Oleh: GREGORIUS AFIOMA
Atas nama pembangunan industri pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur, presiden Joko “Jokowi” Widodo berencana membentuk Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo pada tahun 2016 ini. BOP adalah lembaga non-kementerian yang berada langsung di bawah presiden dan berlandaskan pada Keputusan Presiden (Kepres). Adapun upaya-upaya yang ditempuh melalui BOP dalam mengembangkan pariwisata adalah pembangunan destinasi pariwisata, perbaikan akses infrastruktur dasar (air, listrik, jalan, bandara, dan pelabuhan) dan penyediaan hotel dalam kerja sama dengan pihak swasta.
Didesain untuk menciptakan suasana kompetisi dan menggenjot pertumbuhan industri pariwisata, kelembagaan BOP diharapkan banyak bermitra dengan pihak swasta. Dalam pelaksanaan, misalnya, tidak hanya melibatkan pemerintah daerah dan pusat, tetapi juga para ahli muda dan pelaku pariwisata. Sedangkan soal pendanaan, selain bersumber dari APBN senilai Rp. 16 trilliun, BOP dapat memperoleh dana sumbangan yang tidak mengikat dan dana usaha sendiri. Terkait dana usaha sendiri ini, BOP misalnya, dapat menjalin kerja sama dengan pengembang setempat.
Terpilihnya Labuan Bajo tidak terlepas dari keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK) yang dibentuk sejak tahun 1980. TNK adalah rumah bagi satwa langka Komodo (Varanus Komodoensis) dan aneka biota laut. Sementara Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten menjadi pintu gerbang menuju TNK. Karena kekayaan alam itu, TNK kini menjadi target destinasi pariwisata dunia, tidak hanya untuk melihat komodo tetapi juga kegiatan wisata seperti snorkeling, diving dan trekking. Karena itu, tuntutan pembangunan di kota Labuan Bajo sebagai pintu gerbang dan zona penyanggah TNK sangatlah mendesak.
Indikator utama dari kehadiran BOP Labuan Bajo adalah peningkatan kunjungan wisatawan dan penerimaan negara. Pada tahun 2019, pemerintah menargetkan 20 juta kunjungan ke Indonesia. Labuan Bajo terpilih menjadi salah satu dari 10 destinasi prioritas 2016 demi memenuhi target nasional tesebut. Melalui pembentukan BOP Labuan Bajo 2016, ditargetkan jumlah kunjungan mencapai 500 ribu wisatawan pada tahun 2019. Jumlah tersebut naik 5 kali lipat dari jumlah wisatawan pada tahun 2015 yakni sebesar 90 ribu wisatawan.
Persoalan Pariwisata
Dari gambaran BOP demikian, kelihatan jelas bahwa BOP tidak berupaya menyoalkan dan memperhatikan hak-hak politik dari komunitas lokal di tengah perkembangan sektor pariwisata. Sebaliknya, sebagaimana even-even promosi pariwisata sebelumnya, kelembagaan BOP hanya memperkuat pertumbuhan industri pariwisata melalui pengembangan destinasi pariwisata, pembangunan struktur industri pariwisata, managemen promosi pariwisata, dan pengembangan regulasi serta operasional di bidang pariwisata.
Dalam kenyataannya, selain membawa perkembangan pesat terhadap sektor pariwisata, upaya konservasi dan pariwisata di kawasan TNK selama ini jugamenyebabkan konflik agraria yakni pencaplokan kepemilikan, akses, dan manfaat terhadap sumber daya publik seperti tanah, air, pesisir, pantai dan pulau-pulau dari publik ke sektor privat. Akibatnya, masyarakat dalam zona inti TNK kehilangan hak atas konservasi dan keterbatasan akses kepada sektor pariwisata. Sementara masyarakat pada zona penyanggah, dimana industri pariwisata paling menggeliat,semakin tereksklusi dalam proses pembangunan pariwisata.
Dalam tulisan ini, persoalan-persoalan tersebut dapat kitaamatidalam dua konflik utama dalam perkembangan TNK. Pertama, periode konservasi atas alam yang berlangsung pada 1980-2000. Pada periode ini, masyarakat lokal kehilangan hak atas konservasi dan menimbulkan konflik agraria. Kedua, periode integrasi konservasi dan pariwisata (2000-sekarang) yang bermula dari upaya privatisasi managemen pengelolahan TNK. Tidak hanya semakin banyak aktor (bisnis) yang muncul tetapi juga terjadi ketimpangan dalam distribusi manfaat. Persoalan kian kompleks.
Kehilangan Hak Atas Konservasi
Keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK) pada tahun 1980 adalah upaya perlindungan terhadap reptil langka terbesar di dunia, Varanus Komodoensis. Upaya itu berkat “penemuan” sains pada tahun 1912,[1] yang kemudian atas nama keresahan kaum saintis itu,diatur regulasi terkait konservasi di tingkat daerah, nasional, dan ketetapan-ketetapan internasional. Yang paling menentukan, tentu saja, penetapan TNK dimana tanggung jawab pengelolahan konservasi berada di bawah Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). [2]
Pada satu titik, upaya itu membuat upaya konservasi menjadi jauh lebih tersistematis dan mampu memberdayakan potensi-potensi kekayaan alam lain dalam kawasan terlindungi. Selain komodo, setidaknya tercatat ada sekitar puluhan pulau, 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang (sponge) dan banyak invertebrata lain yang dapat di jumpai di banyak tempat di Taman Nasional ini[3]yang kini menjadi daya tarik wisata diving, snorkeling, dan trekking.
Persoalannya, pandangan sains terhadap alam ternyata membawa implikasi sosial dan kultural yang serius terutama bagi penduduk dalam kawasan sampai sekarang.[4] Mengadaptasi model konservasi berbasis eksklusi dari Amerika Serikat, upaya konservasi dengan sendirinya mengabaikan pandangan masyarakat lokal atas alam dan komodo. Sebagai akibatnya, masyarakat lokal tercerabut dari akar kultural dan kehilangan hak-hak agraria.
Konservasi BTNK menegaskan bahwa keberlangsungan Komodo hanya mungkin terjadi jika tanpa intervensi manusia. Manusia dipandang kompetitor yang dapat memusnahkan Komodo. Karena itu komodo mesti dipisahkan dari keberadaan manusia sekaligus untuk merestorasi kondisi alam yang sudah tidak alami karena aktivitas manusia. Keputusan tersebut dengan sendirinya menyingkirkan penduduk Komodo. Dari tinggal tersebar di sepanjang pulau, mereka menempati kawasan pemukiman terbatas. Bahkan, pada awalnya mereka direncanakan dipindahkan ke pulau Flores. Apalagi mereka hanya diperspesikan sebagai pendatang dari Manggarai, Bima, Sumba, and Bajo dan bahasa yang mereka gunakan hanyalah bentuk campuran dari semua bahasa pendatang (Needham 1986:54).
Padahal, penduduk komodo sudah lama hidup “bersama” Komodo. Berdasarkan mitos yang diyakini penduduk, komodo dianggap sebagai saudara. Komodo dipanggil sebae, artinya sebelah (kembaran). Kebersamaan itu sangat nyata dalam keseharian masyarakat yang bermata pencarian berburu dan meramu itu. Misalnya, jika mendapatkan hewan buruan, penduduk meninggalkan kepala, organ dalam, dan kaki di hutan untuk komodo. Penelitian Verheijen pada 1982 juga menegaskan bahwa penduduk Komodo sudah menempati pulau tersebut sekitar 2000 tahun yang lalu. Penemuan itu berdasarkan penelitian arkeologi pada tahun 1962. Ia juga menggarisbawahi bahasa Komodo adalah bahasa yang independen, bukan suatu bahasa campuran dari bahasa lain.
Akan tetapi, di bawah rezim Orde Baru yang militeristik, pandangan demikian diabaikan begitu saja. Penduduk Komodo dipaksa menempati kawasan pemukiman terbatas tanpa boleh memiliki hak kepemilikan (sertifikat tanah). Tanah-tanah mereka diambialih begitu saja. Misalnya, luas tanah yang mencapai puluhan hektar di Loh Liang—pintu masuk wisatawan—merupakan tanah yang diambilalih dari sekitar 67 orang[5] yang bermukim dan berkebun di sana. Selain itu, mereka juga dilarang berburu dan menebang pohon.
Selanjutnya, atas nama konservasi, pertumbuhan populasi manusia dalam kawasan sebisa mungkin dibatasi. Gagasan demikian mendorong kelambanan dalam penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar seperti air bersih, dan listrik. Pembangunan Sekolah Menengah Atas pada 2015, misalnya, dibatalkan karena pertimbangan, salah satunya, daerah konservasi.
Dengan demikian, masyarakat lokal tidak terlibat lagi dalam upaya konservasi. Padahal kepercayaan mereka adalah bentuk upaya konservasi terhadap Komodo. Satu-satunya yang mereka bisa lakukan adalah menangkap ikan atau menjadi nelayan.
Marginalisasi dalam Industri Pariwisata
Memasuki tahun 2000, terjadi perubahan managemen konservasi. Upaya konservasi diintegrasikan pada pengembangan sektor pariwisata. Perubahan itu dimungkinkan karena faktor politik dan faktor ekonomi. Faktor politik ditandai tumbangnya rezim Soeharto yang alergi terhadap kegiatan turisme sebagai kedok penyebarluasan ideologi komunisme. Dimulainya era desentralisasi membuat kegiatan turisme terbuka di daerah-daerah. Sementara pertimbangan dari perspektif ekonomi, integrasi konservasi dan pariwisata adalah upaya self-financingbagi konservasi dan mendorong pembangunan komunitas lokal.
Atas pertimbangan tersebut, perubahan itu pada awalnya ditandai dengan upaya privatisasi managemen konservasi. Pengelolahan TNK diambialih oleh PT. Putri Naga Komodo (PNK) pada 2005 untuk kontrak selama 30 tahun. Pemegang saham PNK adalah PT. Jaytasha Putrindo Utama (PT. JPU) dan lembaga Swasta Bisnis Konservasi dari Amerika Serikat, the Nature Conservacy (TNC). Untuk TNC sendiri, sebenarnya sudah terlibat sejak tahun 1980 dalam upaya managemen konservasi. Tahun 1995, TNC sudah terlibat aktif dalam pengelolahan TNK bersama pemerintah. Managemen kolaborasi kemudian diinisiasikan karena pertimbangan kekurangan dana konservasi, keterbatasan sumber daya managemen konservasi, dan upaya kontribusi kepada komunitas lokal.[6] Untuk komunitas lokal, TNC berjanji memberikan pelatihan tourist guide, dive guide, dan pelatihan pembuatan patung dan souvenir.
Bagaimana kemudian itu dibuktikan? Upaya itu memperlihatkan tiga substansi. Pertama, adanya integrasi upaya konservasi dan industri pariwisata. Kedua, privatisasi managemen kawasan yang melibatkan organisasi trans-nasional dan bisnis privat. Ketiga, pengambilalihan managemen dari komunitas lokal dan pemerintah, menjadi dominasi sektor bisnis privat yang difasilitasi pemerintah. Alih-alih membawa perbaikan pada upaya konservasi ekoturisme dan komunitas lokal, upaya privatisasi itu justru mempertegas berakhirnya kepemilikan dan kedaulatan komunitas lokal terhadap sumber daya yang ada. TNK hanya menjadi properti negara, terpisahkan dari masyarakat (Dale, 2013).
Dalam pelaksanaannya, terbukti masyarakat kian termarginalkan. Dalam wilayah laut, satu-satunya tempat mata pencarian komunitas lokal, dibentuk pula sistem zonasi (9 daerah zonasi) [7]pada tahun 2000 dalam Master Plan Taman Nasional Komodo. Di tempat tertentu, nelayan tidak boleh mengambil ikan. Penegasan itu disertai patroli ketat dan hukuman tegas seperti siksaan, pemukulan, bahkan pemenjaraan bagi yang melanggar[8]. Sementara itu, janji keterlibatan masyarakat dalam tourist dan dive guide belum terlaksana secara signifikan. Tekanan demikian menimbulkan gelombang protes dari komunitas nelayan dan organisasi lokal. PNK lalu bubar pada tahun 2010.
Meskipun gagal memenuhi hak-hak kehidupan masyarakat lokal, perubahan managemen tersebut sebaliknya justru berhasil membuat TNK dan Labuan Bajo menjadi arena bisnis pariwisata[9]. Karena pembentukan sistem zonasi, misalnya, hanya 18,485 ha saja untuk komunitas lokal, sementara 105, 637 ha diperuntukkan bagi bisnis pariwisata seperti diving dan snorkeling, dan hanya 34,311 ha yang benar-benar untuk konservasi murni. Masyarakat dibatasi dalam menangkap ikan, sementara bisnis snorkeling dan diving berseliweran dalam kawasan TNK. Menjadi semakin jelas bahwa sektor privat bersama pemerintah semakin berkuasa dalam memperoleh akses, kepemilikan, dan manfaat sumber daya dan mengontrol masyarakat melalui regulasi yang dibuat.
Sebagai akibat dari area bisnis, upaya privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik menandai perkembangan kota Labuan Bajo. Bersamaan dengan keberadaan sekitar 40-an hotel, restoran, dan operator wisata dan jumlah pengunjung yang mencapai 90 ribu pada tahun 2015, terjadi pula konflik agraria seperti pengambialihan penguasaan atas pulau, pesisir, tanah, pantai, dan air. Dari sekitar 170 pulau di sekitar Labuan Bajo, beberapa di antaranya diprivatisasi seperti pulau Bidadari, Kanawa dan Sebayur.[10] Bahkan jual-beli pulau secara terbuka terpampang di laman digital. Misalnya, penjualan Pulau Punggu tahun 2015 dalam www.skyproperty.com.Pembangunan hotel sepanjang 30 garis pantai juga memprivatisasi area pantai sehingga menjadi area tidak bebas masuk.[11] Selain itu, ironi masifnya privatisasi atas nama pariwisata terjadi dalam kasus pantai Pede. Pantai seluas 3 hektar sebagai satu-satunya ruang publik itu malah diprivatisasi oleh PT. Sarana Investama Manggabar, milik politisi dan pebisnis, Setya Novanto atas ijin dari pemerintah provinsi pada tahun 2012.
Tidak heran kemudian, ketimpangan penguasaan itu menyebabkan ketimpangan distribusi manfaat pula. Manfaat terbesar justru dikuasai oleh sektor privat. Dari tahun 2012, misalnya, jumlah peredaran uang mencapai lebih dari Rp 838 miliar. [12] Namun dari jumlah itu, sebagian besarnya diterima oleh operator wisata dan pengusaha kapal wisata (75,55 persen). Pemiliknya, sebagian besar adalah orang asing. Sebanyak 22,36 persen terdistribusi pada pengusaha hotel, restoran dan toko retail/ souvenir. Sementara, keuntungan bagi pemerintah dalam hal ini pengelolah TNK dan pemerintah daerah hanya sebesar 2,09 persen. Manfaat pariwisata bagi masyarakat setempat sangat kecil karena penyerapan tenaga kerja yang terbatas sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat (Wahyuti, 2013: 53).
Jadi, daripada menonjolkan kesetaraan dalam distribusi manfaat, periode ini tidah hanya lebih mencerminkan siapa yang mendapatkan kekuasaan dan siapa yang kehilangan hak, tetapi juga perbedaan penguasaan atas kepemilikan sumber daya memengaruhi relasi orang-orang terhadap sumber daya yang ada. Lalu, semakin banyak aktor yang terlibat dalam pertumbuhan industri dan konservasi. Tidak hanya pemerintah dan komunitas lokal, tetapi juga melibatkan NGO konservasi, pemilik restoran, hotel, tour operator, guide, dan korporasi.
BOP dan Pertumbuhan Ekonomi
Jika ditarik relevansinya dengan kehadiran BOP, mungkinkah BOP menjawab persoalan-persoalan mendasar dalam komunitas lokal? Apakah perbedaan dan persamaan dari BOP dengan kehadiran PNK beberapa tahun silam itu? Sejauh manakah sumbangan BOP bagi masing-masing aktor yang berkepentingan dalam periode pertumbuhan industri pariwisata dan konservasi?
Dilihat dari tujuan pembangunannya, kelembagaan BOP merupakan proyek depolitisasi. BOP jelas-jelas tidak menjawab persoalan ketimpangan distribusi manfaat sektor pariwisata selama ini. BOP tidak berupaya menyelesaikan perampasan hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan mata pencarian. Sebaliknya BOP mendorong pertumbuhan industri pariwisata sedemikian sehingga hanya berkutat pada persoalan-persoalan teknis.
Dalam peta politik nasional, tujuan demikian tidaklah mengherankan. BOP sendiri hanyalah tindak lanjut dari pengembangan pariwisata sebagai platform pembangunan ekonomi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Kebijakan itu memperhatikan sejumlah faktor antara lain, terjadi peningkatan drastis kunjungan wisatawan ke Indonesia,[13]pertumbuhan pesat kelas menengah yang berdampak pada gaya hidup dan pola interaksi, dan “desentralisasi Bali” sebagai pusat pariwisata setelah kejadian bom bali 2002 dan 2005 yang kemudian masih sejalan dengan politik otonomi daerah.[14]
Upaya pemerintah dalam menggenjot sektor pariwisata adalah melalui penetapan regulasi dan kebijakan. Peraturan pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional, antara lain berupaya mendorong pembangunan destinasi pariwisata, industri pariwisata, managemen pemasaran (promosi), dan kelembagaan kepariwisataan. Secara konkret, tindak lanjutnya, antara lain penetapan NTB, NTT, dan Bali dalam satu koridor dengan fokus pembangunan pariwisata dan daya dukung pangan nasional dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011-2025.
Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur, keberadaan satwa langka Varanus Komodoensis menjadi daya tarik wisata utama. Tidak heran, Labuan Bajo lantas dijuluki sebagai pintu gerbang pariwisata di NTT. Selama pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (2009-2014), diselenggarakan promosi dan even promosi pariwisata seperti penetapan Komodo salah satu dari New Seven Wonder of Nature (2011) dan Sail Komodo (2013), ditambah perbaikan infrastruktur bandara, pelabuhan dan jalan. Semua itu demi peningkatan investasi di bidang pariwisata.
Pada pemerintahan Jokowi-Kalla, dorongan pembangunan sektor pariwisata menjadi jauh lebih agresif. Presiden menetapkan 10 destinasi wisata prioritas 2016 atau disebut “10 Bali baru” yang selanjutnya perlu dibentuk Badan Otoritas Pariwisata di masing-masing destinasi tersebut demi percepatan pembangunan pariwisata.[15] Melalui usaha tersebut, ditargetkan kunjungan wisatawan mencapai 20 juta kunjungan pada tahun 2019 dengan target penerimaan 280 trilliun atau naik dari 9,4 juta kunjungan wisatawan 2014 dengan penerimaan sekitar 140 triliun. Kebijakan pendukung antara lain pembebasan visa bagi 30 negara.[16]
Labuan Bajo adalah salah satu yang terpilih sebagai destinasi prioritas. Untuk konteks BOP Labuan Bajo, demi mencapai target nasional itu, pemerintah menargetkan jumlah kunjungan mencapai 500 ribu kunjungan pada tahun 2019. Jumlah itu lima kali lipat dari jumlah kunjungan wisatawan pada 2015 yang masih berjumlah 90 ribu kunjungan. BOP ditugaskan mempercepat pembangunan destinasi pariwisata, perbaikan infrastruktur dasar, memudahkan investasi, dan promosi. Bahkan, dalam kunjungan ke Cina pada bulan September 2016, Jokowi sendiri mengundang investor Cina untuk berinvestasi di NTT.[17] Sejauh ini, berdasarkan data Kementerian Pariwisata, tercatat sampai dengan tahun 2015, jumlah investasi meliputi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri sudah mencapai 112 investor, mengalami peningkatan dari 36 investor pada tahun 2010.[18]
Dalam skema pembangunan demikian, dapat disimpulkan bahwa BOP lebih banyak membuka jalan bagi korporasi trans-nasional, NGO, agen-agen pembangunan, pemilik modal ketimbang menyelesaikan persoalan-persoalan pencaplokan akibat pertumbuhan sektor pariwisata. Dengan kata lain, institusi BOP muncul karena dinamika pasar global-lokal, sebaliknya tidak berkembang dari organisasi lokal atau masyarakat.
Konservasi Kepentingan
Lantas, seberapa jauh BOP membawa manfaat dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam sektor pariwisata? Tekanan pada investasi dan pertumbuhan ekonomi mencerminkan keberadaan BOP hanya memperjelas posisi Labuan Bajo sebagai area bisnis yang semakin dikendalikan dan dikontrol kaum pemodal atau investor yang difasilitasi pemerintah. Atas nama konservasi dan pariwisata, secara terang-terangan pemerintah membuka ruang bagi investasi sehingga memasifkan eksploitasi sumber daya alam di Taman Nasional Komodo dan sekitarnya.
Kenyataan itu lantas mempertajam perbedaaan kepemilikan, akses, dan manfaat atas sumber daya publik. Yang terjadi, bukan konservasi per se lagi, tetapi BOP justru “mengkonservasi” kepentingan berbagai pihak. Pemilik operator wisata, hotel-hotel, restoran adalah golongan yang kebagian kue pariwisata yang paling besar. Pemerintah pusat dan daerah hanya mengambil untung atas tarif masuk, pajak dan retribusi. Sementara itu, keterlibatan komunitas lokal masih artifisial. Komunitas lokal tidak hanya menunjukkan kegamangan terlibat dalam industri pariwisata, tetapi juga masih bergulat dengan persoalan pencaplokan dan privatisasi sumber daya publik.
Dengan demikian, atas nama kesejahteraan masyarakat, upaya pemerintah melalui BOP mencerminkan berkelindannya solusi bersama masalah-masalah. Solusi justru memproduksi masalah baru. Sebab pemerintah jatuh pada teknikalisasi persoalan tanpa memperhatikan kenyataan kompleks pembangunan dan pariwisata dalam kehidupan masyarakat. Juga melalui BOP, terlihat jelas bahwa pembangunan masih cenderung teknokratis ketimbang demokratis. Masyarakat secara umum masih diabaikan dari proses-proses pembangunan.
Menimbang kenyataan demikian, upaya pemerintahan Jokowi melalui BOP tidak banyak mendorong terciptanya keadilan atas akses kepada kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya publik, tetapi menciptakan bom waktu karena semakin melebarnya ketidakadilan dalam penguasaan dan kontrol atas sumber daya publik.***
Penulis bekerja sebagai peneliti di Sunspirit for Justice and Peace
——————
[1] Komodo mulai tersebar luas dan menjadi perhatian kaum ilmuwan sejak diterbitkan dalam jurnal sains Belanda di Jawa. Sebenarnya penemuannya berlangsung sebelum tahun 1912. Sejak itu, dalam kurang 1910-1920-an, berlangsung beberapa kunjungan ilmuwan untuk mencari tahu keberadaan komodo. Ekspedisi Burden pada tahun 1926 kemudian banyak mempopulerkan komodo karena tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah populer seperti National Geographic. Bdk. Timothy Barnard, “Protecting The Dragon: Dutch Attempts at Limiting Access to Komodo Lizards in 1920s and 1930s” dalam jurnal Indonesia, No 92 (Oktober, 2011), hlm. 97-123
[2] Bdk. Sandra Pannell, “in a Global-Context: A case study from World Heritage Listed Komodo National Park, Eastern Indonesia,” James Cook University, Cairns, Australia, 55-61
[3] Bdk. http://kupang.tribunnews.com/2016/01/03/rajaampat-dan-taman-pulau-komodo-dinobatkan-cnn-jadi-destinasi-snorkeling-terbaik-dunia
[4] Bdk. Sandra Pannell, “in a Global-Context: A case study from World Heritage Listed Komodo National Park, Eastern Indonesia,” James Cook University, Cairns, Australia, 55-61
[5]Dalam wawancara penelitian di kampung Komodo pada bulan Agustus 2016. Salah seorang bernama, Salahudin berniat menggugat kepemilikan atas lahan itu. Ia masih menyimpan sertifikat tanahnya sebelum terbentuknya TNK.
[6]Bdk. Sandra Pannell, “in a Global-Context: A case study from World Heritage Listed Komodo National Park, Eastern Indonesia,” James Cook University, Cairns, Australia, 55-61
[7]SK Dirjen PHKA No. 65/Kpts/DJV/2001; yang direvisi dalam SK Ditjen PHKA Nomor : SK.21/IV-SET/2012
[8] Pada tahun 2001, tercatat ada sekitar 31 orang yang pernah yang dipenjara dalam rentang waktu dari 6 bulan hingga 3 tahun, karena aktivitas berburu rusa dan ilegal fishing. Dalam laporan WALHI, sepanjang tahun 2002-2003, tiga nelayan ditembak oleh pihak Taman nasional dan petugas dalam kawasan dalam sebuah patroli. Sementara itu, sekurang-kurangnya 40 nelayan yang pernah disiksa dan ditangkap, dan bebereapa nelayan dan kelurganya dipindahkan dari kawasan Taman Nasional Komodo (WALHI 2004).
[9]Cypri Dale, Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik, (Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, 2013, hlm. 81
[10]Secara terinci disebutkan tentang privatisasi pulau-pulau di sekitar kota Labuan Bajo oleh orang asing. Pulau Bidadari dikelola Ernest Lewandowski sejak 2001 dengan nilai investasi US$382,2 juta. Kemudian Pulau Kanawa dikelola investor Italia bernama Stefano Plaza pada 2010. Di pulau tersebut dibangun hotel dan restoran dengan nilai investasi US$35 juta.Begitu pula Pulau Sebayur dikelola warga Italia bernama Ed sejak 2009 dengan nilai investasi US$2,5 juta. Ada pula investor asal Belanda yang kini membuka jasa wisata tirta di Pulau Rinca dan Komodo. Selain itu, masih ada resor-resor megah yang kini sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan, ditambah puluhan hotel melati, homestay, dan restoran yang tersebar di dalam kota hingga punggung Bukit Waringin. Bdk. http://www.lintasntt.com/cengkeraman-asing-di-labuan-bajo/
[11]Bdk. http://www.lintasntt.com/cengkeraman-asing-di-labuan-bajo/
[12]Bdk. http://m.tempo.co/read/news/2012/08/09/199422289/Mengapa-Jumlah-Turis-ke-Pulau-Komodo-Naik-4-Ribu
[13] Dalam rentang waktu 10 tahun, yakni 1985-1995, terjadi kenaikan sampai lima kali lipat. Dari 825,035 pada tahun 1985 menjadi 5,034,472 pada tahun 1996. Namun pertumbuhan itu terhambat pada akhir dekade 1990-an karena resesi ekonomi di Asia Tenggara. Faktor lain, tidak kondisifnya suasana politik yakni tumbangnya Soeharto dan pemboman pada tahun 2002, dan 2005, sehingga jumlah wisatawan kembali hanya mencapai angka 5,1 juta. Bdk. Janet Cochrane, “New direction in Indonesia ecoturism”, dalam Tourism in Southeaast Asia: Challenges and new directions (ed. Hitchcock and king), 2008, (Copenhagen: Nias Press, hlm. 254-269
[14] Cochrane, “New direction in Indonesia ecoturism”, hlm. 254-269
[15] Bdk. http://www.republika.co.id/berita/koran/kesra/16/10/20/ofc3g52-dongkrak-pendapatan-lewat-pariwisata
[16] Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan sektor pariwisata menunjukkan trend positif dan menempati urutan keempat penghasil devisa terbesar di Indonesia yakni sekitar 9,3 persen setelah komoditas minyak kepala sawit, batu bara, dan minyak-gas bumi. Menariknya pula, saat ketiga komoditas itu menunjukkan penurunan tiap tahun, sementara sektor pariwisata malah sebaliknya. Penerimaan dari sektor pariwisata dalam tiga tahun terakhir selalu naik, sebesar 10,054,1US $(2013), 11,166,3 US$(2014) dan 11,629.9 US$(2015). Apalagi, dalam laporan Bank Dunia kuartal III/ 2016 memperlihatkan bahwa sektor pariwisata sangat menjanjikan karena menyumbangkan 10 % PDB nasional dengan nominal tertinggi di ASEAN. Pertumbuhan sektor pariwisata membuka keran investasi swasta, menciptakan lapangan kerja, dan menambah eksport, dan memandu investasi infrastruktur. PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8% dengan trend naik sampai 6,9%, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan. Spending USD 1 Juta di sektor pariwisata, juga menghasilkan PDB USD 1,7 Juta atau 170%, tertinggi dibanding industri lainnya. Mengacu pada World Travel and Tourism Council, setiap US$1 juta yang dibelanjakan untuk sektor travel dan pariwisata dapat mendukung terciptanya 200 lapangan kerja dan US$1,7 juta PDB bagi Indonesia bdk. http://koran.bisnis.com/read/20161103/245/598614/saat-anggaran-pariwisata-dipangkas
[17] Bdk. http://bisnis.liputan6.com/read/2594267/jokowi-minta-pengusaha-tiongkok-bangun-labuan-bajo
[18] Dari sektor pariwisata terutama hasil pajak hotel, restoran, dan retribusi daerah untuk PAD hanya sekitar 10, 8 milliar dari total PAD 51.4 miliar pada 2014. Bdk. http://www.floresa.co/2016/02/19/pariwisata-di-mabar-apa-dampaknya-bagi-masyakat-lokal/
Artikel ini sebelumnya dimuat di Indoprpogress.com, dengan judul Konservasi Kepentingan Melalui BOP