OLEH : CYPRI JEHAN PAJU DALE
Kaya atau miskin itu bukan keadaan statis, melainkan sebuah proses. Orang tidak tiba-tiba menjadi kaya atau tiba-tiba menjadi miskin. Selanjutnya, proses menjadi kaya atau miskin bukan hanya proses ekonomi, sebuah hasil usaha semata; tetapi proses yang kompleks, melibatkan faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dikayakan oleh Sistem
Menjadi kaya adalah proses. Miliki modal, kuasai alat dan sarana produksi, produksi barang atau jasa, ekploitasi sumber daya, termasuk eksploitasi buruh, akumulasi modal; terus berulang, sehingga kekayaan menggempal. Pemilik modal atau pengusaha, pemodal, atau investor membentuk perusahan atau korporasi.
Namun perlu dicatat bahwa seluruh modal mereka bukan milik mereka sendiri. Kita semua maklum, seringkali kekayaan mereka adalah pinjamam bank, yang berarti juga tabungan masyarakat banyak. Dan soal penguasan sumber daya, alat dan sarana produksi itu juga penting kita lihat dengan kritis.
Para penguasa diuntungkan oleh sistem ekonomi dan politik neolibaral; di mana kekayaan alam yang sesungguhnya milik kolektif masyarakat, dikuasai oleh negara untuk diserahkan kepada para pengusaha itu untuk dieksploitasi. Sebagai misal perusahaan tambang. Pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan, dan dengan itu mereka menguasai sumber daya tambang, mengeksplorasi dan mengekspolitasinya, membayar (sedikit) royalti dan pajak ke pemerintah, dan mengambil untung untuk akumulasi modal lebih banyak.
Eksploitasi buruh juga demikian. Investor, penguasaha atau pemilik tidak bekerja seperti para buruh bekerja; sistem kapitalistislah yang bekerja untuk mereka. Dan buruh, dalam sistem itu adalah kaki dan tangan pengusaha untuk menumpuk modal semakin besar. Akrab dalam pengalaman kita bagaimana buruh dibayar tidak layak, tetapi perusahaan terus menumpuk untung. Tetapi eksploitasi tidak hanya bekerja dengan cara kejam seperti itu.
Dalam bahasa Marx eksploitasi itu adalah nilai lebih (surplus value) yang diambil pemilik modal antara nilai pasar/jual dengan nilai produksi. Jadi orang yang menjadi kaya adalah orang yang didukung oleh sistem untuk penguasaan modal, penguasaan alat dan saran produksi, akses eksploitasi sumber daya, akses eksploitasi. Orang kaya adalah mereka yang diuntungkan oleh sistem ekonomi kapitalis.
Eksklusi Sosial
Bagaimana dengan orang miskin? Banyak yang beranggapan bahwa miskin itu sebuah keadaan statis, sebuah nasib, sebuah keterpurukan sejak awal. Namun tidak semua orang miskin itu miskin dengan cara itu. Banyak orang menjadi miskin oleh karena sistem menjadikan mereka miskin atau semakin miskin. Untuk itu kita akan terbantu dengan secara kritis bertanya siapa orang miskin itu, bagaimana mereka menjadi miskin, mengapa mereka miskin, kapan mereka jadi miskin?
Mungkin lebih baik hal ini saya jelaskan dengan contoh konkret. Pemerintah, LSM, dan sejumlah koorporasi mencatat bahwa di Pulau Komodo ada 300 KK miskin (4800 jiwa). Kemudian mereka dibantu oleh berbagai proyek pemerintah, CSR bank, dan atau sebuah Yayasan. Bumi Manusia Komodo ini, yaitu tanah, air, hutan, padang, pantai, laut, dan segala isinya ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980, menjadi warisan alam dunia pada tahun 1990 dan pada tahun 2011 menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Bumi Manusia Komodo ini adalah lahan paling subur proyek-proyek konservasi dan pariwisata. Seluruh pembangunan dan bisnis pariwisata dan konservasi yang ada di Manggarai Barat sekarang ini berdaya tarik utama bumi manusia komodo ini.
Investor-investor pariwisata, besar dan kecil, dalam dan luar negeri, membanjir ke Manggarai Barat. Bisnis pariwisata ini mendatangkan ratusan perusahaan yang mendirikan hotel, resort, biro perjalanan, perusahaan diving, restauran, pesawat, dan seterusnya. Berkisar 50 ribu turis mengunjungi Bumi Manusia Komodo ini setiap tahun, menjadi sumber keuntungan bagi pengusaha bidang pariwisata. Pemeirntah juga kelimpahan proyek, bukan saja proyek Sail Komodo yang pada tahun 2013 ini, tetapi proyek-proyek sebelumnya juga. Apa yang didapat orang komodo? Mereka disebut miskin, dan menjadi sasaran proyek pengentasan kemiskinan. TNK menjadi begitu terkenal di manca negera, menjadi sumber keuntungan, menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi mereka tetap miskin. Ajaib dan aneh sekaligus.
Mengapa orang Komodo miskin dan bagaimana mereka menjadi miskin? Untuk itu kita perlu sebuah kajian perbandingan. Pulau Kelor, pulau Sebayur, pulau Bidadari –yaitu tetangga pulau komodo yang terletak di luar garis batas Taman Nasioanl— ‘dijual’ oleh sejumlah tokoh masyarakat setempat dengan harga milyaran rupiah kepada investor. Orang Komodo tidak dapat menjual tanah sejengkal pun, karena sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional, sekali lagi, sejak ditetapkan sebagai taman Nasional, hak orang Komodo atas tanah sudah dihapus. Tidak ada kepemilikan tanah, pribadi atau kolektif, legal atau adat, dalam taman nasional. Itu aturan konservasi. Jadi yang membedakan orang tentagga pulau dengan orang komodo adalah bahwa mereka ada dalam garis, tetangga mereka di luar garis. Garis itu sangat menentukan menjadi miskin atau kaya. (Perlu ditegaskan bahwa saya bukan kritikus anti-konservasi. Argumen ini hanya menunjukkan bahwa model konservasi TNK sekarang ini memang bermasalah; dan ada model konservasi lain yang tidak memarginalkan masyarakat pemilik ekosistem).
Tidak berhenti sampai di situ. Di dalam taman nasional juga ada zonase. Dari total 40.728 ha luas daratan dan 132.572 perairan yang menjadi bagian TNK, wilayah yang bisa dimasuki dan dimanfaatkan oleh masyarakat tidak maksimal. Itupun harus dengan izin BTNK. Mereka tidak bisa bebas, karena ada aturan dan polisi, serta petugas BTNK, yang digaji dari uang negara dan disubsidi oleh pebisnis pariwisata dan LSM konservasi yang mengawasi penegakan aturan itu. Sementara bisnis pariwisata dapat dilakukan di hampir semua area. Sebuah perbadingan yang jauh sekali. Jadi sejak menjadi taman nasional, mereka tidak saja tidak punya tanah sama sekali, tetapi ruang lingkup hidup dan mata pencaharian mereka menjadi sangat terbatas. Manusia Komodo menjadi miskin. Dan bumi mereka menjadi lahan konservasi dan bisnis pariwisata.
Contoh lain adalah derita petani kopi Manggarai, yang oleh karena sistem perdagangan yang tidak adil, tetap terpuruk dalam kemiskinan, sementara para pedagang pengumpul dan eksportir menjadi semakin kaya raya. Sementara infrastruktur perdagangan (seperti jalan utama trans-Flores dan pelabuhan, dan bandara) terus-menerus diperbaiki dengan menyedot anggaran publik yang besar, jalan-jalan desa masih sangat buruk, dengan akibat pada tingginya biaya yang ditanggung petani. Jadi petani di pedesaan menjadi miskin atau tetap miskin bukan karena nasib, tetapi karena sistem perdagangan dan pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak kepada perbaikan kesejahteraan mereka.
Mudah-mudahan dari contoh itu menjadi jelas bagaimana proses orang menjadi miskin, dan bagaimana proses itu merupakan komplikasi praktek-praktek politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum, yang bekerja sedemikian rupa sehingga pemodal menguasai ruang dan sumber daya, dan masyarakat setempat dimiskinkan. Para ahli menyebut proses macam ini sebagai ‘ekslusi sosial’, sebuah proses di mana masyarakat dihempaskan dari proses dan manfaat pembangunan, dan dibatasi akses untuk menguasai, mengelola, dan memanfaatkan potensi-potensi untuk kesejahteraan.
Anda Kaki-tangan Penguasa?
Ke mana arah argumen tulisan ini? Terserah Anda mau ke mana. Kalau Anda elite politik dan ekonomi, atau kalau Anda kaki tangan mereka, atau boleh jadi Anda adalah orang yang sedemikian bebalnya sehingga mau terperdaya dalam tipu-daya mereka, maka Anda akan menganggap paparan kritis seperti ini sebagai angin lalu. Tetapi kalau Anda cukup cerdas, dan nurani Anda diilhami rasa keadilan, dan jiwa Anda dikobari semangat pembaharuan, barangkali Anda sudah mulai sadar bahwa pembangunan, konservasi, penanaman modal, investasi, pariwisata, pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan barang-barang lain yang sejenis bukanlah konsep dan praktek yang netral dan sepenuhnya baik. Mereka adalah proses dan praktek yang memiliki dua sisi yang kontras: memang menguntungkan bagi segelintir orang, dan kejam bagi sekelompok orang lain. Mereka adalah proses-proses yang memang mendatangkan kekayaan, tetapi hanya bagi segelintir orang. Tetapi bagi banyak orang lain, mereka adalah kisah yang lain sama sekali.
*) Untuk paparan lebih lengkap tentang Paradoks Pembangunan di Manggarai Raya, baca buku “Keajaiban Dunia, Keanehan Indonesia: Pembanguna, Keterjajahan, dan Kemiskinan Struktural” (Sunspirit Publisher, 2013)