai pasar.”
“Yang paling penting adalah kerja dalam satu kelompok dan itu berjalan terus-menerus dengan sistem kerja yang stabil dan berkelanjutan,” katanya.
“Jadi bukan berambisi tenun dalam jumlah yang sangat banyak tapi kegiatannya berhenti di satu atau dua tahun,” tambahnya.
Ia mengatakan, rumah tenun bisa bertahan dan tumbuh perlahan “karena dia bukan berbasis proyek.”
“Dan tidak ada karya seni seperti tenun yang bisa dikerjakan dalam jumlah massal. Yang bisa dikerjakan massal hanya kain yang menyerupai tenun dan itu bukan tenun,” katanya.
Generasi Penenun yang Mulai Berkurang
Meskipun bernilai tinggi tantangan terhadap upaya pelestarian tenun juga tidak sedikit, baik soal regenerasi penenun maupun masalah lain terkait dengan cara berpikir masyarakat.
Herlina yang masuk ke rumah tenun sejak 2012 mengatakan, ia mempelajari cara menenun sejak kelas VI SD dari ibunya sendiri.
“Kebetulan mama juga penenun di rumah. Belajarnya dari situ. Kita tiru saja,” katanya.
“Mungkin di zaman kami pendidikan tidak terlalu diperhatikan. Ketika kita tahu tenun, maka setelah tamat SD keluarga bilang tidak perlu sekolah karena sudah tahu tenun,” katanya.
Cerita serupa juga terjadi pada Karolina. “Mama saya tahu tenun, tapi awal mula saya tahu menenun belajar dari tanta. Saya tahu tenun pada umur 15 tahun,” katanya.
“Awalnya mereka beri tahu cara membuat songke. Mereka bilang caranya begini, saya ikuti. Setelah itu tahu tenun,” tambahnya.
Namun, cerita seperti Herlina dan Karolina, di mana mereka mewarisi tradisi ini dari ibu mereka, bukanlah sesuatu yang mudah untuk saat ini.
Herlina dan Karolina misalnya mengakui bahwa di kampung mereka, sudah sedikit yang tahu menenun.
“Hanya tersisa dua anak muda di kampung yang saat ini sudah mahir menenun,” kata Herlina.
Gejala yang sama, kata dia, terjadi juga di wilayah-wilayah lain di Manggarai.
Ney melihat masalah regenerasi tenun itu pada cara berpikir orang Manggarai, yang juga berkaitan dengan konteks sosial saat ini.
Ia mengatakan, untuk konteks sekarang, di mana ada perkembangan positif bahwa anak-anak perempuan bisa mengakses pendidikan sama seperti laki-laki, namun di sisi lain juga orang-orang kita melihat bahwa ketika menjadi penenun atau petani seolah-olah itu menjadi pekerjaan akhir atau pekerjaan yang seharusnya tidak dipilih.
“Orang tua juga misalnya berpesan saat mengirim anaknya sekolah, ‘Emo ami kaut ata kerja wa mai leso, emo ami kat beti leas ali dedang,’” sebuah pesan dengan makna bahwa cukup mereka yang menggeluti pekerjaan sebagai petani dan menenun.
“Itu berarti mereka tidak bangga dengan pekerjaan itu. Dan itu kemudian meracuni pikiran generasi muda sehingga melihat menenun itu bukan sebagai suatu pekerjaan yang kita perlu pilih,” katanya.
Sementara Herlina bertanya-tanya, “mengapa ketika orang masuk sekolah justru tenun ini malah tidak lagi diperhatikan?”
Ney menambahkan, ancaman juga karena mental pemilik budaya itu sendiri.
“Sekarang orang mulai berpikir bahwa menggunakan kain yang dicetak menyerupai tenun dan mengklaimnya sebagai kain etnis atau tenun,” katanya.
“Saya pikir kekeliruan itu sudah pelan-pelan merasuki alam bawah sadar kita,” tambahnya.
Ia mengatakan, “yang perlu kita cemaskan sekarang soal pewarisan pengetahuan dan keterampilan tenun itu sendiri.”
Selain itu, kata dia, ada juga ancaman dari luar ketika penenun semakin sedikit, industri tekstil melihatnya sebagai peluang baru dengan mengambil motif kemudian cetak dan distribusi.
“Yang sangat lucunya adalah distribusi lagi ke daerah yang budaya tenunnya masih kuat seperti di Manggarai dan daerah lain di NTT. Dan tragisnya orang kita membeli itu tanpa merasa bahwa itu bukan kain tenun, [lalu] memakainya,” katanya.
“Secara tidak sadar sebenarnya kita sudah mengamini apa yang dilakukan oleh industri tekstil yang menghancurkan budaya kita dengan sadar,” katanya.
Padahal, kata Ney, “Kain yang menyerupai tenun kita itu tidak bermakna apa-apa.”
“Tenun bagi kita bukan hanya selembar kain. Tetapi ada filosofi yang sangat kuat di dalamnya baik dari desain, warna maupun motif-motifnya. Itu tentu saja tidak dimiliki oleh kain cetak tadi,” katanya.
“Lalu, bagi kita orang Manggarai dan Flores, NTT umumnya, ketika menenun, kita mempercayai bahwa ada kekuatan-kekuatan lain yang ikut masuk, yang menghidupi kain itu. Makanya perlakuan kita untuk kain tradisional itu tidak sembarang seperti kita membeli baju kaos di toko,” tambahnya.
Gerak Bersama Menjaga Tenun
Para pelaku wisata dan wisatawan mengakui peran besar rumah tenun dalam rangka mewariskan kekayaan budaya orang-orang NTT. Konsepnya yang khas membuatnya menjadi salah satu pilihan menarik bagi wisatawan untuk paket perjalanan di dalam kota di Labuan Bajo.
Atraksi dan narasi yang ditawarkan membuatnya juga menjadi pilihan favorit bagi wisatawan untuk mengenal tenun secara lebih mendalam.
Saver Guardi, seorang pemandu wisata yang kerap mengantar tamu ke rumah tenun mengatakan, selain hendak mendukung usaha-usaha dari warga lokal, ia juga didorong oleh kesadaran bahwa, “kita di sini memiliki potensi yang layak untuk diperkenalkan kepada wisatawan.”
“Tenun di rumah tenun bagi saya memiliki nilai yang tinggi yang layak diperkenalkan kepada wisatawan,” katanya.
Ia juga mengatakan, nilai lebih tempat ini adalah tenun diperkenalkan secara utuh, mulai dari proses pewarnaan, proses pengerjaan tenunannya, hasil-hasilnya juga dipajang, dan ada ceritanya.
“Foto-foto yang dipajang juga cukup untuk mengantarkan kita kepada sejarah tenun di Manggarai dan NTT pada umumnya. Itu yang membuatnya berbeda dengan sejumlah outlet tenun di beberapa tempat di Labuan Bajo yang hanya menjual produk tanpa ada narasi dan sebagainya,” katanya.
“Saya sudah berulang kali membawa tamu ke sini. Rumah tenun menjadi salah satu destinasi dalam kota yang wajib kita perkenalkan kepada tamu,” tambahnya.
Palti Laitera, salah satu wisatawan yang pernah berkunjung mengatakan, ia bersyukur karena pernah ke tempat ini, di mana dia “bisa melihat berbagai jenis motif kain tenun dari daerah-daerah di NTT yang disatukan menjadi museum tenun.”
Sementara itu, bagi Ney, selain akan terus mempertahankan rumah tenun ini, tugas bersama yang mesti diemban banyak pihak adalah bagaimana menjaga warisan budaya ini di tengah beragam tantangan yang menyertainya.
Apalagi, kata dia, bagaimanapun tenun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat seperti di NTT, yang sekaligus menjadi bagian dari kebanggaan sebagai anggota komunitas tertentu.
“Indikator orang NTT begitu bangga dengan tenun, kita bisa lihat dalam banyak praktek. Misalnya kain tenun kita diposisikan sebagai alat transaksi penting dalam budaya,” kata Ney.
Dalam praktek semacam itu, kata dia, “kita memaknai tenunan dengan begitu sakral” dan “orang kita masih dengan bangga menggunakan tenun sebagai identitas.”
“Sebagai pemilik budaya, kebanggaan orang NTT terhadap tenun tidak hanya dengan cara mengenakannya, tetapi juga mesti ada pewarisan pengetahuan dan keterampilan tentangnya agar ekspansi kain menyerupai tenun ke wilayah NTT bisa berkurang,” katanya.
Karolina mengatakan, “kalau kita mau belajar, pasti bisa.”
“Di kampung kami, banyak orang yang bisa tenun karena bersedia untuk belajar,” katanya.
Herlina juga selalu berharap bahwa tenun ini mesti terus dilestarikan dan generasi penenun tidak hanya sampai pada generasi mereka.
“Kita mau supaya budaya tenun ini dilestarikan, tapi tergantung orang yang mau belajar,” katanya.
Ia mengatakan, hal yang juga perlu dilakukan dalam upaya melestarikan tenun ini adalah upaya-upaya konkret untuk membuatnya bisa memberdayakan para penenun.
“Yang lebih di rumah tenun ini adalah banyak promosi sehingga banyak orang yang beli. Jadi, kita yang tenun, baik di sini maupun komunitas di kampung, jadi semangat,” katanya.
***