REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi IV DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah akademisi, aktivis, dan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores, membahas pembangunan sarana dan prasarana wisata alam Loh Buaya di Pulau Rinca, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peneliti Sun Spirit for Justice & Peace Labuan Bajo, Venansius Haryanto meminta agar pemerintah mengkaji kembali terkait rencana pembangunan kawasan wisata super premium Komodo atau yang juga dikenal dengan ‘Jurasic Park’ di Pulau Rinca.
“Kami meminta bahwa dikaji ulang dulu dengan melibatkan ahli, lalu organisasi-organisasi lingkungan, lalu para pelaku wisata juga dan masyarakat setempat agar kemudian kita bisa memutuskan yang mana yang bisa dilanjutkan, dan mana yang bisa dihentikan,” kata Venansius
Venansius juga menyoroti soal investasi swasta dan BUMN untuk bisnis resort, kuliner, dan jasa wisata di sejumlah lokasi strategis seperti Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Komodo, dan Pualu Tatawa. Ia meminta DPR agar mendesak pemerintah untuk mencabut izin yang sudah dikeluarkan dan menghentikan proses pemberian izin baru.
Ia mengatakan sejauh ini sudah ada sejumlah perusahaan swasta yang sudah mengantongi izin investasi pembangunan bisnis resort, kuliner dan jasa wisata. Antara lain PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca (22,1 Hektar), dan PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Pulau Komodo (423 Hektar).
Selain itu ia juga mengkritik terkait desain wisata ekslusif premium berbayar 1.000 dollar untuk Pulau Komodo, dan wisata massal untuk Pulau Rinca. Imbasnya pada 2019 lalu pemerintah hendak merelokasi warga Komodo ke pulau lain. Tahun 2020 pemerintah setempat mengumumkan
akan memindahkan UMKM di Long Liah Pulau Komodo ke Loh Buaya Pulau Rinca. “Kami meminta DPR untuk mendesak pemerintah menghentikan rencana yang merugikan masyarakat Komodo ini,” tuturnya.
Sementara itu warga asli Komodo yang juga hadir dalam RDPU dengan Komisi IV Akbar Al Ayub meminta agar DPR mendesak pemerintah memberikan pengakuan kebudayaan dan hak agraria sebagai Suku Modo. Dirinya juga meminta agar pemerintah mendirikan community kebudayaan Suku Modo di Pulau Komodo yang dipadukan dengan wisata alam sebagai identitas Suku Modo di Pulau Komodo. Selain itu dia juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memperkuat konservasi dan pariwisata berbasi alam dan komuitas.
“Secara konkret kami meminta DPR untuk mendesak KLHK menaikan anggaran Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) yang saat ini hanya Rp 20 miliar per tahun, lebih kecil dari pembangunan APBN untuk pembangunan trotoar di labuan Bajo menjadi lima kali lipat yakni Rp 100 miliar,” ungkapnya.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina merespons adanya kekhawatiran relokasi warga asli Komodo ke daerah lain. Ia mengatakan tidak ada lagi rencana untuk pemindahan desa di Komodo. “Bahkan yang didesain ke depan adalah bagaimana wisata desa yang dikelola masyarakat desa yang jadi keunggulan berwisata ke Taman Nasional Komodo, tidak hanya melihat Komodo tapi juga berinteraksi dengan masyarakat di dalam desa kawasan,” jelasnya.