Tadeus Sukardi, 45, menjawab dengan lugas bahwa “geothermal itu anugerah” untuk pertanyaannya sendiri; apakah itu anugerah atau kutukan?
Namun, ia segera melanjutkan, bahwa itu bukan anugerah bagi masyarakat adat seperti dirinya.
“Itu anugerah [bagi] orang yang elite,” kata ayah tiga anak ini.
Tadeus, yang berasal dari Kampung Lungar, Desa Lungar mengatakan hal itu dalam sebuah diskusi di Ruteng, Kabupaten Manggarai sepekan lalu, membahas rencana perluasan proyek PLTP Ulumbu di Kecamatan Satar Mese ke wilayah-wilayah di sekitarnya di Poco Leok, yang mencakup desanya.
Ia adalah bagian dari kelompok warga yang menolak rencana yang kini sedang didorong terus oleh perusahaan listrik negara, PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai itu.
Di tengah derasnya penolakan warga, pemerintah terus berupaya menggolkan proyek itu, dengan hanya mendekati kelompok warga yang mendukungnya.
Karena sikap yang terus menolak, warga adat seperti Tadeus kemudian tidak dilibatkan dalam beberapa acara, bagian dari proses pengambilan keputusan penting terkait proyek ini.
Tadeus menyinggung secara khusus acara workshop bersama Pemerintah Kabupaten Manggarai di Ruteng pada 22 Agustus 2022, di mana yang diundang malah orang-orang yang disebutnya “memiliki jabatan dan tidak tinggal di Poco Leok.”
“Masa yang diundang itu elite, masyarakat yang terdampak langsung tidak diundang. Ini aneh, skenario busuk”, ungkapnya.
Perluas PLTP dan Respon Warga
PLTP Ulumbu yang berada di Desa Wewo diresmikan pada 11 November 2011 dan mulai beroperasi pada Januari 2012. Energi listrik dari PLTP ini disebut-sebut sudah mengalir ke sistem Ruteng, yang melayani Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
PLTP Ulumbu berada langsung di bawah PT PLN, serta memiliki dua anak perusahaan yakni, PT. Indonesia Power dan PT Cogindo Daya Bersama [Cogindo].
Dalam beberapa tahun terakhir, PLTP Ulumbu tengah berencana mengembangkan proyek ke wilayah Poco Leok, daerah pegunungan yang berjarak 3 kilometer ke arah timur. Wilayah itu mencakup 13 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Lokasi pengeboran yang ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung itu.
Peta lokasi PLTP Ulumbu dan wilayah yang akan menjadi bagian dari rencana perluasan proyek. (Grafis: Laporan JATAM dan JPIC-OFM)
Perluasan proyek PLTP Ulumbu ini juga terjadi menyusul penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017, yang mendorong eksploitasi di beberapa tempat, termasuk di Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dan Mataloko di Kabupaten Ngada, yang juga mendapat resistensi warga.
PT PLN terus gencar melakukan pendekatan kepada warga di Poco Leok dan beberapa kali mendatangkan akademisi dari beberapa universitas, seperti Universitas Hasanudin Makasar, Institut Teknologi Bandung, Universitas Pertamina, dan Universitas Trisakti Jakarta.
Ernest Teredi, seorang peneliti yang baru saja mempublikasi hasil kajian tentang PLTP Ulumbu mengatakan, upaya PT PLN ini terus mendapat resistensi warga.
Dalam beberapa kesempatan sosialisasi, kata dia, tim dari PLN datang diam-diam dengan hanya melibatkan kelompok warga yang pro, yang menyebabkan keributan dan berujung penyitaan alat survei serta pengusiran dari lahan warga.
Ia menjelaskan, di Kampung Mocok warga pernah menyita alat survei lantaran tim PLN masuk ke wilayah lingko [kebun] warga tanpa sepengetahuan mereka.
“Waktu itu, tua-tua adat Mocok mengatakan kepada pihak yang melakukan survei untuk tidak boleh mengulangi lagi aksi mereka,” katanya.
Perlengkapan yang dipakai PT PLN untuk survei perluasan proyek PLTP Ulumbu disita oleh warga di Kampung Mocok dan dibawa ke rumah adat mereka. (Foto: dok. Ernest Teredi)
Mengapa Menolak?
Ernest menjelaskan, penolakan warga sekitar itu muncul setelah melihat berbagai kerusakan yang terjadi di wilayah lingkar PLTP Ulumbu saat ini.
Di balik narasi tentang kesuksesan PLTP itu mengalirkan listrik ke berbagai wilayah, kata dia, warga di lingkar PLTP mengalami sejumlah persoalan serius.
Sebagaimana dipaparkan dalam laporannya yang berjudul Derita Rakyat dan Lingkungan di Balik PLTP Ulumbu yang ditulis bersama Agustinus Sukarno dan Marselinus Joni Jaya dan diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang [JATAM] dan lembaga Gereja Katolik, Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC] Fransiskan, mereka menemukan bahwa sejak awal PT PLN sudah menebarkan beberapa janji kepada warga Desa Wewo dan sekitarnya.
Ia mengatakan, janji-janji yang ditawarkan secara lisan itu secara umum berhubungan dengan kemajuan berkat pembangunan energi geothermal.
Menurut keterangan Tua Gendang Wewo, sebagaimana dicatat Ernest, Bupati Manggarai saat itu, Anton Bagul Dagur, menyatakan, PLTP Ulumbu adalah aset yang akan memajukan masyarakat di dekat Ulumbu dan Manggarai secara keseluruhan.
Mendengar janji-janji tersebut, jelas dia, warga serempak melepaskan lahan mereka karena meyakini bahwa hal itu akan membawa perubahan dan kemajuan bagi banyak orang.
Salah satu janji yang paling diingat warga adalah Ba Gerak [Bawa Terang], yaitu komitmen PLN menyediakan listrik gratis kepada seluruh masyarakat di wilayah itu.
Padahal, kenyataannya kemudian, menurut warga adat Mocok, Lungar, dan Tere, janji itu tidak pernah dipenuhi.
Pengakuan Ernest diamini oleh Daniel Adur, tua adat Mocok.
“Bahkan sampai hari ini, masih ada kampung yang belum mendapat akses jaringan listrik,” katanya.
Daniel Adur (sedang berbicara) saat mengikuti diskusi tentang perluasan wilayah PLTP Ulumbu di Ruteng pada 14 September 2022. (Foto: Anno Susabun)
Dampak Bagi Lingkungan dan Kerusakan
Penelitian Ernest yang dimulai sejak Agustus 2021 di Kampung Wewo, Damu, dan Tantong juga menemukan masalah lain terkait kerusakan lingkungan, baik air, lahan sawah, hasil pertanian, juga dampak kesehatan dan sosial budaya pasca kehadiran PLTP Ulumbu.
“Di Kampung Damu yang berjarak 400 meter dari Ulumbu, atap sing rumah warga yang sebelumnya bertahan belasan tahun kini hanya sampai 5 tahun,” katanya.
“Hal yang sama juga terjadi di SDN Damu yang berjarak 600 meter dari Ulumbu, atap sing sekolah rusak parah sebelum 10 tahun,” tambahnya.
Ia mengatakan, pihak PLN memang kerap menyebut gas Hidrogen Sulfida [H2S] dari kawah panas bumi yang menyebabkan sing hancur dan bukan H2S dari cerobong PLTP. Namun, jelasnya, hal itu berbeda dengan pengakuan warga yang berdasarkan pengalaman riil mereka.
Ia menyebut dampak lain seperti tanaman cengkeh milik warga Desa Wewo yang sebelumnya menghasilkan 150 kg per tahun per keluarga, kini menurun hanya 50 kg per tahun.
“Begitu juga dengan [produktivitas] kopi dan kakao [yang juga menurun]”, ungkap Ernest.
Temuan lain adalah di bidang kesehatan, di mana PLTP menyebabkan pencemaran air yang mengakibatkan warga terserang penyakit diare.
Gas beracun dari cerobong PLTP itu juga menyebabkan penyakit saluran pernapasan, kata Ernest.
Merujuk pada data BPS Kabupaten Manggarai, ia menyatakan bahwa Desa Wewo adalah penyumbang terbesar korban penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA] dari tahun 2017 sampai 2019.
Temuan lain yang juga terungkap adalah bencana alam, yaitu penurunan tanah tiga meter di Nekek, lokasi yang berjarak 200 meter dari PLTP Ulumbu.
Sementara secara sosial budaya, kata dia, kehadiran dan aktivitas PLTP Ulumbu berpotensi akan memicu konflik sosial di kemudian hari.
Potensi konflik itu, terutama terkait isu pembebasan lahan antara pihak PLTP dan pemilik ulayat tertentu yang berlangsung secara tertutup, tidak melibatkan seluruh pemegang ulayat.
“Selain itu, janji perusahaan kepada warga untuk mempekerjakan warga lokal, juga telah menimbulkan konflik sosial. Ada kecemburuan antar warga di masing-masing kampung, apalagi saat ini, hanya ada 7 orang dari warga di Desa Wewo yang bekerja di PLTP Ulumbu,” katanya.
Ernest menyimpulkan dari penelitiannya bahwa warga Poco Leok rata-rata menolak karena realitas selama beroperasinya PLTP Ulumbu tidak memberi dampak yang baik, seperti yang mereka kisahkan.
“Di sisi lain, Poco Leok adalah daerah yang sangat rentan. Longsor setiap tahun jika intensintas hujan tinggi,” katanya.
Ia menambahkan, bahkan pernah terjadi keretakan selebar 6-10 cm dan Panjang 300 meter di kampung adat Mesir, sekitar tiga kilometer dari lokasi PLTP.
“Akibat kejadian itu, beberapa warga akhirnya direlokasi di Golo Rua, kampung baru untuk warga adat Mesir,” katanya.
Ambisi Energi Terbarukan
Melky Nahar, Koordinator JATAM menjelaskan, program perluasan geothermal PLTP Ulumbu ke Poco Leok adalah bagian dari ambisi pemerintah untuk beralih dari energi fosil ke energi bersih atau Energi Baru dan Energi Terbarukan [EBET].
“Pemerintah Indonesia mengkategorisasikan energi apa saja yang disebut baru dan terbarukan? Ada PLTP, PLTA, tenaga surya, angin, dan dua jenis yang baru yaitu nuklir dan batu bara yang dicairkan dan digaskan”, ungkap Melky.
Salah satu isu penting dalam ambisi energi bersih ini, demikian Melky, adalah upaya politik pemerintah dan DPR RI yang pada 2013 mengeluarkan panas bumi dari kategori tambang.
“Motifnya politis, karena sebagian besar potensi panas bumi kita masuk di kawasan hutan, termasuk hutan konservasi yang mestinya haram untuk diganggu”, ungkapnya.
Ia juga menuding bahwa target produksi dan konsumsi energi listrik Indonesia hanya merujuk pada satu hal, yaitu pertumbuhan ekonomi.
“Jadi ketika pertumbuhan ekonomi sekian, maka suplai energi listriknya harus sekian,” ungkapnya.
Dengan demikian, menurut dia, meski mengalami surplus energi listrik nasional, pembangunan geothermal di banyak tempat tetap digalakkkan demi menunjang pertumbuhan ekonomi, terutama dalam hal investasi dan industri.
Ia pun menganggap bahwa pengembangan proyek geothermal PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok menjadi salah satu target dalam rangka menopang paket-paket kebijakan ekonomi rezim Presiden Joko Widodo yang sudah tertuang dalam dokumen Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia [MP3EI] 2011-2025.
Padahal, kata dia, bagaimanapun dampak pembangunan geothermal memicu sejumlah soal.
Selain seperti yang dituturkan warga dan disampaikan dalam laporan Ernest, Melky menambahkan dampak lain seperti keretakan pada lapisan tanah yang akan diekstraksi, gempa-gempa minor dan mayor seperti yang sudah terjadi di wilayah proyek geothermal lain, selain pencemaran air hingga penyakit saluran pernapasan pada manusia.
Atap sing di SDN Damu yang berjarak 600 meter dari PLTP Ulumbu rusak parah sebelum 10 tahun. (Foto: dok. JPIC-OFM)
Butuh Audit untuk PLTP Ulumbu
Melky menyatakan, di tengah upaya paksa pemerintah memperluas PLTP Ulumbu, perlu ada audit secara menyeluruh dan independen terlebih dahulu selama satu dekade beroperasinya.
Proses audit ini, kata dia, harus diupayakan oleh pemerintah daerah Manggarai, supaya masyarakat memiliki pemahaman yang memadai tentang dampak buruk pembangunan energi geothermal.
“Pemerintah daerah Manggarai harus merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan lingkungan dan masyarakat dalam wilayahnya,” katanya.
“Proses audit bukan hanya administratif, tetapi juga operasional, supaya tahu siapa konsumen terbesar PLTP Ulumbu dan sejauh mana proyek itu merusak lingkungan kita selama ini”, tambah Melky.
Sementara pihak PT PLN terus bersikeras dan melakukan sosialisasi diam-diam, warga Poco Leok yang menentang proyek ini mengatakan, mereka tidak ingin mempertaruhkan masa depan.
“Proyek itu kan bisnis. Kalau memang merusak masyarakat adat dan lingkungan hidup, untuk apa [kami menerimanya]?” kata Ponsianus Nogol, 40, tokoh adat dari Kampung Tere, Desa Mocok.
Apalagi, kata dia, upaya PT PLN selama ini telah menyebabkan konflik sosial antara kelompok yang pro dan kontra di tengah masyarakat.
“Kami tolak geothermal ini [jika] menghancurkan kami,” katanya.