Sekuritisasi Problem Human Trafficking di NTT

*) Venan Haryanto

Satu lagi predikat baru atas NTT yaitu sebagai provinsi darurat human trafficking, menyusul meningkatnya frekuensi human trafficking dalam beberapa tahun belakangan ini. Alih-alih  merangkak keluar dari predikat provinsi termiskin dan terkorup, NTT malah ketiban masalah baru sebagai provinsi darurat human trafficking. Merespon situasi ini, pertanyaan penting yang muncul adalah strategi apa saja yang telah ditempuh para stakeholder dalam meretas fenomena ini? Lebih jauh, logic apa yang berada di balik strategi tersebut. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mengulas sekuritisasi (pendekatan keamanan) sebagai strategi utama yang ditempuh para stakeholder dalam meretas problem human trafficking di NTT, lantas cara berpikir macam apa yang ditimbulkan sebagai efek dari dominanya menggunakan tersebut.

Konteks Global Sekuritisasi Human Trafficking

Masifnya sindikat kejahatan human trafficking belakangan ini mendorong beberapa negara untuk menetapkanya sebagai isu keamanan global yaitu sebagai bentuk kejahatan internasional yang tentunya memberi ancaman serius baik bagi keamanan nasional maupun transnasional.

Sejak tahun 1990an, sejumlah negara seperti USA, Uni Eropa dan United Nations mulai berpikir serius terkait agenda menangkal kejahatan human trafficking. Pada tahun 1998, misalnya pemerintah USA melalui Presiden Klinton membangun inter-agency working untuk merancang agenda anti-human trafficking. Sebagai lanjutan dari agenda ini, pada tahun 2002, presiden Bus mengeluarkan perintah presiden kepada negara-negara bagian di USA untuk semakin meningkatkan kapasitas dalam menangkal human trafficking.

Masih dalam agenda yang sama, pada tahun 2001, menjadikan human trafficking sebagai agenda utama dalam merespon arus migrasi yang masuk ke daratan Eropa. Niat negara-negara Uni Eropa ini akhirnya dikukuhkan dalam deklarasi Brussel yang berlangsung pada Juli 2002.

Sementara itu usaha negara Inggris untuk menangkal human trafficking sepenuhnya terealisasi melalui ornganisasi-organisasi internasional seperti International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration (IOM) dan UN Office on Drugs and Crime (UNODOC). Keberhasilan penting dari Inggris dalam agenda sekuritisasi human trafficking global adalah mengadopsi protokol Palermo pada tahun 2000 yang kemudian menjadi basis penting agenda sekuritisasi human trafficking pada level global.

Untuk konteks nasional Indonesia pada awal 2000-an dengan dukungan pemerintah luar negeri dan bekerja sama dengan NGO-NGO internasional, peran NGO nasional seperti Migrant Care, Kopbumi, LBH-Apik, Fahmina dan Koalisi Perlindungan Anak menjadi begitu penting tidak saja dalam upaya mendorong kesadaran publik dan pemerintah terkait bahaya human trafficking tetapi juga menggalang dukungan publik untuk menekan penanganan human trafficking. Belakangan ini organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhamadiah pun terlibat dalam upaya sekuritisasi human trafficking.

Lacakan terhadap literatur-literatur yang menyinggung sekuritisasi terhadap human trafficking setidaknya mencatat tiga wacana penting berikut ini.

Pertama, agenda sekuritisasi dijalankan dengan mengupayakan perlindungan (proteksi) terhadap korban. Argumentasi yang dibangun adalah human trafficking merupakan ancaman serius bagi Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, problem human trafficking diklaim sebagai pelanggaran atas martabat dan hak-hak dasar sebagai manusia. Pemerintah USA misalnya mengklaim human trafficking sebagai kejahatan internasional yang keji karena bertindak sewenang-wenang atas HAM. Dengan demikian, alih-alih menyibukkan diri dengan sejumlah label sosial atas diri korban seperti pekerja ilegal, pelaku seks/prostitusi, pekerja luar negeri, pelaku penyimpangan sosial, proteksi sebagai agenda sekuritisasi mengedepankan hak korban sebagai manusia.

Kedua, sebagai efek dari cari berpikir pertama, sekuritisasi atas human trafficking pun diupayakan dengan cara menjatuhkan hukuman (prosekusi) atau pemidanaan atas pelaku tindakan. Negara-negara Uni Eropa misalnya sepakat untuk mengkriminalisasi tindakan tersebut dan berfokus pada penegakan hukum sebagai jalan memberantas human trafficking. Dalam konteks regional, negara-negara ASEAN menempatkan human trafficking sebagai salah satu kejahatan internasional yang pengentasannya membutuhkan kerja sama lintas negara. Prosekusi sebagai agenda sekuritisasi pun pada akhirnya mendorong penegakan hukum (law enforcement) atas orang-orang yang diduga terlibat dalam sindikat perdangan orang.

Konteks NTT

Dalam konteks NTT, sekuritisasi atas problem human trafficking menjadi agenda besar yang menjadi konsen bukan saja dari lembaga-lembaga negara tetapi juga elemen-elemen civil society.

Terkait keterlibatan aktor-aktor negara dan elemen civil society, pemberitaan media dalam beberapa tahun terkahir memperlihatkan intensnya keterlibatan aktor negara dan elemen civil society dalam upaya sekuritisasi problem human trafficking. Kepolisian dan jaksa berada pada garda terdepan dalam mengagendakan penegakan hukum guna memberantas human trafficking. Sejauh ini kepolisian NTT telah berhasil menangkap pelaku perdagangan manusia baik perorangan maupun jaringan. Upaya dari pihak kepolisian tidak saja mencakup pemidanaan terhadap pihak yang terlibat dalam jaringan human trafficking tetapi juga menggagalkan keberangkatan TKI ilegal ke luar negeri.

Sementara itu, upaya sekuritisasi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain seperti dinas tenaga kerja Provinsi dan Kabupaten umumnya menggarap human trafficking dalam kaitannya dengan persoalan migran worker. Dinas tenaga kerja misalnya mengupayakan pendataan terhadap para TKI yang berada di luar negeri untuk meminimalisir peluang human trafficking. Sebab sebagian besar para korban human trafficking merupakan para TKI yang tidak berdokumen (undocumented worker). 

Sejauh ini elemen civil society yang sangat konsen dengan kasus ini antara lain VIVAT Indonesia, Migrant Care, PADMA Indonesia, AMPERA NTT, Institute Perempuan, POKJA MPM, PP PMKRI, FORMMADA NTT, JPIC FSGM, JPIC FMM, JPIC OFM, dan JPIC SVD Kalimantan. Selain itu, DD Law Firm, BNJ Law Office, KOMMAS Ngada Jakarta, PUSAM Indonesia, Ocean Watch Indonesia (OWI), LBH Jakarta, JALA PRT, dan Jaringan Buruh Migran (JBM).

Secara ringkas agenda sekuritisasi dari aktor-institusi negara dan elemen civil society di NTT dijalankan sebagai berikut. (1) Tindakan hukum terhadap pelaku tidak saja menjadi agenda utama aktor negara seperti kepolisian dan jaksa tetapi menjadi menjadi angenda utama dari elemen civil society  (2) Perlindungan terhadap korban umumnya menjadi agenda sekuritisasi dari aktor-aktor elemen civil society.

Mendudukan Perkara

Mari kita tinggalkan perdebatan panjang lebar di atas, sembari menempatkan human trafficking dalam kerangka pembangunan dan demokrasi sebagai dua matra yang tidak dapat dipisahkan ketika berbicara mengenai kesejahteraan warga negara.

Dalam perdebatan teoritik, dominasi pendekatan keamanan dalam masalah human trafficking memperlihatkan kuatnya pengaruh paham liberal rights, yang sekarang menjadi propaganda global di mana-mana. Frame ini membuat advoksi terhadap problem tenaga kerja sebatas pada mendorong upaya pemenuhan hak mereka sebagai pekerja. Karena itu law enforcement (penegakan hukum) menjadi obat mujarab mengentas persoalan tenaga kerja. Persis dalam kerangka berpikir macam ini, dibayangkan ada institusi yang namanya negara, yang sudah utuh, yang tinggal menjalankan fungsi amanah hukum tenaga kerja, sambil pada saat yang sama membayangkan ada subjek yang disebut buruh, tenaga kerja yang keberadaanya terpisah dari negara. Ujung-ujungnya,  tenaga kerja direduksi semata sebagai sebagai subjek ekonomi.

Berbeda dengan pandangan liberal ini, advokasi yang lagi gencar belakangan ini berusaha menempatkan tenaga kerja sebagai subjek politik. Dengan demikian, tenaga kerja dipakai merupakan isu yang sangat seksi dalam rangka memperkuat simpul demokratisasi. Karena itu pemberantasan terhadap human trafficking perlu dilakukan untuk tidak sekadar mengulang kembali cara frame liberal memandang persoalan tenaga kerja, yaitu dengan menarasikan secara tragis eksploitasi yang dialami oleh tenaga kerja, di mana human trafficking menjadi salah satu satu manifestasinya yang paling bringas. Kita perlu bergeser, dengan jalan menempatkan mereka sebagai subjek politik tepatnya sebagai warga negara aktif (active citizenship) yang mempunyai hak-hak yang terbentuk dalam proses politik, bukan hak yang final/sudah utuh-selesai, sebagai mana yang dipahami dalam liberal rights.

Dengan berpikir seperti itu, maka dua hal berikut perlu ditempuh. Pertama, isu tenaga kerja harus menjadi menu harian santapan para anggota dewan dan juga partai politik. Tantangan untuk parlemen dan partai politik, bisakah tenaga kerja di NTT terbentuk sebagai asosiasi kepentingan. Ambil misal, apakah para petani sebagai tenaga kerja sudah membentuk wadah, katakanlah seperti asosiasi petani, sebagai wadah perjuangan politik mereka selama ini. Presiden Trump, segera setelah ia menduduki White House, masyarakat Amerika berbondong-bondong datang menagih janji petani. Respon Trump kala itu adalah, mewajibkan petani dan pekerja tambang untuk segera membentuk asosiasi sebagai wadah perjuangan mereka. Kedua, tenaga kerja sendiri perlu membentuk diri sebagai subjek politik dengan jalan menginisiasi terbentuknya asosiasi pekerja. Di tengah gegap gempita menjadikan NTT sebagai provinsi pariwisata menyusul keberhasilan Komodo menembus seven wonders, tenga kerja seperti petani, penenun, pekerja di toko, restoran, hotel sekiranya perlu membentuk asosiasi, agar tidak terkesan menjadi penonton, lantas rentan terjebak dalam perangkap human trafficking.

*) Peneliti pada Sunspirit For Justice and Peace

Publikasi Lainnya