Judul: Pulau Komodo, Tanah, Rakyat, dan Bahasanya,
Penulis: J.A.J. Verheijen,
Jumlah halaman: XXIII + 297 halaman,
Tahun Terbit: 1987,
Penerbit: Balai Pustaka
Floresa.co – Selama puluhan tahun berkarya di wilayah Manggarai, Flores [1935-1993], J.A.J. Verheijen, seorang antropolog sekaligus imam misionaris Katolik dari Serikat Sabda Allah [SVD] telah mewariskan beragam hasil penelitian berharga.
Salah satunya yang amat penting adalah buku Pulau Komodo, Tanah, Rakyat, dan Bahasanya. Buku etnografi dan kajian budaya ini secara khusus mendalami kebudayaan warga yang mendiami Pulau Komodo, sebuah pulau yang berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional [TN] Komodo.
Karya ini berada di antara deretan hasil penelitian Verheijen lainnya yang mencakup beragam ranah kajian, mulai dari etnografi, linguistik, teologi budaya hingga ornitologi. Karya-karya itu telah menghasilkan ratusan tulisan, baik dalam bentuk jurnal, stensilan maupun buku (Widyawati, 2021: 43). Beberapa di antaranya seperti Kamus Manggarai, Vol. 1, Manggarai-Indonesia (1967); Bahasa Rembong–Three volumes (1977); Logat Nama-nama Tumbuhan di Manggarai-Flores (1977); Manggarai dan Wujud Tertinggi (1991); dan Medical Plants in Manggarai (1992).
Kendati kuat dengan aroma kajian budaya, buku ini ditulis di tengah konteks khusus, yakni politik pembangunan. Pada tahun 1978, saat memulai penelitiannya, Verheijen mendengar kabar bahwa pemerintah berencana mengembangkan cagar alam TN Komodo di Pulau Komodo yang akan berdampak pada pembatasan ruang hidup warga setempat.
Bersamaan dengan itu, ia merasa merasa penting untuk melakukan sebuah studi khusus tentang kebudayaan orang Komodo. Studi semacam itu memang belum tersedia kala itu. Studi yang sudah ada hanya sebatas menyinggung orang Komodo dalam hubungan mereka dengan perlindungan Satwa Komodo.
Sebab itu, seperti yang ditulis Verheijen, “patut dikhawatirkan bahwa bahasa serta budaya milik masyarakat yang terdiri atas lima ratusan jiwa ini akan mengalami kerusakan berat akibat pergolakan-pergolakan yang mendadak itu (hlm. XI-XI).”
Eksistensi Ata Modo
Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama (hlm.1-29) berisi deskripsi beberapa unsur penting kebudayaan orang Komodo. Ini mencakup asal-usul, cerita mitologi sejarah, mata pencaharian, sistem pertanian, agama, dan sistem perkawinan.
Menurut Verheijen, penduduk Komodo menyebut diri mereka sebagai Ata Modo (orang Modo); Pulau Komodo dengan Tana Modo, bahasa Komodo dengan Wana Modo. Sebagian dari mereka datang dari berbagai tempat di Manggarai, Flores, seperti Lo’ok, Lenteng, Kenari, Sesok, Tado, Munting, dan Welak. Ada juga yang berasal dari Sumbawa Timur (Bima dan Sape), Sumba, Solor, Bonerate, Ambon, Ende, Bugis, dan Bajau (Bajo).
Ata Modo, demikian temuannya, tidak mewarisi kebudayaan bahari yang kuat layaknya suku-suku Bajo yang mendiami gugusan kepulauan kecil di sekitar perairan Komodo (Pulau Rinca, Pulau Papagarang dan Pulau Messa), kendati mereka mendiami wilayah tepi laut. Menurutnya, mereka bahkan lebih menganggap diri sebagai orang gunung yang hidup dari hasil-hasil alam di darat, seperti memetik asam dan mengolah mbutaq (sagu) dari daun palma gebang.
Pada tahun 1973, misionaris asal Belanda itu hanya menemukan dua nelayan di Pulau Komodo, itupun dari Suku Bajo. Namun, setelah berkunjung lagi pada tahun 1980-an, dia cukup kaget dengan jumlah nelayan yang mengalami peningkatan secara drastis. Ia tidak menyinggung pemicu perubahan itu, yang sebenarnya berkaitan dengan pembentukan TN Komodo. Hal itu berdampak pada pembatasan aktivitas warga untuk bertani, sehingga mereka kemudian melaut.
Ata Modo mengenal sistem kebun komunal yang bernama lingko, sama seperti yang dipraktikkan di wilayah adat Manggarai. Namun, ada beberapa perbedaan, terutama ukuran lingko yang lebih kecil. Beberapa istilah terkait lingko ini sama yang digunakan di Manggarai, seperti lodoq, lance, cicing, rana, lokang, dan geoq. Warga Komodo juga melakukan pesta panen yang disebut kerawi lokang atau kerawi omang rana.
Selain itu, sama seperti di Manggarai, warga di Komodo juga mengenal sistem ladang berpindah-pindah. Setelah lingko digarap selama satu atau dua tahun, kemudian mereka tinggalkan dan membuka lingko baru.
Bagian kedua (hlm. 34-63) mengurai tentang Bahasa Komodo. Sebelum Verheijen melakukan penelitian secara khusus tentang Bahasa Komodo, sejumlah sumber beranggapan bahwa orang Komodo menggunakan Bahasa Bima. Anggapan tersebut, menurut Verheijen, sangat mungkin ada benarnya karena sampai tahun 1930 wilayah Komodo berada di bawah pemerintahan Kesultanan Bima.
Namun, penelitian Verheijen ini membuktikan bahwa Bahasa Komodo merupakan bahasa tersendiri, bukan Bahasa Bima. Verheijen menemukan bahwa di luar orang Komodo, hanya ada sekitar 10 orang yang memahami bahasa tersebut. Verheijen memetakan kekhasan bahasa Komodo ini dalam sejumlah unsur pembentuk bahasa, mulai dari bunyi dan lafal, fonem, kata hingga kalimat.
Selain itu, Verheijen juga menemukan hubungan yang begitu kuat antara bahasa Komodo dengan Bahasa Manggarai, Bahasa Bima, juga sebagian Bahasa Bajo. Keterkaitan dengan Bahasa Manggarai, demikian temuan Verheijen, bisa ditemukan dalam kata-kata terkait pertanian dan hutan, sementara Bahasa Bima dan Bahasa Bajo ditemukan dalam kosa kata yang berhubungan dengan laut.
Bagian ketiga buku ini (hlm. 68-91) berisi sekumpulan Nunduk (cerita rakyat).
Salah satu yang menarik adalah legenda tentang asal usul Kampung Komodo (Ndadi-Ne Killing Modo). Cerita ini menggambarkan hubungan khusus antara Ata Modo dan Satwa Komodo. Dikisahkan bahwa pada awal mula di Pulau Komodo tidak ada orang lain selain warga asli Komodo. Namun, suku asli ini tidak berkembang karena mereka tidak tahu cara melahirkan seorang manusia. Ketika seorang perempuan hendak melahirkan, mereka membelah perutnya. Akibatnya, si perempuan meninggal, hanya anaknya yang tetap hidup.
Hal itu terus terjadi hingga suatu hari seorang perempuan melahirkan anak kembar. Satunya seorang manusia, satu lagi berupa ora, sebutan terhadap binatang Komodo. Anak yang berwujud manusia kemudian dibesarkan oleh ayah dan ibunya, sementara ora pergi ke hutan. Oleh si ibu, ora diberi nama si Sebelah, si kembar.
Masih menurut kisah itu, ketidaktahuan orang Komodo terkait proses kelahiran manusia akhirnya dapat diatasi oleh seorang pendatang yang berasal dari Sumba. Ia mengajari penduduk asli Komodo cara melahirkan manusia, tanpa harus membelah perut si ibu. Sejak saat itu, orang Komodo mengakhiri praktik lama mereka. Atas jasa baik tersebut, orang Sumba itu pun diberi lahan. Ia kemudian menetap di Pulau Komodo, tepatnya di Loh Wau. Selanjutnya, secara berturut-turut datang juga orang dari Manggarai bernama Welak, dari Ambon dan dari Kapu, menempati bagian lain di Pulau Komodo. Demikianlah cikal bakal terbentuknya Kampung Komodo.
Bagian terakhir buku ini berisi tentang daftar kata-kata bahasa Komodo-bahasa Indonesia-bahasa Inggris (hlm. 95-168), daftar kata Indonesia-Komodo (hlm. 169-205) serta daftar kata Inggris-Komodo (hlm. 206-285).
Mengapa Tetap Relevan?
Kendati telah dipublikasi lebih dari tiga dekade yang lalu, namun buku ini justru makin relevan di tengah amburadulnya tata kelola TN Komodo saat ini, yang mengutamakan pariwisata berbasis investasi pada satu sisi dan mengakibatkan peminggiran warga dan perusakan alam pada sisi lain.
Atas nama pariwisata super-premium, pemerintah menjadikan TN Komodo sebagai target investasi yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan. Bersamaan dengan itu ruang penghidupan warga juga terus dipersempit, bahkan pada tahun 2019, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berencana merelokasi warga Komodo, sebab dianggap sebagai penduduk liar yang mengancam konservasi serta menghambat proyek pengembangan wisata eksklusif di pulau itu.
Di tengah konteks politik pembangunan seperti ini, buku ini memiliki dua kontribusi penting berikut.
Pertama, buku ini memberi pesan utama bahwa pembicaraan tentang TN Komodo tidak semata soal konservasi, tetapi juga dimensi lain soal ruang hidup warga sekitar, secara khusus yang ada di dalam kawasan TN Komodo. Kekeliruan paradigma pembangunan selama ini adalah memisahkan konservasi dengan urusan ruang hidup warga setempat, yang kemudian menjadi akar dari model-model penguasaan atas sumber-sumber daya agraria di dalam kawasan TN Komodo. Sebaliknya, intervensi atas TN Komodo sangat perlu memposisikan kebudayaan masyarakat setempat sebagai elemen penting dari arah gerak pembangunan.
Kedua, bagi komunitas Ata Modo, buku ini berkontribusi penting untuk memperkuat agensi mereka dalam melawan model-model pembangunan yang cenderung eksploitatif. Terbukti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, narasi tentang kebudayaan Ata Modo sebagai pewaris tanah dan adat di Pulau Komodo berhasil membatalkan kebijakan kontroversi dari Gubernur NTT untuk memindahkan mereka dari tanah warisan leluhur mereka. Terkini, warga Komodo terus mengkonsolidasi diri, salah satunya dengan terus memperkuat narasi kebudayaan Ata Modo sebagai pewaris tanah dan kebudayaan setempat.
Karena itu, buku ini masih sangat perlu dibaca, khususnya oleh para pengambil kebijakan yang terkait erat dengan TN Komodo, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemprov NTT hingga Pemda Manggarai Barat. Buku ini perlu menjadi salah satu basis data sekaligus panduan analisis untuk menghasilkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, serentak menghargai eksistensi Ata Modo, bukan malah menggusur mereka.