Di Balik Kontroversi Penutupan Pulau Komodo

Walau atas nama konservasi, warga Pulau Komodo di Kabupaten Manggarai Barat-Provinsi NTT itu, dengan tegas menolak rencana Gubernur Laiskodat menutup Pulau itu selama setahun. Menurut warga Pulau Komodo, rencana Gubernur Laiskodat menutup Pulau itu serta rencana pemindahan mereka dari Pulau tersebut dengan jelas telah mengabaikan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Wacana penutupan Pulau Komodo selama setahun, awal mulanya bersumber dari pernyataan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat. Segera setelah terpilih sebagai Gubernur NTT, politisi partai Nasdem itu melancarkan  berbagai pernyataan publik tentang rencananya membangun pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, terutama di Taman Nasional Komodo (TNK). Yang terbaru yang memicu kontroversi adalah rencananya menutup Pulau Komodo dalam rangka menjadikan Pulau itu sebagai kawasan wisata ekslusif berbasis konservasi. Tiket masuknya, menurut Laiskodat, minimal 500 US Dollar. Dalam rangka itu, Laiskodat juga hendak merelokasi penduduk asli ke Pulau lain. “Kami juga mau agar tidak ada manusia yang tinggal di Pulau Komodo. Mereka yang sekarang tinggal di sana akan kami pindahkan ke Pulau Rinca atau Pulau Padar,” kata Laiskodat sebagaimana dilansir Kompas.com (22/05/2019).

Mengapa warga Pulau Komodo menolak rencana penutupan Pulau itu? Apakah mereka tidak mendukung konservasi? Apakah mereka juga menolak pembangunan pariwisata?

Penolakan warga Pulau Komodo atas wacana penutupan Pulau itu, tidak dapat diklaim begitu saja sebagai suara dari pihak yang tidak mendukung konservasi demi pembangunan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat secara khusus dan Provinsi NTT secara umum. Sebaliknya, substansi dari penolakan mereka adalah fenomena gunung es yaitu sebagai protes dari sekelompok masyarakat terhadap retorika-retorika pembangunan yang atas nama kesejahteraan, dalam banyak dimensi justru telah mengabaikan masyarakat setempat.

Riwayat Wacana

Mulanya rencana Gubernur Laiskodat menutup Pulau Komodo selama setahun tidak ditanggapi secara serius oleh masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat, khususnya warga Pulau Komodo. Pasalnya, setelah pertama kali wacana ini dihembuskan oleh Laiskodat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selaku otoritas pusat yang bertanggung jawab atas TNK langsung buka suara, menegaskan hanya pihak KLHK-lah yang berwewenang membuka atau menutup sebuah kawasan Taman Nasional.

Sementara itu, permintaan untuk berdialog dengan masyarakat melulu tidak digubris oleh Gubernur. Sebaliknya, melalui berbagai media Gubernur terus melancarkan pernyataan penutupan Pulau Komodo. Merespon situasi ini, pihak KLHK yang meski sebelumnya memastikan konservasi di Pulau Komodo dalam keadaan baik-baik saja, kini membentuk tim terpadu untuk mengkaji berbagai hal tekait rencana penutupan Pulau itu. Rekomendasi tim terpadu ini, menurut KLHK, akan dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan selanjutnya.

Meski masih menjadi perdebatan, lawatan Presiden Jokowi ke Labuan Bajo pada tanggal 10-11 Juli 2019 merupakan babak baru dari persoalan ini. Hal itu dipicu oleh pernyataan Presiden Jokowi terkait dukungannya terhadap rencana Gubernur Laiskodat untuk menutup Pulau Komodo dalam rangka konservasi. Menariknya pula, rencana itu persis bak gayung bersambut dengan mimpi besar sang Presiden untuk menjadikan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas secara nasional.

Merespon kabar terbaru ini, warga Pulau Komodo pun bereaksi cepat. Pertemuan dan diskusi di balai Kampung makin sering dilakukan untuk merumuskan alasan penolakan dan peryataan-pernyataan tuntutan. Konsolidasi dengan organisasi-organisasi gerakan di Kota Labuan Bajo juga ditempuh. Formap (Forum masyarakat Penyelamat Pariwisata) adalah satu dari sekian organisasi gerakan yang terlibat begitu aktif mendukung masyarakat Komodo menentang rencana penutupan Pulau itu.

Jika selama ini Pulau Komodo yang menjadi tujuan kunjungan banyak wisatawan, kini sebaliknya tejadi. Rabu, 17 Juli 2019, ratusan warga Pulau Komodo mengunjungi Labuan Bajo. Bukan untuk berwisata, tetapi berunjuk rasa, bertajuk “Aksi Damai Menolak Penutupan Pulau Komodo”.

Selain long march di lorong-lorong kota, pada kesempatan ini ratusan masyarakat Kampung Komodo juga beraudiensi dengan pihak DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Pemda Manggarai Barat dan pihak Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Ketiga pihak ini masing-masing memberikan tanggapan yang berbeda-beda atas tuntutan warga Komodo. DPRD Kabupaten Manggarai Barat berjanji segara mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama warga Pulau Komodo. Pihak Pemda mengklaim bahwa keputusan Gubernur itu masih sebatas wacana dan sejauh ini masih dalam proses kajian tim terpadu KLHK. Sementara itu, pihak BTNK menjamin bahwa pendapat warga Komodo akan dijadikan sebagai salah satu elemen terpenting pertimbangan tim terpadu.

Suara-suara protes warga Komodo terus digencarkan. Tak lama berselang, Senin, 22 Juli 2019, warga Komodo mengikuti rapat dengar pendapat di kantor DPRD Manggarai Barat yang juga menghadirkan pihak Pemda Manggarai Barat dan BTNK. Menariknya, dalam rapat itu, tuntutan warga Komodo makin menguat. Masyarakat Komodo bahkan dengan tegas menolak kehadiran tim kajian terpadu bentukan tim KLHK. Sebab menurut mereka, meski berkedok tim ahli, tim terpadu ini tidak bebas dari kepentingan, mengingat Gubernur Laiskodat dan Siti Nurbaya Bakar (menteri LHK) yang diusung oleh parpol yang sama.

Hingga artikel ini ditulis, beberapa utusan warga Pulau Komodo dan utusan beberapa forum masyarakat sipil di Labuan Bajo sedang berada di Jakarta untuk bertemu para pihak terkait (Presiden, pihak KLHK dan Kementerian Pariwisata) untuk  membicarakan kontroversi penutupan Pulau itu.

Peradaban Ata Modo

Argumentasi yang mendukung rencana  relokasi orang Komodo dari Pulau itu semakin berkembang. Selain dalam rangka peruntukan kawasan eksklusif konservasi, perdebatan soal asal-usul orang di Pulau Komodo juga dijadikan sebagai alasan pemindahan mereka dari Pulau tersebut. Konon, masyarakat Pulau Komodo bukan merupakan penduduk asli Pulau itu. Mereka adalah pendatang. Karena itu, demikian argumen yang dibangun, pemindahan  masyarakat dari Pulau itu masih dianggap sebagai sebuah keputusan yang wajar.

Benarkah penduduk Komodo bukan merupakan penduduk asli Pulau itu? Cerita tentang orang-orang Komodo yang terdaftar sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, bukanlah sebuah cerita fiksi, yang tiba-tiba muncul di tengah kontroversi pentupan Pulau Komodo. J.A.J Verheijen melalui sebuah penelitian etnografik dalam bukunya yang berjudul Pulau Komodo, Tanah, Rakyat dan Bahasanya (1987) membuktikan bahwa jauh sebelum TNK hadir, telah berlangsung sebuah peradaban kebudayaan di Pulau Komodo. Peradaban itu, demikian tulis Verheijen, penduduknya disebut ata modo, yang mendiami Pulau yang disebut tana modo dan berkomunikasi dalam bahasa mereka sendiri yang disebut wana modo (bdk. hal. 3).

Saat melakukan penelitian itu, Verheijen hidup bersama ata modo yang secara terpencar-pencar mendiami Pulau itu. Terdapat 69 rumah di Desa Komodo, 7  rumah terletak di Dusun Nggaro dan  lagi 4 rumah yang lain lagi terletak di tengah kebun-kebun (wangka wereq, Kubu dan Lipa) dekat Liang (bdk. hal. 3). Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat ata modo menangkap ikan secara individual atau komunal, mengumpulkan ganggang, memetik asam pada musim tertentu dan bertani (bdk. hal. 6-17).

Sebagian lahan pertanian ata modo disebut lingko. Sebagaimana kecenderungan umum dalam telusur sejarah asal-usul sebuah masyarakat, hal ini menurut Verheijen menunjukkan unsur kebudayaan Manggarai dalam budaya ata modo. Hal ini pula diperkuat oleh beberapa kosa kata terkait pertanian dalam masyarakat ata modo yang sama dengan kata-kata dalam Bahasa Manggarai seperti lodoq, lance, cicing, rana, lokang, komoso  dan geoq (bdk. hal. 15).  Di lingko ini masyarakat ata modo menanam jagung, padi-padian lain yaitu gandong atau jelai, dan boka atau sorghum. Di samping itu ada juga ibu kayu (bojo), ubi jalar (tete), waluh (kondang), semangka (kelende), labu-ponda (ndala)  dan pepaya (panja).

Relasi Interspesies

Sementara itu, hidup di sebuah Pulau yang juga menjadi habitat binatang buas (Varanus komodoensis), tidak lantas membuat ata modo bermusuhan dengan reptil raksasa itu. Ata modo  justru menjadi salah satu penjamin ketersediaan makanan bagi spesies langka itu. Tentang itu, penduduk Komodo yang lahir pada era sebelum TNK mempunyai koleksi cerita yang banyak tentang bagaimana orang tua mereka pada zaman dahulu berbagi jatah buruhan dengan binatang Komodo. Mereka bertutur bahwa ketika orang tua mereka telah berhasil menangkap rusa, segerombolan binatang Komodo segera datang mendekat. Sebab organ dalam dari binatang buruhan tersebut merupakan jatah makanan si Komodo.

Menariknya, dalam alam berpikir orang Komodo, relasi interspesies ini justru dijamin oleh sebuah warisan budaya tradisi lisan yang menceritakan bahwa binatang Komodo merupakan saudara kembar dari ata modo. Mitologi ini terus diwariskan hingga generasi sekarang dan terpatri sebagai sebuah kekayaan budaya kebanggaan warga Komodo. Selain diwariskan dalam bentuk cerita, mitologi ini juga diabadikan dalam nyanyian dan tarian yang populer disebut arugele. Dalam kesempatan unjuk rasa pada tanggal 17 Juli 2019 yang lalu di Kota Labuan Bajo, sekelompok ibu-ibu dari Kampung Komodo, dengan lantang menyanyikan lagu arugele di hadapan pihak DPRD dan Pemda Kabupaten Manggarai Barat.

Dengan demikian, jika ditempatkan dalam bingkai teori konservasi, Gubernur Laiskodat dan ata modo persis mengusung teori konservasi yang bertolak belakang. Jika Laiskodat menganggap keberadaan manusia sebagai penghalang konservasi, sejarah panjang keharmonisan orang-orang Komodo dengan reptil langka itu dengan segala nilai yang ada di balik itu, justru secara terang-benderang membuktikan jika terjalinnya relasi interspesies merupakan jaminan bagi keberlangsungan sebuah ekosistem konservasi.

Enclave Community

Gubernur Laiskodat tidak berhenti melancarkan berbagai pernyataan untuk membenarkan rencananya menutup pulau itu. Yang terbaru adalah klaimnya atas warga di Pulau itu sebagai penduduk liar. Pasalnya, demikian Laiskodat, mereka bermukim di atas tanah-tanah yang tidak memiliki sertifikat hak milik.

Mengapa orang-orang Komodo tidak mengantongi sertifikat hak milik atas tanah-tanah mereka? Kehadiran Taman Nasional Komodo dengan agenda konservasi adalah musabab utama dari semua proses itu. Melalui Pengumuman Mentri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 kawasan Komodo ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Komodo (TNK). Dalam perjalanan waktu, tak hanya di darat, kehadiran TNK juga telah membatasi akses warga Komodo atas perariran laut di sekitar Pulau itu.

Kehadiran TNK dengan agenda  konservasi menyebabkan masyarakat Komodo kehilangan hak milik, akses serta manfaat dari tanah-tanah mereka. Di bawah kendali TNK, lahan-lahan pertanian mereka semuanya diperuntukan bagi kawasan konservasi. Atas nama konservasi, penduduk Komodo yang semulanya bermukim secara terpencar-pencar di Pulau itu pun dipindahkan pada suatu tempat yang dalam peta zonasi TNK sekarang ini merupakan bagian dari zonasi pemukiman.

Tak hanya di darat, efek dari kebijakan konservasi juga pada prosesnya telah membatasi akses masyarakat Komodo untuk memanfaatkan perairan laut di sekitar Pulau itu. Awalnya, area konservasi yang hanya mencakup daratan, membuat masyarakat Komodo beralih perhatian ke laut sebagai sandaran baru mata pencaharian. Berbekalkan pengetahuan menangkap ikan yang diperoleh dari suku-suku pendatang (Bajo, Bugis), Kampung Komodo pun menjadi Kampung nelayan. Namun, semua situasi itu berubah ketika melalui Keppres No. 4 tahun 1992 yang berisi tentang penunjukkan perariran  laut di sekitarnya (luas 132.572 Ha) yang terletak di Kabupaten Dati II Manggarai Provinsi Dati I NTT menjadi Taman Nasional Komodo (TNK).

Semua proses ini terjadi bukan tanpa perlawanan. Sebab sebagaimana masyarakat kebanyakan, orang-orang Komodo memberikan perlawanan terhadap cara kerja pembangunan yang dengan jelas mengabaikan konteks sosial, kebudayaan dan ekonomi setempat. Sebagai contoh di Taman Nasional Lindu, Sulawesi Tengah, hingga sekarang ini sering tejadi konflik antara masyarakat adat dengan pihak pengelola konservasi.

Jika di kebun-kebun binatang para binatang dikurung dalam pagar dan manusia (pengunjung) dibiarkan berjalan bebas, di bawah aturan konservasi, binatang Komodo dan satwa yang lain justru dibiarkan hidup di alam bebas,  sementara manusia (orang-orang Komodo) justru dikurung dalam sebuah pemukiman berbentuk enclave.

Ladang Investasi

Sementara itu, di tengah wacana relokasi warga Komodo dari Pulau tersebut, TNK belakangan ini justru menjadi ladang investasi. Setelah PT Putri Naga Komodo (PNK) bubar tanpa pertanggungjawaban yang jelas pada tahun 2011 yang lalu, sejauh ini terdapat tujuh perusahaan lain yang sudah mengantongi izin dari pihak KLHK untuk berinvestasi dalam kawasan TNK.  Dari tujuh perusahaan di atas, dua perusahaan sudah mendapat izin yakni  PT. Komodo Wildlife Ecotourism dengan SK Kemenhut No. 796/Menhut/II/2013  di Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo dan PT Segara Komodo Lestari dengan SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013  tanggal 9  September 2013 di Loh Buaya Pulau Rinca.

Izin yang diberikan adalah Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) yang mencakup: usaha sarana wisata tirta; usaha sarana akomodasi; usaha sarana transportasi; usaha sarana wisata petualangan dan usaha sarana olahraga minat khusus.

Sampai dengan periode Juli 2018, kedua perusahaan di atas mulai merealisasikan proyeknya. PT. Komodo Wildlife Ecotourism sudah merealisasikan proyeknya sejak 2017, yakni bersama pemerintah melakukan kerjasama pembangunan rumah Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid PT PLN (Persero) di Pulau Komodo (koordinat S 8.58797ºdan E 119.49455º) dengan luas ±2.240 m². Sementara PT. Segara Komodo Lestari baru mulai merealisasikan proyeknya terhitung sejak Juni 2018. Setelah mendapat izin dari BKPBKPM No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 dan SK BTNK No. 169/T.17/TU/KSA/04/2018, PT Segara Komodo Lestari mulai membangun fasilitas/sarana wisata alam di Loh Buaya Pulau Rinca.

Ekspansi investasi ke dalam kawasan TNK diprediksikan akan makin masif dalam tahun-tahun ke depan. Pasalnya, di bawah draft Perpres yang baru (Juli 2019), kawasan TNK dan sekitarnya telah mendapat nama baru sebagai Kawasan Strategis Nasional Kawasan Taman Nasional Komodo. Draft Perpres ini dibentuk sebagai tindak lanjut predikat Labuan Bajo sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas secara nasional.

Dalam rangka tujuan yang sama pula, pemerintah pusat melalui Perpres No. 32 tahun 2018 telah membentuk Badan Otorita Pariwisata (BOP). Dalam rangka percepatan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, BOP akan menjalankan fungsi otoritatif dan koordinatif. Dalam rangka investasi, BOP juga akan menguasai lahan seluas kurang lebih 400 hektar di sekitar kota Labuan Bajo.

Dengan demikian, terkait polemik penutupan Pulau Komodo, kita justru diperhadapkan dengan sebuah ironi bahwa di tengah rencana pemerintah untuk merelokasi warga Komodo dari Kampung tersebut, pemerintah justru makin menggebu-gebu memasukan investor ke dalam TNK dan sekitarnya.

Wisata Lokal versus Premium

Selain untuk konservasi, penutupan Pulau Komodo menurut Gubernur Laiskodat juga dalam rangka menjadikan Pulau itu sebagai destinasi wisata premium.

Jika jadi ditutup selama setahun, bagaimana dengan rantai ekonomi masyarakat Kampung Komodo yang selama ini sudah sangat bergantung pada sektor pariwisata? Jika pula dijadikan sebagai destinasi wisata premium, apakah usaha-usaha wisata lokal yang selama ini telah digeluti masyarakat Komodo tidak terhitung sebagai model pengembangan pariwisata yang layak dari sisi pembangunan?

Tak punya pilihan lain hidup sebagai enclave community masyarakat Kampung Komodo dalam beberapa tahun belakangan ini menjadikan pariwisata sebagai sandaran mata pencharian yang baru. Ada yang berprofesi sebagai pengrajin patung komodo, penjual souvenir, home stay, naturalist guide, pemandu wisata, kapal wisata, warung-warung dan kuliner.

Kendati telah bergantung pada sektor pariwisata, bisnis pariwisata dengan segala aturan mainnya, tentu bukan merupakan sebuah perkara yang mudah bagi sekelompok masyarakat yang sebelumnya sama sekali asing dengan dunia itu. Belum menguasai seluk-beluk pengetahuan tentang kepariwisataan, kendala modal untuk dapat bersaing dengan para pelaku wisata yang lain, jaringan dengan para pelaku wisata di Labuan Bajo yang belum tertata dengan baik, berbelit-belitnya koordinasi yang dibangun dengan pihak Kabupaten Manggarai Barat dengan pihak BTNK, merupakan setumpuk persoalan pariwisata yang dialami oleh masyarakat Pulau Komodo selama ini.

Sementara itu, kemunculan generasi muda di Kampung Komodo belakangan ini coba menginisiasi sebuah komunitas yang disebut kogeta (kelompok penggerak pariwisata) yang mengembangkan pariwisata berbasis komunitas di Kampung itu. Dibentuk pada awal tahun 2019, kogeta coba mengembangkan pilihan atraraksi wisata lain di Kampung Komodo terutama wisata budaya (tarian, pencak silat, narasi, dan situs kampung tua), mengingat sebagian besar kunjungan wisatawan ke Pulau itu selama ini hanya untuk menyaksikan binatang Komodo.

Andai saja Gubernur Laiskodat konsisten dengan perkataan awalnya untuk menjadikan riset sebagai basis setiap pengambilan kebijakan pembangunan di wilayah provinsi NTT, maka pengembangan pariwisata yang partisipatif berbasis konservasi dalam kawasan TNK niscaya akan dijadikan sebagai agenda prioritas. Karena itu, penutupan pulau Komodo dan memindahkan masyarakat dari Pulau itu untuk tujuan destinasi premium, jelas merupakan sebuah pengemabilan kebijakan yang tidak sesuai dengan data dan fakta di lapangan.

Venansius Haryanto*

Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di harian umum FLORES POS 7-8 Agustus 2019. 

 

 

Publikasi Lainnya