Tutup TNK: Langkah Bijak Laiskodat?

SunspiritForJusticeandPeace – Ketika kami menulis artikel ini, kami baru saja menonton video Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Victor Laiskodat berjoget ria. Entah momennya apa, dalam video tersebut, Laiskodat memamerkan goyangan pinggul dalam irama dangdut. Dia kelihatan senang dan sangat menikmati suasana tersebut. Video ini tersebar di berbagai group Whats App.

Kami menulis artikel ini tidak terdorong karena goyangan Laiskodat tersebut. Sebaliknya, karena wacana penutupan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) yang ia ucapkan beberapa bulan lalu, membuat Asdar, salah seorang penduduk Kampung Komodo merasa cemas. Di saat gubernur itu sudah bergoyang ria, ia memikirkan sumber mata pencarian penduduk Komodo yang sebagian besar bekerja di sektor wisata.

Hampir tiap malam hingga kami menuliskan artikel ini, ia tiada henti-hentinya menanyakan kejelasan wacana tersebut bahkan menanyakan strategi advokasi di tingkat lokal maupun nasional. Asdar inginkan kepastian dan keberpihakan pemerintah terhadap kehidupan mereka di Kampung Komodo.

Tak hanya penduduk di Kampung Komodo. Pelaku wisata seperti agen travel turut mengkhawatirkan wacana tersebut.

Rio Prakoso, pemilik Komodo Trip mengeluhkan penurunan jumlah tamu. Di bulan yang sama tahun sebelumnya, ia kewalahan menerima bookingan. Sebaliknya saat ini, ia justru sepi pemesanan perjalanan wisata. Terbersit dalam pikirannya untuk membuka usaha lain seperti percetakan baju kaus khas Labuan Bajo.

“Sama saja, usaha apa saja pasti berhubungan dengan pariwisata,” keluhnya pula.

Dalam catatan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) cabang Mabar, semenjak Gubenur Laiskodat mewacanakan kenaikan tarif menuju TNK dan penutupan Pulau Komodo, perjalanan wisata menurun drastis. Per Februari 2019, terjadi 600 pembatalan perjalanan wisata ke Labuan Bajo.

Sementara itu, beberapa waktu lalu, aktivis dan pelaku wisata harus rela menemui wakil presiden RI, Jusuf Kalla (JK) dengan agenda yang sama. Mereka ingin memastikan pembatalan rencana penutupan TNK. Kendati JK yang sebentar lagi turun dari wakil presiden itu merespon positif, namun ketidakpastian tetap menganga di depan mata.

Setelah dua bulan melemparkan wacana penutupan TNK, Laiskodat boleh bergembira dan menari dalam irama dangdut, namun Asdar dan Rio serta berbagai pelaku wisata kini menghadapi ketidakpastian dan kegamangan akibat ucapannya. Sektor pariwisata yang mereka geluti rupanya sangat rentan terhadap situasi dan kebijakan politik di mana Laiskodat juga berpentas ria.

Kegamangan itu bertambah karena respon pemerintah pusat yang sangat normatif dan diplomatis terhadap wacana tersebut. Kendati Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatanan (KLHK) menegaskan bahwa mereka yang memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan penutupan TNK, namun dalam surat pemberitahuan pada Februari, ia justru merekomendasikan pembentukan tim terpadu untuk memastikan kebenaran wacana tersebut.

Tak hanya itu. Kendati ia memastikan tidak terjadi perubahan populasi Komodo sebagaimana diisukan Laiskodat, ia menjanjikan kemungkinan penutupan berlangsung per Januari 2020. Kemungkinan penutupan itu didahului kerja tim terpadu yang melaporkan kepada Menteri KLHK pada Juli 2019 dan masuk dalam pertimbangan Dirjen KSDA pada Agustus 2019.

Padahal, mestinya Dirjen tidak perlu bersusah payah membentuk tim terpadu jika saja ia percaya pada kinerja Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) sudah hadir sejak tahun 1990 di Labuan Bajo. BTNK memiliki sekitar 132 orang staf dan sebagian besar tersebar di 11 pos jaga di dalam kawasan TNK. Mereka tidak hanya menjalankan upaya perlindungan dan pengamanan dalam kawasan, tetapi juga melakukan dan menfasilitasi penelitian.

Mengapa Dirjen KSDA tidak tegas terkait otoritasnya? Bisakah alternatif yang tepat dipikirkan hanya dalam waktu hanya 3 bulan untuk kehidupan minimal 1.725 jiwa penduduk? Apa juga yang sebenarnya yang diinginkan Laiskodat di balik wacana ini?

Kegagalan Laiskodat Memahami TNK

Pernyataan Laiskodat sebenarnya mudah saja dipatahkan tidak hanya karena mempertimbangkan penelitian ilmiah, fakta lapangan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebagaimana yang diterangkan Dirjen KSDA tetapi juga karena kesalahpahamannya terhadap pengembangan TNK.

Laiskodat mempunyai pandangan tersendiri terhadap konservasi yang tidak dipikirkan banyak pelaku wisata dan konservasionis selama ini. Keberadaan TNK yang dipahami oleh para konservasionis adalah sebisa mungkin membiarkan kondisi ekosistem berkembang secara alamiah.

Sebaliknya Laiskodat ingin membayangkan TNK sebagai sebuah taman yang bisa disentuh dengan berbagai intervensi dan bermacam-macam desain. Laiskodat membayangkan TNK seperti pengeolahaan taman bunga. Ia misalnya menginginkan berbagai jenis bunga ditanam di TNK.

“Dalam mimpi saya, seluruh bunga endemik di NTT seperti sakura Sumba, sakura Timor, dan Sepe itu dimasukkan ke sana, dan sebelum lihat komodo, dia—wisatawan akan lihat keindahan taman” katanya. (Kompas.com 26 Januari 2019)

Ia juga menginginkan populasi komodo yang stabil dengan menyiapkan mangsanya. Anggaran 100 miliar yang disiapkan dari APBD Provinsi—jauh di atas alokasi APBN yang sebesar 40 milliar tiap tahun—dimanfaatkan untuk menyiapkan mangsa komodo seperti rusa, kerbau, babi, kambing dan rusa.

Selain itu, kendati belum ada penelitian yang dilakukan, Laiskodat beranggapan bahwa kecenderungan Komodo memangsa anaknya sendiri/ komodo lain adalah karena kondisi kekurangan mangsa. Ia merasa terlegitimasi untuk menyalahkan aksi perburuan liar sebagai sebab dari tabiat kanibal dari satwa langka tersebut.

“Kalau ada makanan, mana mungkin Komodo makan anaknya sendiri. Ini jelas rantai makannya tidak ada,” kata Laiskodat. (Kompas.com, 5 Desember 2019).

Di kalangan peneliti, kondisi itu sebetulnya masih teka-teki. Karakter kanibal komodo kemungkinan bagian dari mekanisme survival dari keberadaan komodo itu sendiri. Sekali bertelur, jumlah telur Komodo bisa mencapai 24-38 butir. Jika jumlah komodo berlebihan, sementara daya dukung ekosistem tidak seimbang, bisa membahayakan. Tidak heran pula, naluri alamiah dari komodo yang berusia 1-2 tahun adalah mencari perlindungan di pohon guna menghindari mangsa dari komodo lain.

Sementara itu, perkembangan pengelolaan TNK di bawah kementerian KLHK saat ini kian memperhatikan aspek sosial. Perhatian ini tidak terlepas dari kritik terhadap konsep konservasi ala Barat yang tidak memperhatikan penduduk setempat selama pembentukan TNK. Kendati perhatian itu masih jauh dari ideal, BTNK mulai membuka dan mendukung sarana-prasarana seperti listrik, air, dan lain-lain, hal yang sebelumnya tidak menjadi atensi mereka.

Laiskodat sebaliknya menarik langkah konservasi jauh ke belakang yakni pada era 1980-an. Ia mengatakan bahwa yang dipentingkan dalam TNK adalah komodo.

“Kalau kita sudah sepakat bahwa komodo itu binatang langka dan dilindungi itu berarti TNK itu tidak ada yang namanya perlindungan manusia. Yang ada hanya perlindungan hewan” katanya pada 7 Desember 2018, seperti dikutip Genpi.com.

Karena itu, pemahaman Laiskodat ini atas TNK itu sendiri sebenarnya membingungkan banyak pihak.

Melabrak Tatanan Pengelolaan TNK

Sementara itu, keinginan Laiskodat menutup TNK juga melabrak tatanan pengelolaan TNK selama ini. Otoritas buka-tutupnya TNK berada di bawah dirjen KSDA yang mempertimbangkan penelitian ilmiah, fakta lapangan, kondisi sosial ekonomi, dan masukan dari pemprov dan pemda setempat.

Apa yang diisukan Laiskodat bertentangan dengan hasil penelitian BTNK. Jumlah komodo dalam rentang 2002-2014 sebenarnya relatif stabil yakni sekitar 2.700, meskipun masih ada kekhawatiran dengan intensitas aktivitas wisata yang kian meningkat. Namun, secara umum, sejak adanya TNK, populasi komodo umumnya dijaga dan dilindungi dengan baik.

Sebaliknya yang membutuhkan perhatian serius adalah komodo yang terdapat di daratan Flores. Pasalnya, komodo pada dasarnya tidak hanya terdapat dalam kawasan TNK tetapi juga di Pulau Flores. Namun, keberadaan komodo tersebut tidak mendapat perhatian khusus. Alangkah bagus, dana yang diusulkan oleh Laiskodat adalah untuk meningkatkan upaya konservasi terhadap komodo yang persebarannya berada di pulau Flores.

Sementara jumlah rusa juga tidak mengalami penurunan. Kendati sejumlah persoalan seperti perburuan liar sudah menjadi masalah jamak sejak TNK berdiri, menurut penelitian Komodo Survival Program, jumlah rusa masih masih berkisar 3900 ekor dalam kawasan TNK.

Dalam kenyataannya pula, pengaruh wisatawan terhadap Komodo masih belum membahayakan, karena area untuk wisata hanya 5 km persegi dari total habitat komodo. Komodo di Nusa Kode dan Gili Motang misalnya tidak dibuka kepada aktivitas turisme.

Sementara itu, keberadaan penduduk kawasan yang tidak diperhitungkan Laiskodat merupakan preseden buruk bagi kelangsungan TNK. Pasalnya, penduduk Pulau Komodo bukan hanya menggantungkan hidupnya dari sektor wisata, melainkan juga mereka menjadi elemen penting dalam upaya konservasi.

Penduduk Komodo adalah contoh yang nyata bagaimana integrasi antara prinsip-prinsip konservasi dan pemberdayaan ekonomi komunitas sudah berjalan bersamaan. Karena Sebagian besar penduduk Komodo bekerja di sektor wisata seperti pembuat patung, penjual souvenir, dan ranger di TNK, mata pencarian mereka bergantung kepada dinamika pariwisata dan konservasi. Karena rantai ekonomi tersebut, mereka juga berkepentingan menjaga dan mengupayakan konservasi. Mereka, misalnya, terlibat dalam memadamkan api saat terjadi beberapa kali kebakaran di kawasan TNK.

Karena itu, pernyataan Laiskodat berdampak pada peminggiran masyarakat di Pulau Komodo. Padahal, mereka mampu beradaptasi selama lebih dari 30 tahun dengan tuntutan konservasi. Tanah mereka pernah diambil dan aktivitas mereka dibatasi dalam zona pemukiman yang terbatas. Sementara sumber mata pencarian, mereka pernah berburu dan meramu makanan (sebelum tahun 1990-an), menjadi nelayan (1990-an-awal 2000-an), dan kini sepenuhnya tergantung kepada sektor wisata. Laiskodat tidak mempertimbangkan sosial-historis demikian.

Hal itu juga berdampak pada pelaku wisata seperti pemilik kapal dan agen travel. Jumlah kapal wisata dalam kawasan TNK mencapai 300-an kapal. Jika setiap kapal mempekerjakan tiga orang (crew kapal) maka jumlah pekerja yang terserap dalam kawasan sekitar 3.000 orang. Itu hitungan minimal. Karena tanpa disertai solusi dan alternatif, upaya Laiskodat membingungkan para pelaku wisata tersebut. Tak heran, pelaku wisata menyebut kebijakan Laiskodat ngawur.

Karena itu, pernyataan Laiskodat sebetulnya mengejutkan banyak pihak. Kendati berjanji mengambil keputusan berdasarkan riset yang kuat, namun Laiskodat dalam kenyataannya berbicara TNK bertentangan dengan penelitian beberapa lembaga. Ia juga mengabaikan dinamika sosial-ekonomi di dalam kawasan TNK.

Hikmah dari Pernyataan Laiskodat

Kendati demikian, ucapan Laiskodat tidak muncul di ruang kosong. Dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan BTNK tengah menghadapi beragam persoalan. Di antaranya, persoalan privatisasi dan pengembangan investasi dalam kawasan, persoalan otonomi daerah dan kewenangan pemerintah pusat, managemen pengelolaan, dan masalah kerusakan ekologi seperti sampah, kebakaran, kerusakan terumbu karang dan lain sebagainya.

Hal itu terjadi karena tata kelolah wisata di Manggarai Barat masih menunjukkan ketimpangan. TNK masih menempati posisi sentral dalam pengembangan pariwisata ketimbang distribusi manfaat kepada komunitas-komunitas atau wilayah pedesaan. TNK dipromosikan dan cenderung dieksploitasi sebagai keajaiban dunia sedemikian sehingga sebagaian besar kunjungan wisatawan dimobilisasi dalam kawasan TNK. Tahun 2014 jumlah kunjungan dalam kawasan TNK mencapai 80 ribu kunjungan, sementara pada tahun 2018 jumlah kunjungan sudah mencapai 159 ribu kunjungan.

Besarnya jumlah kunjungan tersebut telah sebetulnya menuntut upaya perlindungan yang tidak mudah. Berbagai kemungkinan kerusakan bisa terjadi seperti kebakaran, sampah, perburuan liar, dan kerusakan terumbu karang. Belum lagi intervensi atau kongkalingkong antara politisi pebisnis yang tergiur dengan prospek kunjungan tersebut bisa menggadaikan kerja konservasi untuk meraup untung di dalam kawasan TNK.

Dalam beberapa tahun terakhir, alih-alih memperbaiki sejumlah ancaman tersebut dan mengupayakan distribusi manfaat pariwisata kepada komunitas-komunitas, konsentrasi investasi dan pembangunan yang berlangsung di Labuan Bajo dan wilayah pesisir justru makin menunjang peningkatan ekplorasi dan eksploitasi wisata ke dalam TNK.

Jumlah kapal wisata, restoran, dan hotel yang berdiri sepanjang garis pantai terus meningkat tiap tahun. Pada tahun 2017-2018, terjadi pembangunan dalam skala masif di sekitar Labuan Bajo, di antaranya, pembangunan marina senilai 400 milliar yang mendukung wisata bahari dan kunjungan ke dalam TNK, pembangunan hotel bintang lima Ayana, pembukaan jalur Frans Flores lintas utara, dan pembangkit listrik tenaga gas di Rangko. Bahkan pemerintah pusat membentuk Badan Otorita Pariwisata pada April 2018 yang bertujuan meningkatkan investasi dan kunjungan wisatawan, termasuk menargetkan 500 ribu kunjungan ke dalam TNK pada tahun 2019.

Ibarat gula, TNK kian dikerumuni. Investor tidak saja bersaing membangun bisnis di zona penyanggah tetapi juga sudah merangsek masuk ke dalam TNK seperti dalam kasus privatisasi Pulau Padar dan Rinca pada tahun 2018 oleh PT Sagara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecoturism. Namun, Pulau Tetawa yang berada dalam kawasan TNK sudah diprivatisasi pada awal tahun 2019 ini.

Kini, tidak hanya pemerintah pusat yang berupaya mengais pendapatan dari kawasan TNK senilai 30-40 milliar per tahun, tetapi juga Pemkab Mabar dan Pemprov NTT. Berbasis pada undang-undang otonomi daerah, Pemda turut menarik retribusi dari kawasan TNK untuk pundi-pundi PAD. Tahun 2018, misalnya, Pemda mendapatkan PAD sekitar 8 milliar dari retribusi di dalam kawasan. DPRD Mabar selama periode 2014-2018, menghasilkan satu perda yang berkaitan dengan retribusi, namun tidak ada yang terkait tata kelolah wisata secara umum.

Pemprov, seperti yang terlihat dari keinginan Laiskodat juga tak mau ketinggalan. Pemprov berupaya mengubah regulasi dan otoritas pengelolaan TNK. Laiskodat, misalnya menginginkan penutupan TNK dan menaikkan tarif masuk menjadi 500 dollar atau 7 juta bagi wisatawan asing.

Padahal, konsentrasi pembangunan pariwisata di Labuan Bajo tidak memiliki trickle down effect kepada komunitas-komunitas pertanian. Sayur-mayur lebih mudah didatangkan dari Bima, Bajawa, dan Ruteng. Padahal tricke down effect ini yang telah menjadi slogan jualan kehadiran pariwisata kepada komunitas-komunitas. Hal itu dipicu oleh infrastruktur jalan dan jembatan yang masih rusak parah ke dalam wilayah pedesaan dan sentra-sentra pertanian. Tak heran, prosentasi penduduk miskin di Mabar masih tinggi yakni berkisar 20 persen dari total penduduk sekitar 250 ribu jiwa. Jumlah terbesarnya berada di wilayah pedesaan.

Karena itu, kontroversi kebijakan Laiskodat ibaratnya “blessing in disguise.” Pernyataan itu hadir di tengah ironi pengembangan pariwisata. Di satu sisi, ucapan Laiskodat mengungkapkan simptom pengembangan pariwisata di Labuan Bajo yang masih minim alternatif, rentan tereksploitasi, dan lemahnya tata kelolah dan upaya perlindungan dan pengamanan. Di sisi lain, Laiskodat terlihat “ngawur” saat gagal mengungkapkan problem pariwisata secara keseluruhan dan tidak mampu mengungkapkan model pengembangan wisata yang berdampak luas dan wisata alternatif. Karena apa yang diungkapkan Laiskodat sebetulnya tidak berpretensi membangun pariwisata secara keseluruhan tetapi bagaimana pemprov NTT kebagian jatah dari TNK.

Sayangnya pula, resistensi para pelaku wisata cenderung reaktif karena “piring nasi mereka” terancam, ketimbang suatu resistensi yang konstruktif dan paradigmatik terhadap ancaman kerusakan TNK. Resistensi yang paradigmatik tidak lain adalah upaya mendorong pemangku kebijakan publik untuk membentuk regulasi dan kebijakan yang mampu mendorong tata kelolah, perlindungan, dan pengamanan TNK di satu pihak dan distribusi manfaat yang adil di lain pihak.

Sementara itu, apa yang kami khawatirkan dari rencana penutupan TNK yang minus alternatif ala Laiskodat adalah bukan karena kenyataan itu hanya berpotensi menciptakan kegaduhan yang berdampak buruk pada citra wisata yang masih bergeliat di Labuan Bajo, tetapi juga sebenarnya menyulut api ke dalam bensin. Ucapan itu hanya mengerucutkan bibit-bibit konflik perebutan sumber daya di dalam kawasan. Yang sudah kelihatan adalah bahwa penutupan Pulau Komodo tidak hanya mengganggu kepentingan para pelaku wisata, tetapi juga mengancam mata pencarian penduduk Komodo yang tidak lain adalah elemen penting dari konservasi.

Karena itu, kita mengharapkan Lasikodat tidak hanya menunjukkan kelasnya sebagai pegoyang dandut yang mahir dan berkualitas tetapi juga menjadi pengambil kebijakan publik yang elegan dan berbasis pada pertimbangan yang matang.

Sebelumnya, tulisan ini pernah dimuat di Floresa.co. Kembali dipublikasikan di sini untuk kepentingan edukasi. 

Publikasi Lainnya