Mengejar Untung dalam Rencana Badan Otorita Pariwisata

SunspiritForJusticeandPeace.org – Pembentukan BOP tidak membawa misi yang baru. BOP adalah upaya pengembangan pariwisata. Hanya saja, BOP menjadi menarik karena target-targetnya menjadi jauh lebih konkret dan terukur. Misalnya saja, jumlah kunjungan ditargetkan lima kali lipat dalam rentang waktu 2015-2019. Dari jumlah kunjungan pada tahun 2015 sebesar 90 ribu kunjungan, diharapkan meningkat menjadi 500 ribu kunjungan pada tahun 2019.

Persoalannya, tidak berhenti pada bagaimana usaha pemerintah mencapai angka dan target sefantastis itu. Lebih jauh, yang perlu digali adalah bagaimana Jokowi mendefinisikan kemiskinan ini dalam pembentukan BOP. Pada bagian berikut, kita akan menelusuri alasan-alasan tersebut dan bagaimana keterputusannya dengan masalah kemiskinan di NTT.

Alasan-Alasan di Balik Pembentukan BOP

Keberadaan BOP tidak terlepas dari dua pertimbangan utama. Pertama, keberadaan BOP adalah mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan pembangunan. Jokowi-Kalla sangat percaya, perkembangan ekonomi dapat menuntaskan persoalan-persoalan tersebut. Dalam konteks provinsi Nusa Tenggara Timur, upaya itu seolah sangat relevan. NTT termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Masalah busung lapar, TKI, krisis air bersih, adalah potret miris yang selalu identik dengan NTT.

Dalam logika demikian, yang diperlukan adalah bertambahnya pembangunan. Karena itu, Presiden Jokowi merasa perlu terjadi peningkatan pembangunan di NTT. Di antaranya, pembangunan infrastruktur akan dilakukan dalam jumlah besar.  Melalui pembangunan infrastruktur akan dibuka isolasi dan daerah dapat berkembang lebih cepat.

Dengan demikian, di satu pihak pembentukan BOP dilihat sebagai bagian dari mengatasi masalah kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan. Karena itu, presiden Jokowi mengharapkan tumbuhnya kelompok usaha menengah dan memiliki dampak bagi mengeliatnya sektor UMKM di NTT.

Kedua, pembentukan BOP adalah bagian dari mengeksploitasi kekayaan sumber daya di NTT. Presiden Joko Widodo menilai, Provinsi Nusa Tenggara Timur kaya akan potensi pariwisata, akan tetapi belum dikelola maksimal.[1]Upaya yang dilakukan antara lain adalah mendatangkan investor sebanyak mungkin melalui pembentukan BOP. Pertumbuhan investasi diklaim mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan hidup masyarakat. Targetnya adalah investasi senilai 8 trilliun dari sektor privat.

Karena itu, melalui BOP, Jokowi membangun tiga strategi utama demi meningkatkan investasi yakni pembangunan infrastruktur, deregulasi, dan debirokrasi. Tiga upaya tersebut tidak lain adalah untuk menunjang upaya memperbaiki destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran pariwisata, dan membentuk kelembagaan pariwisata. Untuk itu, prasyaraat penting yang perlu dilakukan adalah menunjang aksesibilitas (infrastruktur), amenitas (hotel, restoran, dll), dan atraksi.

Infrastruktur

Percepatan pembangunan infrastruktur adalah penunjang investasi. Percepatan pembangunan infrastruktur meliputi pembangunan bandar udara, pelabuhan, jalan, listrik dan penyediaan air minum bersih. Menariknya, fokus utama pengembangan infrastruktur tersebut adalah pengembangan industri pariwisata.

Yang paling besar adalah proyek bandar udara. Bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan, direncanakan penambahan kapasitas bandar udara di Labuan Bajo, Maumere, Aeroboeman, dan Frans Sales Lega. Untuk Bandar udara  Komodo, Labuan Bajo, landasan pacunya akan diperpanjang dari 2400 menjadi 2800 dan jam penerbangan diperpanjang hingga pukul 20.00 malam.Jumlah maskapai penerbangan dan jalur penerbangan akan ditambah antara lain jalur penerbangan langsung Jakarta-Labuan Bajo, Singapura-Labuan Bajo. Anggaran demi pembangunan bandar udara mencapai 65,1 M.

Lalu lintas laut dianggap tak kalah pentingnya dalam mendukung pariwisata di Labuan Bajo. Karena itu, masing-masing akan dibangun pelabuhan umum dan pelabuhan cargo. Jika sebelumnya keduanya digabungkan, kini akan dipisahkan. Pelabuhan  Cargo akan dibangun di Bari. Keduanya akan memakan biaya sekitar 20 M. Pembangunan pelabuhan juga meliputi upaya pemisahan antara pelabuhan untuk kapal kecil dan kapal besar/ cruise. Selain itu, dibangunkanMarina baik menggunakan program Pelindo III atau menggunakan lahan lain yang lebih luas dan pembangunan kawasan Tourist hub di Golo Mori.

Tidak hanya itu. Fasilitas penunjang kegiatan wisata laut dan penerbangan seperti air dan listrik juga akandibangunkan.  Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, Penyambungan SUTT dari Ulumbu ke Labuan Bajo sekaligus peningkatan kapasitasnya. Potensi Ulumbu dapat  dikembangkan menjadi 50 MW. Sementara penyediaan air minum terutama ke arah pelabuhan demi kebutuhan kapal wisata dan yacht.[2] Dukungan penyediaan air berada di daerah sekitar 6 km dari pusat kabupaten Manggarai Barat dengan nilai proyek sebesar 6,2 M.

Tak ketinggalan pembangunan jalan. Pembukaan dua jalan trans-flores yakni lintas utara dan lintas selatan merupakan bagian dari mendukung sektor pariwisata. Kedua jalan tersebut menjadi jalan strategis nasional. Di kedua lintasan tersebut, sudah banyak investor yang telah membeli dan menguasai tanah. Pembangunan jalan akan mempercepat investasi. Target pada tahun 2017, di antaranya,  Labuan Bajo -Kedindi sepanjang 50 km. Pembangunan jalan baru memakan anggaran sebesar  251,7 M.

Debirokrasi

Melalui pembentukan BOP, pemerintahan Jokowi-Kalla mempercepat investasi dengan memudahkan proses perijinan dan mengatasi kerumitan birokrasi. BOP mengembangkan model managemen terpadu atau “single destination, single managemen”. Apalagi, upaya tersebut tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, tetapi lintas kementerian.

Menurut Menteri Pariwisata, Arief Yahya, managemen terpadu akan mendorong pertumbuhan investasi dan mengatasi kerumitan birokrasi. “Dengan badan ini, seharusnya semua hal itu bisa dibereskan secepat mungkin. Asalkan badan ini komit untuk tetap fokus destinasi dan memprioritaskan infrastruktur,” papar Arif. Menurutnya, adanya BOP mempersingkat urusan proyek infrastruktur yang seharusnya dilaksanakan dalam 20 tahun, tetapi akhirnya harus bisa diselesaikan dalam 5 tahun.[3]

Kelembagaan BOP dalam urusan investasi menjadi super power.  BOP mempunyai hak dalam menentukan ijin investasi. Atas nama investasi pula, BOP dapat mengubah zonasi dalam kawasan TNK, mengambialih aset pemerintah daerah, dan menentukan lokasi strategis bagi pembangunan pariwisata. Untuk persoalan-persoalan pembebasan lahan, BOP dilengkapi kekuasaan untuk menuntaskan persoalan ganti rugi dan lain sebagainya.

Deregulasi

Perkembangan sektor pariwisata didukung pula dengan kelonggaran aturan-aturan dalam lalu lintas wisatawan.  Prinsipnya, sebagaimana diungkapkan Menteri Arief Yahya adalah bahwa bertambahnya jumlah turis, bertambah pula kesempatan atau peluang perkembangan ekonomi. “billion tourist,billion opportunities”.

Karena itu, pemerintah menambahkan jumlah negara yang mendapat visa bebas kunjungan melalui Peraturan Presiden (Pepres) nomor 104 tahun 2015. Karena itu perkembangannya sangat drastis, dari 15 negara menjadi 90 negara dan kini sudah resmi 169 negara.

Tidak hanya itu. Tidak hanya itu pemerintah juga menerbitkan Perpres nomor 105 tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing ke Indonesia yang isinya mempermudah izin kapal wisata asing yang akan masuk ke Indonesia, antara lain lewat penghapusan izin masuk ke Indonesia atau clearance approval for Indonesian Territory (CAIT). Dengan pelonggaran aturan ini, pemerintah menargetkan jumlah kunjungan kapal wisata asing pada tahun 2016 ini bisa mencapai 3.000 kapal dan tahun 2019 bisa mencapai 5.000 kapal. Jumlah 3.000 kapal setara dengan Rp. 3 triliun dengan asumsi Rp. 1 milyar per yacht.

Masalah Ekonomi, Bukan Politik

      BOP memusatkan perhatian pada perkembangan ekonomi, bukan pada masalah pada masalah-masalah politik. Demi pertumbuhan ekonomi, BOP tidak mengubah stuktur ekonomi-politik sebagai penyebab kesenjangan sosial selama ini, tetapi justru mengintensifkannya melalui peningkatan investasi dan proyek pembanguan infrastruktur. Karena itu tidak jelas dengan sendirinya, bagaimana BOP berkontribusi terhadap masalah kesenjangan sosial, masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan masalah-masalah korupsi anggaran publik selama ini.

Logika BOP sangat ekonomistik. Seolah persoalan kesenjangan ekonomi hilang dengan sendirinya melalui dorongan pertumbuhan ekonomi. Lebih parahnya lagi, kemiskinan masih dimengerti sebagai bentuk kurangnya pembangunan. Padahal, persoalan mendasar adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik, masyarakat kehilangan kekuasaan dalam melindungi sumber daya dari ekspansi pasar, dan regulasi dan upaya pembangunan lebih berpihak kepada investasi. Dengan kata lain, proses pembangunan turut memiskinkan masyarakat di daerah pariwisata. Lantas BOP nyaris tidak mengubah struktur tersebut, sebaliknya menambah dan menyuburkan upaya fasilitasi terhadap perkembangan kapital.

Lalu, apa akibatnya? Dengan jumlah pengunjung mencapai 90 ribu wisatawan saja pada 2015, kita menyaksikan pencaplokan secara masif di sekitar kota Labuan Bajo. Tidak menutup kemungkinan, target-target fantastis melalui BOP apalagi dilengkapi deregulasi dan debirokrasi menambah marak persoalan pencaplokan, privatisasi, dan sertifkat ganda. Padahal sejauh ini, konflik penguasaan atas tanah tidak mampu diselesaikan. Persoalan-persoalan korupsi anggaran publik lamban dituntaskan kalau tidak menyebutnya tak tersentuh. Sementara itu, fokus utama pembangunan infrastruktur mengutamakan penunjang investasi pariwisata. Hal itu menyebabkan sektor pertanian makin tersingkir. Oleh karena itu, janji besar BOP sulit dipercaya dapat mendorong dan menipis kesenjangan penguasaan kapital di Manggarai Barat pada khususnya.

Keberpihakkan kepada Agen-Agen Pariwisata

Perkembangan Industri pariwisata mengatur hubungan produksi dan konsumsi. Produksi adalah upaya menyiapkan destinasi pariwisata agar sedapat mungkin menarik wisatawan. Hal itu antara lain melibatkan pemilik hotel, restoran, tour guide, operator dive, travel agent, NGO, dan lain sebagainya. Sementara konsumen tak lain  adalah turis yang diasumsikan berpikiran bebas dan rasional. Para agen-agen produksi ini sedapat mungkin mampu membangun image pariwisata yang menarik. Sementara itu, masyarakat secara umum diasumsikan mendapat manfaat dari “tricke down effect” (tetesan ke bawah). Semisal, usaha pertanian dan peternakan yang mampu mendukung pariwisata.

Apa akibatnya? Target perkembangan industri pariwisata hanya mengutamakan bertambahnya jumlah agen-agen pariwisata tersebut. Jika pra-eksistensi BOP, jumlah hotel, resort dan restoran sudah tercatat lebih dari 40-an dan dive center sudah lebih dari 30, maka BOP mendorong jumlahnya makin jauh lebih banyak.[4]Jumlah hotel, restoran, resort, dive centre, travel agen, usaha souvenir, dan lain sebagainya sudah pasti akan bertambah banyak.

Akan tetapi, karena target investasi sedemikian besar apalagi mesti terjadi dalam waktu singkat, investasi paling memungkinan berpihak kepada pemodal-pemodal besar. Ditargetkan jumlah investasi mencapai 8 trilliun dari sektor swasta. Di Kabupaten Manggarai Barat sendiri, keterlibatan investasi besar sudah mulai menggeliat. Sebut saja beberapa di antaranya, pemilik LIPPO Group, James Riyadi. Bisnis keluarga Riady ini bernaung di bawah Lippo Group yang dirintis Mochtar Riady, salah satu dari 10 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes pada tahun 2014.

Lantas bagaimana dengan keterlibatan lebih dari 200 ribu penduduk Manggarai Barat bisa menangkap peluang ini dan bagimana sumber daya manusianya dipersiapkan?Untuk masyarakat pesisir, sebagian besar sudah terlibat dalam industri pariwisata. Dari menjadi nelayan, mereka memilih menjadi juru masak, pemilik kapal wisata, dan kapten dari kapal-kapal wisata. Namun keterlibatan itu merupakan hasil dari tekanan industri pariwisata.

Di Pantai Pede, misalnya, tersisa sekitar 30-an keluarga nelayan. Bagi mereka, pekerjaan nelayan tidak berprospek lagi. Jika dulu-dulunya mereka dengan mudah menangkap ikan hanya dengan mengandalkan perahu layar dan berlangsung di sekitar kota Labuan Bajo saja, kini hal itu tidak mungkin lagi. Lalu lintas kapal wisata yang makin ramai menjauhkan ikan.  Karena itu nelayan membutuhkan perahu motor dan menangkap ikan sampai mendekati kawasan TNK. Secara ekonomi, kondisi demikian seringkali merugikan karena ongkos bahan bakar, sementara penangkapan di area TNK ditandai oleh berbagai larangan. Lalu keterlibatan dalam industri pariwisata adalah salah satunya cara untuk survive dan ditandai berbagai persaingan.

Sementara sektor pertanian masih belum jelas bagaimana terlibat dalam industri pariwista. Janji trickle down effect seolah-olah berjalan dengan sendirinya ketika perkembangan investasi mulai menggeliat. Dalam kenyataannya, akses menuju pasar atau pusat ekonomi sangatlah sulit bagi sebagian besar penduduk Mabar yang bergantung pada hasil pertanian dan tinggal di wilayah-wilayah pedesaan. Tidak heran, pasokan sayur dan buah lebih mudah didatangkan dari Bima, Ruteng dan Bejawa.

Hilangnya Kedaulatan Negara dan Menguatnya Pemburu Rente Baru

Dari porsi investasi BOP, hampir setengahnya dari sektor privat yakni senilai 8 trilliun. Hal itu menunjukkan posisi tawar negara sudah melemah bahkan sudah terkooptasi oleh kepentingan kapitalis. Kecurigaan demikian semakin beralasan ketika separuh lain yang berasal dari anggaran APBN itu, dimanfaatkan untuk membangun sarana pendukung infrastruktur pariwisata. Di antaranya pelabuhan marina, bandar udara, jalan lintas utaran dan selatan flores, proyek air bersih, dan peningkatan listrik dengan nilai ratusan milliar. Sementara sebagian besar masyarakat agraris di Mabar masih bergantung pada sekitar 100 miliar dari sekitar 500-700 miliar total APBD tiap tahun untuk membuka akses ke wilayah pertanian.

Lebih memiskinan lagi, ketika pemerintah daerah berpotensi menjadi BOP sebagai lahan mengakumulasi kapital. Menurut Maribeth Erb dalam artikelnya berjudul “Sailing to Komodo: Contradictions of tourism and Development in Eastern Indonesia”, di tengah keterbatasan APBD, pemerintah daerah di NTT seringkali menjadikan proyek-proyek dari pusat sebagai lahan memburu rente melalui korupsi penyerapan anggaran dan jual pengaruh politik. Karena itu, proyek-proyek dari pusat sangat diharapkan dan difasilitasi dengan baik.

Menurut, Emilianus Yosep Sese Tolo, hal itu ditengarai oleh kenyataan bahwa sebagian besar elite politik dan birokrasi di daerah Flores pada umumnya berasal dari golongan atas dan memiliki kekuasaan agraria di masa lalu dan karena diberikan pendidikan yang layak oleh Gereja Katolik sehingga mampu menempati posisi elit dalam birokrasi dan politik. Di tengah pengaruh kapital yang mengambialih kekuasaan agraria, elit birokrasi dan politik tersebut menjadikan anggaran publik sebagai cara melanggengkan kekuasaan (Tolo: 2016).

Karena itu, upaya pembangunan tak lebih dari reproduksi kemiskinan ketika di satu pihak hal itu mendorong investasi kapital dan di pihak lain hal itu justru melanggengkan kekuasaan elit politik dan birokrasi. Masyarakat hanya mendapat sisa setelah dikuras habis kapitalisme global dan pemburu rente dalam pemerintahan lokal. (greg)

[1]http://nasional.kompas.com/read/2017/02/16/17205581/labuan.bajo.dan.danau.kelimutu.di.mata.jokowi.

[2]Dukungan pembangunan infrastruktur: dukungan penyediaan air di 6 km dari pusat kabupaten Manggarai Barat sebesar 6,2 M. Pembangunan jalan baru 64 km di kabaputan manggrai Barat, sebesar  251,7 M. Pembangunana fasilitas Bandar Udara Labuan Bajo sebesar (65,1 M) dan pembagnuann fasilitas pelabuahan Lbauan bjo dan Bari sebesar 20 M

[3]http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/38627/badan-otorita-percepat-pembangunan-pariwisata/2016-04-06#sthash.Y7vCrLkZ.dpuf

[4]Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), total realisasi investasi di Manggarai Barat mencapai 1,6 trilliun, dengan rincian penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 917,37 milliar dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 652,78 milliar mencapai  pada januari-september 2016.

 

Publikasi Lainnya