Sunspirit.org—Kabupaten Manggarai Barat dikenal karena menjadi daerah pariwisata dan penghasil pangan terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Untuk sektor pariwisata, berkembang bersamaan dengan penetapan Taman Nasional Komodo yang menjadi habitat dari satwa langka, Komodo. Sementara lahan sawah terbesar terdapat di daerah kecamatan Lembor dimulai sejak revolusi hijau tahun 1980.
Sayangnya, potensi pariwisata dan pertanian boleh luar biasa namun masyarakat masih berkutat dalam kubangan kemiskinan. Jangankan di daerah-daerah terpencil, di Labuan Bajo, Ibu kota kabupaten saja, akses publik terhadap fasilitas mendasar masih sangat minim seperti rumah sakit, air, listrik dan jalan raya. Padahal tiap tahun pemerintah mengucurkan dana besar demi mendorong pembangunan pariwisata.
Kenyataan ironis demikian menjadi bahan diskusi dalam pertemuan lembaga penelitian agraria yakni Agrarian Research Center (ARC) di Bandung pada 8 Februari 2017 dan Lembaga advokasi persoalan agraria yakni Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di Jakarta pada 10 Februari, 2017. Yang menjadi pembicara adalah Gregorius Afioma, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace.
Dalam kesempatan tersebut, Afi—begitu biasa ia disapa—memetakan beberapa persoalan pokok ke dalam tiga bagian utama. Pertama, pengaruh kebijakan konservasi dan pariwisata terhadap kehidupan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Kedua, pertumbuhan industri pariwisata di zona penyanggah TNK dan pencaplokan sumber daya publik. Ketiga, ketimpangan pembangunan sektor pariwisata dan sektor pariwisata.
Konservasi dan Narasi Penduduk
Meskipun berkembang sejak tahun 1980, ia menegaskan, perkembangan konservasi dan pariwisata belum memberikan dampak positif yang cukup signifikan bagi masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai 4900 orang, tiga kampung di dalam kawasan TNK yakni penduduk kampung Rinca, Kampung Komodo, dan Kampung Papagarang masih mengeluhkan persoalan dasar seperti keterbatasan akses terhadap air, listrik, kesulitan sumber mata pencarian, dan akses terhadap pendidikan.
Padahal, potensi sumber daya laut di dalam kawasan sudah sangat memukau. Tahun 2015, TNK terpilih sebagai salah satu spot diving terbaik dunia, berdasarkan survei CNN.
“Potensi sedemikian kaya justru lebih banyak dinikmati oleh bisnis pariwisata seperti diving dan snorkeling, sementara masyarakat lokal masih berkutat dengan persoalan-persoalan mendasar” terangnya.
Ia mencontohkan bagaimana kesulitan yang dialami masyarakat di pulau Komodo. Sebelum adanya TNK, mereka bermata pencarian berburu dan meramu. Setelahnya, mereka hanya menjadi nelayan karena larangan berburu dan mengambil hasil hutan dilarang. Lalu, dikarenakan sistem “konservasi”(dibaca: zonasi) di laut, mereka akhirnya hanya menggeluti usaha souvenir dan pembuatan patung di Loh Liang.
“Meskipun hasil laut banyak, hanya sedikit keluarga nelayan di Pulau Komodo. Untuk makan ikan, mereka juga harus beli” terangnya. Mirisnya, beramai-ramai jadi penjual patung dan souvenir tak hanya menimbulkan persaingan, tetapi juga semakin kritis karena jumlah pengunjung tidak selalu stabil. Untuk ke depannya, pekerjaan itu tidak lagi berprospek.
Sementara itu, di pulau Rinca, krisis air cukup memprihatinkan. Untuk kebutuhan air minum, mereka harus menimba dari salah satu sumber yang sejauh 500 meter dari kampung. Tidak sekadar mengantre, mereka juga terpaksa tidur dan makan di sumber air tersebut.
“Untuk air minum, terutama kaum perempuan harus mengantre, bahkan semalaman di sumber mata air. Karena banyaknya srigen yang harus diisi, sementara debit air yang keluar sangat sedikit” jelasnya.
Kasus Kampung Paparang yang terbilang unik. Bukan termasuk habitat satwa langka Komodo, kampung Papagarang ikut dikategorikan dalam kawasan TNK. Akibat penetapan itu, ada begitu banyak keterbatasan yang mereka alami. Tidak saja dibatasi dalam akses terhadap fasilitas publik, mereka juga tidak memperoleh status kepemilikan atas tanah. Sementara untuk kebutuhan air, mereka membeli dari pulau lain.
Menurutnya, terjadi ketimpangan serius dalam pembangunan sektor pariwisata dan pengembangan konservasi di TNK. Ruang untuk konservasi dan pariwisata semakin besar, sementara ruang bagi sumber penghidupan warga semakin dibatasi dan dipersempit.
“Ketimpangan tersebut terlihat dalam distribusi manfaat. Sementara perusahaan diving dan snorkeling bisa meraup untung besar-besaran, nelayan tidak hanya meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan, tetapi juga makin kesulitan mengakses kebutuhan dasar” ucapnya.
Di Kawasan Penyanggah TNK
Persoalan di kawasan penyanggah tak kalah mencemaskan. Kawasan penyanggah meliputi kota Labuan Bajo, wilayah manggarai Barat secara keseluruhan dan pulau-pulau sekitarnya dimana industri pariwisata sedang berkembang secara masif.
Menurutnya, seiring dengan berkembangnya industri pariwisata, terjadi privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik secara gamblang seperti pesisir, pulau-pulau, tanah, laut dan air. Bertambahnya jumlah turis, hotel, dan restoran justru menyulut persoalan tanah dan akses publik terhadap wilayah pantai, pulau-pulau, dan pesisir.
“Tanah semakin mahal. Per meter persegi, minimal 400 ribu sampai jutaan rupiah” terangnya.
Karena itu, tak heran, katanya, jual-beli tanah berlangsung marak. Tanah menjadi komoditi dalam industri pariwisata. Akan tetapi, silang sengkarut kepemilikan tanah juga sudah menjadi persoalan serius.
“Baru-baru ini terjadi pembunuhan di Menjerite lantaran merebut hak kepemilikan atas tanah antara investor dan masyarakat”.
Sementara itu, praktik privatisasi pantai disertai penguasaan wilayah pantai. Hotel-hotel yang dibangun di sepanjang wilayah pesisir justru mengklaim kepemilikan terhadap wilayah pantai sehingga tidak bebas akses bagi publik.
“Sebenarnya pantai Pede, satu-satunya pantai bebas terbuka. Namun, justru pantai tersebut sudah diprivatisasai oleh PT. Sarana Investama Manggabar,milik Setya Novanto” katanya.
Tak hanya itu. Praktik penguasaan pulau-pulau juga sudah marak terjadi. Meskipun berdalih kontrak, pengalihan kepemilikan dan penjualan pulau-pulau sudah marak dipublikasikan di laman online. Di antaranya penjualan pulau Punggu pada tahun 2015 melalui www.skyproperty.org.
“Sekarang ini ada beberapa pulau yang diprivatisasi antara lain pulau Kanawa, pulau Sebayur dan pulau Bidadari. Statusnya kontrak, namun praktiknya seperti ambil alih kepemilikan.“
Yang menjadi persoalan, akses dan manfaat dari pariwisata itu belum dirasakan masyarakat setempat. Bisnis pariwisata kelihatan melejit sementara masyarakat masih kesulitan mengakses air, jalan raya, listrik, dan kehilangan sumber penghidupan sebagai nelayan.
“Apalagi akuntabilitas dari proses perijinan tersebut sarat kepentingan dan kongkalingkong antara penguasa dan pebisnis” jelasnya.
Pada tahun 2015, jumlah hotel dan restoran tercatat mencapai 40-an. Jumlah pengunjung sudah mencapai 90 ribu wisatawan. Sementara jumlah uang yang beredar mencapai 3 trilliun.
Pertanian dan Pariwisata
Di tengah berbagai persoalan tersebut, pemerintah justru terus berupaya mengembangkan sektor pariwisata. Dalam pemerintahan Jokowi-Kalla, Labuan Bajo terpilih sebagai salah satu destinasi wisata prioritas dan pemerintah berambisi meningkatkan jumlah kunjungan dan investasi.
Tahun 2019, pemerintah Indonesia menargetkan jumlah kunjungan mencapai 500 ribu wisatawan. Sementara jumlah investasi, ditargetkan mencapai 16 trilliun. Karena itu pemerintah berencana membentuk Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo.
“Ini target yang sangat fanstatis dan meresahkan tentunya” katanya.
Menurutnya, sebagai leading sector, pariwisata tidak lagi menjadi pintu bagi pengembangan sektor-sektor lain, seperti pertanian. Sebaliknya, pariwisata menjadi target utama pengembangan. Yang dibangun, justru infrastruktur pendukung pariwisata, seperti bandar udara, pelabuhan marina, listrik, dan jalan raya.
“Jalan raya saja, ketimbang ke daerah pertanian, justru dibangun untuk menghubungkan daerah pariwiata, yakni di trans utara Flores dan trans selatan. Di sana, tanah-tanahnya sudah dibeli investor”.
Pengembangan pariwisata yang begitu masif tentu saja ironis di kabupaten Manggarai Barat. Dalam kenyataannya, pendapatan asli daerah lebih dari separuh masih bergantung pada sektor pertanian. Sektor pariwisata hanya menyumbang sekitar belasan persen saja.