Organisasi lingkungan mendesak pemerintah agar mengkaji ulang pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional di Pulau Komodo, dengan melibatkan pakar, organisasi lingkungan, pelaku wisata dan masyarakat. Mereka mengingatkan Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi, bukan ruang investasi.
Dalam rapat dengar pendapat dengan komisi IV DPR RI, Senin (23/11), warga Pulau Komodo dan Sunspirit for Justice and Peace, salah satu anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan sejumlah tuntutan terkait pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional Pulau Komodo. Lima poin tuntutan itu antara lain melakukan revisi pembangunan infrastruktur di habitat komodo, mencabut izin semua perusahaan di dalam habitat komodo, semua hotel dan resor cukup di luar kawasan.
Rencana pembangunan kawasan ini telah melahirkan gelombang protes yang terus meluas, utamanya dari warga Pulau Komodo. Pasalnya pembangunan kawasan ditengarai akan menggusur warga lokal dan habitat Komodo.
Dewi Kartika Sekretaris Jenderal KPA, dalam konferensi pers hari Rabu (25/11), mengatakan para pakar komodo menunjukkan bahwa Pulau Rinca dan Komodo di Nusa Tenggara Timur adalah perlindungan aman bagi komodo dari ancaman kepunahan akibat pemanasan global. Namun, kini pemerintah Indonesia justru merombaknya dengan pembangunan yang menimbulkan polusi.
Ditambahkannya, demi mengembangkan industri pariwisata di kawasan itu, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pembangunan yang mengancam keutuhan ekosistem Taman Nasional Komodo (TNK).
“Pulau Komodo ini menjadi salah satu rencana dari pembangunan 10 Bali baru kemudian berubah lagi menjadi wisata premium sekarang menjadi lagi berubah konsepnya adalah destinasi super premium sayangnya yang kita sayang kan adalah semua terminologi pembangunan itu tidak ada masyarakat yang diajak untuk berembuk apalagi untuk bersepakat,” ujar Dewi.
Menurut KPA, pengembangan wilayah pariwisata dan akses-akses infrastruktur itu hanya menguntungkan kelompok bisnis dan pengusaha pariwisata. Sejak awal penetapan wilayah konservasi dan pembangunan, masyarakat lokal tidak dilibatkan, tambahnya.
Berdasarkan data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah disusun KPA, di atas tanah seluas 200 hektar itu setidaknya terdapat 500 kepala keluarga yang kehidupannya terancam.
Dampak Ekologi dan Ekonomi dari Dua Model Pengelolaan Wisata
Venan Hariyanto, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo mengatakan selain menolak pembangunan infrastruktur di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, pihaknya juga mengkritisi penataan non-spasial. Penataan tersebut akan memiliki dua model pengelolaan destinasi wisata, yaitu Pulau Komodo akan menjadi destinasi wisata ekslusif dan Pulau Rinca sebagai mass-tourism atau wisata massal. Kedua model itu, menurutnya, akan menimbulkan dampak ekologi dan ekonomi masyarakat setempat.
“Ada pelaku wisata di dalamnya, ada masyarakat di dalam kawasan, ada nelayan,” jelas Venan.
Venan menambahkan dalam rapat dengar pendapat di DPR RI pada 23 November telah disampaikan desakan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata super premium untuk dihentikan dulu karena telah menimbulkan dampak penolakan yang luas oleh masyarakat.
“Efek masyarakat melawan karena kita melihat ini akan sangat berdampak buruk untuk konservasi, juga ruang penghidupan di dalam masyarakat dan juga para pelaku wisata yang berada di Labuan Bajo,” kata Venan.
Menurutnya revisi dan pengkajian ulang pembangunan itu harus melibatkan para pakar, organisasi lingkungan, para pelaku wisata dan masyarakat setempat; agar kemudian dapat diputuskan mana yang bisa dilanjutkan dan mana yang harus dihentikan.
Warga Pulau Komodo Gelisah
Akbar, seorang warga Pulau Komodo, mengungkapkan kegelisahannya akan nasib mereka yang selama ini bergantung dari kegiatan pariwisata apabila pada akhirnya Pulau Komodo akan menjadi destinasi wisata ekslusif.
“Pembangunan Geopark yang tidak melalui sosialisasi dengan masyarakat yang ada di dalam kawasan itu membuat kami semua kaget, agenda apa lagi ini? Dan konsep yang tidak transparan ini membuat kami juga kebingungan dimana posisi masyarakat di dalam pembangunan ini,” ujarnya.
Menurutnya ketika Pulau Komodo dijadikan wisata ekslusif dengan membership seribu dollar, maka akan menekan jumlah kunjungan wisatawan yang akan berpengaruh pada keberadaan kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang rencananya akan dipindahkan ke Pulau Rinca sejauh delapan jam perjalanan laut.
“Nah kami mendengar beberapa pernyataan pejabat publik yang hendak merelokasi atau memindahkan UMK ini. Sehingga dipaksakan warga Pulau Komodo harus berjualan di seberang pulau yang jauh dari pemukimannya,” ungkapnya.
Akbar berharap Taman Nasional Komodo dapat tetap mempertahankan keasriannya sebagai branding pariwisata yang berbasis konservasi dan landscape alam yang alami.
“Kalau misalnya kebijakan ini tidak diteliti dengan kehati-hatian maka kekhawatiran kami adalah kehancuran pariwisata secara keseluruhan yang ada di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo yang ada di dalamnya,” kata Akbar.
Labuan Bajo Masuk Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas
Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur merupakan satu dari lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang akan mulai dibangun pemerintah Indonesia pada 2021. Empat lokasi lainnya, yaitu Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Likupang di Sulawesi Utara. Candi Borobodur di Jawa Tengah dan Danau Toba di Sumatera Utara. Keberadaan DPSP itu diharapkan dapat meningkatkan posisi Indonesia pada Indeks Daya Saing Pariwisata menjadi peringkat 30 pada 2021.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam rapat koordinasi nasional dan dewan pengarah lima destinasi pariwisata dan super prioritas dan badan otorita pariwisata, Jumat (27/11), berharap pariwisata Indonesia nantinya dapat menandingi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina dan Singapura. [ys/em]
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada: https://www.voaindonesia.com/a/organisasi-lingkungan-taman-nasional-komodo-adalah-kawasan-konservasi-bukan-ruang-investasi/5680450.html