Pelaku Pariwisata Minta Ketegasan Pemerintah Pusat terkait Tarif Masuk ke TN Komodo

Ditulis oleh: Rian Safio

Aksi unjuk rasa warga di Labuan Bajo pada Senin, 18 Juli 2022, menentang kebijakan kenaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo dan monopoli bisnis di kawasan itu. (Foto: Floresa)

Floresa.co – Para pelaku pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat meminta kepastian informasi dari pemerintah pusat terkait tarif masuk ke Taman Nasional [TN] Komodo di tengah ketidakjelasan yang dipicu oleh pernyataan Pemerintah Provinsi NTT baru-baru ini.

Kendati Peraturan Gubernur [Pergub] NTT Nomor 85 tahun 2022 yang antara lain mengatur kenaikan tarif masuk ke TN Komodo menjadi 3,75 juta rupiah sudah dicabut menyusul Surat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK] yang menyatakan isi Pergub itu bertentangan dengan undang-undang, namun Pemprov NTT menyatakan kebijakan mereka tidak serta merta dibatalkan, termasuk soal tarif masuk.

Dalihnya adalah sudah ada Perjanjian Kerja Sama [PKS] dan Nota Kesepahaman [MoU] antara Pemerintah Provinsi NTT dengan KLHK dan Balai Taman Nasional Komodo dalam hal penguatan fungsi TN Komodo.

Hal ini memicu terjadinya kebingungan di kalangan pelaku pariwisata dan calon wisatawan, terutama terkait kenaikan tarif masuk yang disebut akan berlaku mulai awal tahun depan.

Leo Embo, seorang pelaku pariwisata, mengatakan ketidakjelasan informasi dari pemerintah mempengaruhi keputusan para calon wisatawan, baik mancanegara maupun domestik untuk berkunjung ke Flores.

Ia pun meminta pemerintah, terutama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, segera membuat pengumuman resmi dan melakukan sosialisasi yang luas.

“Semestinya pemerintah sekarang ini dalam waktu satu bulan ini segera buatkan publikasi,” kata Leo saat berbicara dalam diskusi publik “Mencermati Perbedaan Pendapat KLHK dan Pemprov NTT terkait Pengelolaan TN Komodo” pada Jumat, 9 Desember 2022.

“Kalau dulu [saat] rencana kenaikan tiket ini dipublikasikan, [ada] konferensi pers, tetapi sekarang pemerintah kok diam. Apakah ini dibiarkan begini saja?” tambah Leo dalam diskusi via Zoom yang digelar oleh Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo itu.

Ia menegaskan, “pariwisata itu butuh kepastian.”

“Sampai sekarang para calon wisatawan masih bertanya-tanya, apakah mulai 1 Januari 2023 tarif naik atau tidak,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Melkiades, pelaku pariwisata lainnya yang melihat wacana kenaikan tarif menjadi 3,75 juta dalam kebijakan yang dikendalikan oleh PT Flobamor, perusahan milik provinsi, telah menciptakan kekisruhan bagi dunia pariwisata di Flores.

“Kami butuh kepastian. Kami belum berani menjawab [pertanyaan] tamu karena kami belum dapat jawaban yang valid soal kenaikan tarif,” kata Melki.

Ia mewanti-wanti jika pemerintah tidak segera memberikan kepastian yang berujung pada penurunan jumlah wisatawan, maka pada tahun 2023 mereka akan melakukan aksi yang lebih besar dari yang mereka lakukan pada Agustus lalu.

Aksi pada Agustus yang disebut Melki adalah terkait mogok massal para pelaku wisata ketika tarif 3,75 juta itu hendak diterapkan.

Baik Leo maupun Melki berharap pemerintah, juga DPR RI segera mengambil sikap, terutama dengan memanggil Menparekraf Sandiaga Salahudin Uno agar segera menyampaikan pengumuman resmi.

“Siapa yang bertanggung jawab kalau tahun 2023 wisatawan itu berkurang?  Kami mau Menteri [Sandiaga] omong soal ini,” kata Leo.

Gubernur NTT Tidak Patuh

Arman Suparman, Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah [KPPOD] menilai sikap Pemprov NTT yang masih ngotot memberlakukan kebijakan dalam Pergub 85 dengan berlandaskan MoU dan PKS adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap regulasi.

Secara hierarki regulasi, kata dia, peraturan pemerintah provinsi tidak boleh mengangkangi peraturan dari institusi yang lebih tinggi, seperti peraturan atau surat dari kementerian atau presiden dan atau undang-undang.

“Aneh kalau sikap Pemprov itu dilandaskan pada MoU dan PKS,” kata Arman yang juga hadir sebagai narasumber diskusi itu.

Karena itu, ia melanjutkan, semua pihak perlu meninjau kembali MoU dan PKS itu, karena bertentangan dengan surat dari Menteri LHK.

Sebelumnya KPPOD telah membuat kajian terhadap isi Pergub 85 dan menyebutnya cacat, baik dari segi legal-yuridis, substansi, maupun prinsip.

Selain karena tidak sesuai dengan sejumlah peraturan perundang-undangan terbaru seperti UU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, juga melanggar aturan dalam hal kewenangan pusat dan daerah, penyelenggaraan konservasi, pungutan biaya kontribusi, dan fungsi pengawasan PT Flobamor.

Hal lain yang disoroti adalah pelanggaran asas persaingan bebas pelaku usaha, pemberian wewenang kepada badan usaha milik daerah yang tidak berkompeten, tidak inklusif pada kepentingan publik, serta melanggar tata cara penyusunan dan penetapan peraturan kepala daerah.

Persoalan Tata Kelola

Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti pada Center for Southeast Studies di Universitas Kyoto, Jepang melihat perbedaan pendapat atau ketidakpatuhan Pemprov NTT dengan pemerintah pusat hanyalah riak permukaan dari persoalan yang lebih mendasar, yakni kesimpangsiuran tata kelola TN Komodo di antara berbagai komponen pemerintahan yang terkait.

Cypri yang selama ini melakukan kajian terkait tata kelola pariwisata di Flores mengatakan, ia tidak melihat adanya kesatuan visi dan gerak berbagai elemen pemerintahan.

“Pemerintah provinsi dan kabupaten jalan sendiri, kementerian-kementerian jalan sendiri, presiden jalan sendiri,” kata Cypri dalam diskusi itu.

Ia mengkritik Presiden Joko Widodo yang kendati cukup sering berkunjung ke Labuan Bajo, namun tidak mampu mengurus persoalan-persoalan yang lebih mendasar terkait dengan tata kelola konservasi dan pariwisata.

“Presiden ke Labuan Bajo hanya cek trotoar, meresmikan bangunan-bangunan, melakukan berbagai seremoni, tetapi tidak menata koordinasi antara berbagai lembaga,” katanya.

“Badan Otorita [BPO-LBF] yang seharusnya melakukan koordinasi, malah menjadi badan layanan umum yang kemudian menjadi satu kompetitor dari lembaga-lembaga pemerintahan yang sudah ada,” tandas Cypri.

Ke depan, lanjutnya, koalisi masyarakat sipil perlu mengembangkan dan mengusulkan tata kelola pariwisata alternatif sebagai tandingan atas tata kelola yang amburadul saat ini.

Arman mendukung ide tersebut yang perlu segera dirumuskan dan disampaikan kepada pemerintah.

“Perumusan tata kelola itu perlu melibatkan bukan saja lembaga-lembaga pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil dan pelaku pariwisata,” tegasnya.

Protes Publik

Kebijakan Pemprov NTT di TN Komodo, yang antara lain terkait peningkatan tarif masuk, memicu perlawanan dari kelompok sipil selama tahun ini.

Dalam kebijakan ini, PT Flobamor menetapkan tarif khusus untuk wilayah seluas 712,12 hektar yang dikuasainya di Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya.

Kelompok sipil menentang kebijakan itu yang hendak diterapkan pada 1 Agustus 2022. Mereka melakukan mogok massal, setelah sebelumnya melakukan berbagai aksi unjuk rasa.

Di tengah tekanan publik, Menteri LHK, Siti Nurbaya menyurati Gubernur NTT pada 28 Oktober  2022, meminta merevisi isi Pergub yang melegitimasi kenaikan tarif itu.

Pergub itu kemudian dicabut pada 26 November.  Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Zeth Sony Libing keputusan tersebut merespon surat Menteri LHK dan setelah mendengar “berbagai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat, baik dari tokoh agama, tokoh masyarakat maupun pelaku pariwisata.”

Namun, Zeth mengatakan, pencabutan Pergub itu tidak mempengaruhi komitmen Pemprov NTT dan Pemerintah Pusat dalam hal penguatan fungsi TN Komodo, yang sudah diikat dalam tiga dokumen yang telah ditandatangani. Tiga dokumen itu adalah MoU antara Direktorat Jenderal KSDAE dan Pemprov NTT; Perjanjian Kerja Sama (PKS) BTNK dengan PT Flobamor; dan izin usaha pengelolaan jasa wisata alam (IUPJWA) untuk PT Flobamor di lahan 712,12 hektar.

Zeth menyebut selama MoU, PKS dan IUPJSWA masih berlaku, maka PT Flobamor tetap menjalankan usaha di TN Komodo, termasuk menetapkan tarif masuk berdasarkan perhitungan bisnisnya.

Publikasi Lainnya