Masa Depan Revolusi Kita

Oleh: Cypri Jehan Paju Dale

Tulisan ini merupakan salah satu bab dalam buku MASA DEPAN REVOLUSI KITA, yang diterbitkan oleh Sunspirit pada 2014.

BERBAGAI pandangan yang dipaparkan oleh para penulis buku ini menunjukkan dengan terang benderang bahwa (1) tanpa revolusi mental dan revolusi sistemik, praktek kuasa dan pembangunan, oleh pemerintah atau aparat Negara yang dipilih dengan mekanisme demokratis sekalipun, tetap merupakan praktek kuasa hegemonic-koersif dan praktek pembangunan eksploitatif; dan (2) hanya dengan revolusi mental dan revolusi sistemik itu mentalitas, cara kerja, dan sistem hegemonik-eksploitatif dapat digantikan alternatif-alternatif emansipatoris dan memerdekakan.

Bab ini berusaha memetakan kerangka besar revolusi kita itu sekaligus agenda-agenda perwujudannya. Terlebih dahulu kita akan mendiskusikan tentang kuasa atau kekuasaan (power) dalam kerangka revolusi, yang jelas berbeda atau bahkan bertentangan dengan kuasa status quo. Selanjutnya kita akan membicarakan agenda-agenda revolusi kita, yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan budaya; yang tidak saja berkaitan dengan agenda-agenda praktis, tetapi juga dasar-dasar etis dan epistemiknya. Bab ini akan ditutup dengan pertanyaan tentang apa tanggung jawab dan di mana tempat kita, Anda dan saya, dalam agenda revolusi itu?

Kuasa Kontra-Hegemonik Dan Artikulasi Baru Dari Self-Determinasi

Kuasa atau kekuasaan merupakan faktor penting dalam revolusi mental dan revolusi sistemik. Agar dapat melakukan perubahan radikal, kelompok revolusioner mesti memegang kendali atas diri mereka sendiri dan atas tata sosial, politik, ekonomi, dan budaya mereka. Namun tidak semua kekuasaan memungkinkan revolusi mental dan revolusi sistemik.

Ada setidaknya dua hal yang penting kita perhatikan di sini. Pertama, kita perlu memisahkan dengan tegas kuasa hegemonik 
dan kuasa kontra-hegemonik atau kuasa emansipatif-emansipatif. Kuasa hegemonik itu, sebagaimana seringkali dipraktekkan dalam politik dan dalam pembangunan adalah ‘power over’, kuasa atas, kuasa yang mencaplok, yang mendominasi. Sebaliknya kuasa liberatif-emansipatif adalah, kuasa untuk (“power to”) melakukan perubahan, kuasa yang produktif, kuasa yang membebaskan.

Kedua, kuasa itu, baik sebagai kuasa hegemonik maupun kuasa liberatif-emansipatif bekerja dalam dan melalui diskursus, yaitu melalui konstruksi pemikiran dan lewat praktek-praktek sosial. Dalam rumusan Foucault, kuasa itu bekerja dalam ‘aparatus-aparatus sosial konkret’; yakni ‘rangkaian elemen-elemen diskursif dan material-misalnya, diskursus-diskursus, institusi-institusi, bentuk-bentuk arsitektural, keputusan-keputusan yang mengatur, hukum-hukum, ukuran-ukuran administratif, pernyataan-pernyatan ilmiah’ – dan ‘sistem relasi-relasi… yang terbangun antara semua elemen itu’

Kuasa revolusioner itu tidak semata-mata dimiliki oleh negara atau kapital, tetapi dipraktekkan oleh berbagai aktor sosial dalam setiap interaksi. Dia tidak dimiliki oleh ‘penguasa-pengusaha’ (yaitu mereka yang telah merebut kedudukan dan jabatan tertentu dan memiliki modal, atau kedua-duanya), tetapi dipraktekkan oleh semua orang, tanpa kecuali. Kuasa liberatif itu menyebar dalam berbagai jejaring relasi sosial, ada di mana-mana dan dijalankan oleh siapa pun,karena dia merupakan permainan-permainan strategis di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih (strategic games between liberties)”. Kekuasaan liberatif itu bersifat relasional, produktif, dan dipraktekkan dalam relasi-relasi, dalam interaksi-interaksi yang saling terkait (intersect) antara faktor-faktor politik, ekonomi dan kultural.

Kuasa kedua inilah yang dapat diandalkan oleh berbagai 
kelompok sub-altern, kaum tertindas, bagi kerja-kerja perubahan, baik dalam bentuk resistensi terhadap kuasa hegemonik maupun dalam upaya merintis pemikiran dan tindakan-tindakan alternatif. Kuasa kontra-hegemonik ini bekerja dalam dan melalui diskursus (konsep-konsep pemikiran sekaligus praktek-prakek, diskursif dan material sekaligus). Sebab demikianlah adannya; “diskursus mentransmisikan dan memproduksi kuasa; diskursus mengukuhkan kuasa…., tetapi juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa”.

Praktek-praktek kuasa yang demikian ini adalah sebuah self-determinasi, penentuan nasib sendiri, yang tidak saja merupakan hak asasi sebagaimana dalam konstruksi hak asasi manusia liberal, tetapi juga sebagai cara berada, sebagai raison de etre, yang tanpanya orang tidak dapat survive di tengah medan pertarungan kuasa.

Semua bentuk-bentuk artikulasi dari self-determinasi itu merupakan bentuk dari praktek kuasa kontra-hegemoni, sebuah rangkaian opsi de-kolonial untuk menentang dan menantang serta sekaligus memutus dominasi dalam dan melalui daya tipu dan tipu daya pembangunan. Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar bagi self-determinasi itu dalam visi tri-sakti: ‘kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya’, demi melawan segala bentuk ‘eksploitasi manusia atas manusia lain, bangsa atas bangsa lain’ (Seokarno).

Praktek kuasa kontra-hegemonik ini tidak sama dengan 
penggantian rezim yang ada. Politisi busuk, birokrat korup, pengusaha tamak memang harus diusir dari medan politik kita. Tetapi alternatif kontra-hegemonik tidak dengan sendirinya terwujud lewat pengantian rezim. Pemilihan umum langsung memang merupakan jalan konstitutif-demokratis untuk menjungkirbalikkan kemapanan (status quo) mereka. Tetapi itu saja tidak cukup, karena sirkulasi pemimpin politik sebagaimana jelas dalam maraknya reformasi politik elektoral di Indonesia hanya mengganti segerombolan penguasa-pengusaha dengan gerombolan penguasa-pengusaha lainnya. Alternatif kontra-hegemoniklah yang memungkinkan sebuah perubahan yang jauh lebih radikal, perubahan yang paradigmatic, perubahan yang sistemik.

Karena itu praktek kuasa kontra-hegemonik sebenarnya tidak sama dengan mengambil-alih kekuasaan atau kedudukan politik; juga bukan pegiliran kekuasaan politik dan kelas. Melainkan praktek-praktek diskursif kontra-hegemonik, yang berbasis pada produksi pengetahuan kritis dan pertarungan diskursus, serta tindakan-tindakan pembebasan yang melampaui dominasi dan ekslusi menuju kesetaraan dan emansipasi.

Kuasa kontra-hegemoni itu adalah kuasa yang ada pada setiap orang, termasuk pada masyarakat biasa, kaum tertindas, orang yang didominasi. Kuasa itu memungkinkan mereka untuk mengyatakan Tidak! Cukup Sudah!. Kuasa itu memampukan mereka untuk menjungkirbalikkan hegemoni dalam dan melalui pembangunan. Kuasa itu juga memampukan mereka untuk mempertahankan sumber daya, kosmologi, dan tujuan serta cara untuk mencapainya. Dengan kuasa itu pula mereka dapat merintis jalan alternatif, di mana mereka sendiri ikut menentukan tujuan dan cara mencapainya.

Namun praktek kuasa kontra-hegemonik itu tidak menjadi agenda kaum tertindas saja. Walaupun merekalah yang paling berkepentingan untuk mempertahankan komunitas, alam, dan budaya mereka, praktek kuasa kontra-hegemonik merupakan agenda-agenda politik, ekonomi dan kultural bagi seluruh peradaban. Saya melihat ada setidak-tidaknya empat medan pertarungan kuasa dan praktek emansipasi, yaitu arena yang terkait satu sama lain.

Pertama, pada level personal, praktek kuasa kontra-hegemoni adalah pilihan untuk menempatkan diri dan artikulasi posisi epistemologis, sikap politik, pilihan gaya hidup, di tengah konteks sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang konkret. Berhadapan dengan realitas ketidakadilan dan eksploitasi, orang tidak dapat bersifat netral. Pilihannya hanya ikut 
menindas, atau berjuang menentang dan mencari alternatifnya.

Kedua, pada level komunitas, self-determinasi merupakan perpaduan antara resistensi terhadap daya tipu pembangunan, sekaligus pencarian atas alternatif-alternatif politik, ekonomi, dan kultural yang paling memenuhi aspirasi komunitas sendiri. Pada level inilah kemudian terjadi konsolidasi individu-individu sadar yang menolak tunduk, dan berusaha merintis alternatif.

Level ketiga adalah arena politik negara dan bangsa. Pilihan kita adalah negara yang menjadi alat kapitalis, atau negara berdaulat menjamin survival, martabat, dan kesejahteraan masyrakat, alam dan budaya mereka. Pilihan kita adalah pemerintah yang memfasilitasi ekspansi kapital yang menjamin ‘bumi, air, dan segala isinya dikuasai oleh investor dan digunakan untuk sebesar-besarnya akumulasi untung’ atau negera yang menjamin kesejahteraan umum. Medan pertarungan ini menjadi amat penting dan kegagalan artikulasi self-determinasi ini hanya melanjutkan penjajahan dalam bentuk baru yang sama kejamnya dengan kolonialisme langsung oleh bangsa asing.

Arena keempat, yang terkait erat dengan arena politik negara, adalah arena trans-nasional. Sebagaimana dapat kita baca dengan terang benderang lewat perspektif kritis pos-kolonial dan pemikiran de-kolonial, daya tipu pembangunan pembangunan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan budaya yang bekerja lintas batas negara dan bangsa, dan merangsek masuk ke inti paling dalam dari survival masyarakat di sudut bumi mana pun, mengincar kekayaan alam dan kultural mereka. Dominasi dalam dan melalui pembangunan adalah proses global. Karena itu, medan trans-nasional ini juga merupakan arena artikulasi praktek kuasa kontra-hegemonik, tempat di mana self-determinasi untuk kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, serta kepribadian budaya itu dapat diwujudkan.

Empat arena itu sekarang ini dikuasai oleh praktek kuasa hegemonik dalam dan melalui daya tipu dan tipu daya pembangunan. Opsi-opsi de-kolonial ini membantu kita merumuskan agenda-agenda transformasi itu.

Tujuh Agenda Revolusi Kita

Gerakan self-determinasi atau proses emansipasi politik, ekonomi dan kultural bukanlah sebuah proyek tunggal yang dapat ditempuh dengan satu dua langkah saja. Dia adalah proses multi-agenda, yang sekaligus membutuhkan banyak langkah. Untuk mewujudkannya pun tidak ada formula siap jadi. Tidak ada solusi instan, sebuah formula universal yang siap diterapkan sebagaimana formula-formula yang diusulkan dan dipropagandakan oleh agen-agen pembangunan neoliberal. Proses emanispasi itu adalah pergulatan-pergulatan dalam konteks, dengan dimensi personal dan komunal, pada tataran lokal, nasional, dan global sekaligus; dalam keterkaitan erat masa kini dengan masa lalu dan masa depan. Jadi wujud nyata ari opsi-opsi de-kolonial selalu terkait dengan dimensi ruang dan dimensi waktu tertentu.

Karena itu di sini hanya akan dipetakan agenda-agenda transformasi, yang alih-alih siap pakai, hanya berfungsi sebagai panduan epistemologis dan sekaligus etis, teoritis dan politis, yang memungkinkan sebuah gerakan emansipasi yang kuat dan berjangka panjang dalam konteks tertentu. Berikut ini adalah ringkasan dari tujuh agenda self-determinasi dan gerakan emansipasi yang diperbandingkan dengan agenda pembangunan arus utama.
1. Melampaui Paradigma Proyek Pembangunan Dan Bantuan Kemiskinan: Keadilan Sosial Dan Hak Asasi Manusia
2. Melampaui Ekonomi Kapitalistik Dan Pasar Bebas: Tata Ekonomi Baku Peduli
3. Melampaui Logika Investasi: Kedaulatan Masyarakat setempat Dalam Kepemilikan, Pengelolaan, Dan Pemanfaatan Sumber Daya
4. Melampaui Good Government-Good Governance: “Pemerintahan Yang Berdaulat Dan Produktif”
5. Melampaui Demokrasi Elektoral: Politik Sebagai Urusan Publik
6. Dari Tipu Daya Konservasi Menuju Pengembangan Ekologi Komunitas
7. Melampaui Pengetahuan Hegemonik Menuju Ekologi Pengetahuan dan Perjuangan Epistemik

Agenda 1.
Melampaui Paradigma Proyek Dan Bantuan: Keadilan Sosial Dan Hak Asasi Manusia

Sudah kita lihat bagaimana kuasa hegemonic dan pembangunan eksploitatif bekerja lewat proyek-proyek pembangunan dan bantuan kemiskinan, dengan seluruh perangkat legitimasi dan implementasinya, yang dirancang oleh pemerintah dan agen swasta yang mengatas-namakan rakyat dan diklaim demi kesejahteraan mereka. Proyek-proyek itu, kendati dibungkus dengan berbagai asumsi dan klaim kesuksesan dan kalaim kebenaran kebenaran, menyembunyikan baik secara samar maupun terang-terangan, sebuah praktek penindasan dan keterjajahan dalam wujud eksploitasi, marginalisasi, ketakberdayaan, imperialisme kultural, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.

Alternatif kontra-hegemonik mengatasi praktek pembangunan dan proyek kemiskinan seperti itu, dengan mencari bentuk baru dari ‘pembangunan’ sebagai proses-proses politik, ekonomi, dan budaya yang dengannya ketidakadilan sosial dapat dihentikan, diganti dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat, terutama kaum miskin dan tertindas. Elemen kunci dari alternatif kontra-hegemonik itu adalah perubahan sistemik yang menjamin redistribusi kesejahteraan, terutama karena kekayaan itu sudah dicaplok elite dari masyarakat lewat berbagai mekanisme pembangunan. Dengan itu ‘pembangunan’ tidak lagi menjadi alat untuk mempertahankan status quo, di mana yang kaya akan tetap kaya, dan yang miskin menjadi semakin miskin ; tetapi alat untuk perwujudan keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Prinsip dasar keadilan sosial dan pemenuhan hak asasi manusia itu mengharuskan terjaminnya kesetaraan di satu sisi dan pengakuan akan perbedaan serta perlunya perlakuan khusus di sisi lain. Yang dimaksudkan di sini adalah kesetaraan dan perbedaan antara berbagai kelompok yang berbeda dalam matriks kuasa hegemonik. Dalam kondisi ketidakadilan sosial yang sistemik, keadilan hanya akan terwujud jika setiap orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Tetapi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama saja tidak cukup. Karena dalam ketidakadilan ada pihak yang yang terpinggirkan, tersubordinasi, terabaikan, maka diperlukan pengakuan akan perbedaan itu yang disusul dengan perlakuan khusus bagi kelompok rentan ini agar setelah perlakuan khusus itu mereka menjadi setara dengan kelompok dominan. Salah satu aplikasinya adalah kebijakan afirmatif atau keberpihakan khusus.

Kebijakan afirmatif ini dapat kita rumuskan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk menjamin bahwa kelompok-kelompok yang rentan terhadap ketidakadilan, diperhatikan secara khusus, dilindungi, dihormati, dan diberdayakan, agar tidak dengan mudah terlindas oleh sistem politik, ekonomi, dan kultural yang memang hegemonik. Pemberdayaan khusus juga penting, agar mereka dapat ikut serta berpartisipasi dan mendapat manfaat dari proses pembangunan itu.

Di tengah rimba persaingan bebas, peran pemerintah untuk keadilan sosial dan pemenuhan hak asasi manusia ini menjadi penting. Negaralah yang bertanggung jawab untuk mencegah ketidakadilan sistemik dan menjamin keadilan itu. Pemerintah berkewajiban untuk memastikan bahwa pembangunan tidak menjadi sarana dan medan eksploitasi dan marginalisasi. Sebalikya setiap orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang setara; sekaligus mengakui perbedaan dan memberikan perlakuan khusus kepada kelompok rentan.

Di sini barangkali ada manfaatnya mendiskusikan pendekatan hak asasi manusia atas pembangunan (right-based approach to development) yang secara normatif sudah ditetapkan sebagai salah satu kesepakatan universal di tingkatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (kendati tidak sungguh-sungguh diterapkan). Deklarasi PBB tentang hak atas pembangungan menegaskan bahwa setiap orang dan bangsa (people) “berhak untuk berpartisipasi pada, berkontribusi dalam, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, yang dengannya semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental terpenuhi”.

Deklarasi yang sama juga menegaskan pembangunan sebagai ”proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk memperbaiki secara konstan kemaslahatan segenap warga dan semua orang, lewat peran serta yang aktif, bebas, dan penuh makna di dalam pembangunan dan 
dalam distribusi yang adil atas hasil-hasilnya” (Mukadimah). Dalam sudut pandang hak asasi manusia, pembangunan kontra-hegemonik seperti itu adalah hak (entitlement), di mana setiap orang dan semua bangsa (peoples) adalah pemangku hak (rights holder) dan Negara, baik masing-masing maupun bersama, merupakan pengemban tanggung 
jawab (duty bearer).

Jadi, melampaui konsep dan praktek pembangunan dan pengentasan kemiskinan arus utama, alternatif hegemonik dapat kita tempuh dengan menata ulang proses-proses ekonomi, politik, dan kultural, di mana kelompok-kelompok yang berbeda (elit dan rakyat) tidak bersaing secara bebas dalam prinsip tetapi menjamin bahwa setiap orang diperlakukan setara sekaligus berbeda dengan kebijakan keberpihakan khusus, agar pembangunan itu menjadi alat keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Agenda 2.
Melampaui Ekonomi Kapitalistik Dan Pasar Bebas: Tata Ekonomi Baku Peduli

Tidak hanya investasi yang bermasalah, namun seluruh tata ekonomi kapitalistik memiliki kelemahan sistemiknya sendiri. Kapitalisme bertumpuh pada eksploitasi dalam satu sistem persaingan bebas sehingga secara inheren dia menempatkan segelintir elit yang dominan berada di puncak, dan mencampakkan yang lemah di dasar piramida. Karena itu keadilan sosial hanya dapat ditegakkan di luar kerangka hegemonik kapitalisme pasar bebas.

Revolusi mental mengadvokasi tata ekonomi baku peduli, yaitu ekonomi berbasis solidaritas yang melampaui logika tunggal persaingan bebas. Berbeda dengan ekonomi pasar, apalagi pasar bebas, ekonomi baku peduli bertumpuh pada prinsip non-eksploitasi, demokrasi, solidaritas, dan kelestarian alam, serta tentu saja keadilan. Dalam ekonomi baku peduli, seseorang mendapat keuntungan bukan karena orang lain menderita kerugian. Keuntungan sebuah usaha besar bukan karena orang lain dirugikan. Sebaliknya orang bekerja dalam kemitraan, yang menghidupkan semua, dengan fairness sebagai panduan etisnya. Makna yang terkandung dalam baku-peduli ini terasa lebih tepat karena unsur resiprokalnya (baku, saling). Melawan sistem eksploitasi – untung karena orang lain rugi – ekonomi baku peduli mengandung unsur care yang resiprokal. Untung memang dikejar, tetapi bersamaan dengan tanggung jawab akan tata kehidupan bersama yang lebih baik.

Alih-alih mengandalkan korporasi sebagai pelaku utama 
ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya dan produksi barang dan jasa, ekonomi baku peduli mendorong pengelolaan sumber daya dan produksi barang dan jasa yang berbasis keluarga dan komunitas. Keluar dari frame ekonomi formal dan informal, yang mendiskreditkan ekonomi kecil dan berbasis komunitas, konsep ekonomi baku peduli justru menaruh perhatian pada upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sambil mencari solusi atas persoalan ekonomi komunitas. Hal ini sangat tepat untuk kedaulatan dan kemandirian pangan, produksi sandang berbasis sandang lokal, serta berbagai kebutuhan sehari-hari lainnya. Model ini juga dapat dikembangkan dalam bisnis pariwisata, yaitu pariwisata yang dikelolah oleh masyarakat sendiri.

Di bidang perdagangan, alih-alih liberalisasi perdagangan, ekonomi baku peduli juga mendorong perdagangan lokal, yang tidak mengandalkan import dan eksport, tetapi baku-dukung antar komunitas-komunitas berdekatan, dan mengefektifkan mata-rantai produsen-konsumen, tanpa mata-rantai pedagang predator di antaranya. Sistem ini adil baik bagi produsen maupun konsumen. Demikian juga, ongkos ekonomi dan ekologis dari perdagangan antar-negara yang berjauhan hanya terjadi ketika produksi lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan. Perdagangan juga mengedepankan perdagangan yang adil, dengan mengurangi peran middle-man yang tidak berperan produktif, tetapi menjadi parasit yang mengambil untung dari rantai distribusi barang.

Kerangka ekonomi baku peduli ini bukanlah sebuah temuan yang baru sama sekali. Sebaliknya, itu adalah kearifan dan praktek yang terjadi di komunitas-komunitas, terutama komunitas tradisional yang belum terkontaminasi kapitalisme neoliberal. Koperasi, pasar-komunitas, fair-trade, gotong-royong, bisnis-komunitas merupakan contoh praktek ekonomi baku peduli. Praktek-praktek seperti itu muncul di banyak tempat, dengan kreasi-kreasi baru, mencoba bertahan di tengah hegemoni kapitalisme. Tugas paradigmatik Gerakan Ekonomi Baku Peduli hanyalah mengenal, mengidentifikasi, merekonstruksi, dan memberikan cahaya pada praktek ekonomi solidaritas itu. Sedangkan tugas praksisnya terletak pada usaha untuk memperkuat, mengambil inisiatif baru, serta menjaga keberlanjutan gerakan ekonomi baku peduli.

Agenda 3.
Melampaui Paradigma Investasi: Mengokohkan Kedaulatan Rakyat Setempat Dalam Kepemilikan,Pengelolaan, Dan Pemanfaatan Sumber Daya

Kalau pembangunan eksploitatif bertumpu pada investasi, pembangunan revolusioner bertumpu pada kedaulatan masyarakat dalam memiliki, mengelola, dan mandapat manfaat dari seluiruh sumber daya ekonomi bangsa. Dalam pembangunan berbasis investasi, investor dan kapitalis dijadikan pelaku utama pembangunan ekonomi. Investasi diklaim sebagai alat dan sarana menuju kesejahteraan umum dengan menghidupkan ekonomi suatu wilayah, menciptakan lapangan kerja, mengembangkan sumber daya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menaikkan level produk domestic bruto, mengurangi pengangguran, mengatasi kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan. Karena itu Pemerintah tidak saja aktif mengundang investor ke daerah 
mereka, tetapi juga memfasilitasi operasi mereka dengan regulasi-regulasi dan pembangunan infrastruktur. Bagi masyarakat setempat justru investasi membawa serta berbagai kabar buruk.

Sambil para investor menumpuk untung, masyarakat setempat justru kehilangan akses pada sumber daya yang sebelumnya 
mereka miliki, tidak turut serta dalam proses pengelolaannya, dan tidak mendapatkan manfaat langsung. Malahan mereka terpaksa ikut menanggung akibat dari investasi; seperti kerusakan lingkungan dan rendahnya pelayanan publik akibat dana pembangunan lebih diarahkan pada pembangunan infrastruktur 
untuk investasi. Maraknya investasi tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat pemilik sumber daya.

Alternatif kontra-hegemonik mencari bentuk baru pembangunan dengan masyarakat lokal sebagai aktor utama, yang menguasai sumber daya alam mereka sendiri, dan menjadi pelaku inti baik dalam proses pengolahannya maupun untuk menikmati hasil-hasilnya. Selain itu, pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu menjunjung tinggi kedaulatan masyarakat; yaitu hak kekayaan kolektif, hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri, hak untuk menentukan jenis dan arah pembangunan. Singkatnya penegasan menuju kedaulatan politik, ekonomi dan kultural masyarakat setempat pada sumber daya dan akses terhadap penguasaan, pengelolaan dan manfaatnya.

Bagaimana wujud konkret dari pembangunan yang berpusat pada masyarakat seperti itu, tentu saja harus dikonkretkan sesuai konteks. Prinsip-prinsip utamanya antara lain (1) hargai kedaulatan masyarakat setempat, (2) lindungi akses mereka terhadap sumber daya kolektif, (3) prioritaskan pemenuhan hak-hak masyarakat lokal atas proses dan hasil pembangunan, dengan (4) program dan alokasi anggaran yang terarah secara langsung pada terpenuhinya kebutuhan dasar dan hak atas pembangunan, (5) utamakan infrastruktur dan program yang secara langsung bermanfaat bagi ekonomi berbasis keluarga dan komunitas.

Agenda 4.
Melampaui Good Government-Good Governance: Membangun Pemerintahan Yang Berdaulat Dan Produktif

Ketika 
peran pemerintah tereduksi menjadi fasilitator dan regulator, dan mesin utama pembangunan ekonomi digerakkan oleh dunia investasi, maka marginalisasi menjadi semakin masif. Pembangunan seperti itu menciptakan sebuah pertarungan yang asimetri, di mana kekuasaan pemodal jauh melampaui kekuatan masyarakat. Di sisi lain pemerintah yang tidak punya keberpihakan khusus pada masyarakatnya sendiri, justru menyerap anggaran pembangunan sedemikian besar sehingga alokasi dana untuk sektor produktif

Agar dapat menjalankan peran sebagai penegak keadilan dan agar memenuhi tanggunjawab hak atas pembangunan, pemerintah tidak cukup mengandalkan paradigma good government atau clean government, dengan fokus pada transparansi dan akuntabilitas saja. Kendati pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bebas korupsi itu penting, keadilan sosial dan hak asasi manusia mengharuskan karakter pemerintahan yang lebih: pemerintahan yang berdaulat dan produktif. Apa artinya?

Pemerintahan yang berdaulat itu pertama-tama terkait dengan posisi tawar terhadap korporasi dan kemampuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari pertarungan yang rentan dengan para pemburu untung swasta yang bekerja lewat mekanisme pasar bebas. Sistem ekonomi kapitalis neoliberal menempatkan peran pemerintah yang marginal dan cenderung menjadi pelayan kepentingan investasi dengan tugas menciptakan iklim investasi dan menyiapkan aturan dan prasarana demi investasi. Kontrak kerja pertambangan, dalam banyak kasus, lebih menguntungkan investor. Sebaliknya, pemerintah juga lemah dalam melindungi kepentingan ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat. Pemerintahan yang berdaulat itu melindungi tanah, dan air, dan segala isinya, dan melindungi 
rakyatnya dari eksploitasi. Pemerintahan yang kuat mengandaikan 
reposisi peran pemerintah dalam pengelolaan ekonomi serta dalam 
melindungi kepentingan masyarakat.

Pemerintahan yang berdaulat itu tidak sama dengan pemerintahan yang otoriter, yang menghadapi rakyatnya dengan tangan besi. Bukan juga pemerintahan yang serta merta mengobarkan perang dengan bangsa lain. Artikulasinya bergerak ke dua arah. Keluar, dia tidak menghambakan dirinya pada imperialisme ekonomi dalam berbagai bentuk terhadap korporasi trans-nasional, dan tidak membiarkan diri dibajak dan ditunggangi korporat dalam negeri. Kedalam, dia melindungi rakyat, kedaulatan rakyat, dan menjamin bahwa rakyatnya memiliki akses pada sumber daya dan pemanfaatannya.

Sementara itu pemerintahan yang produktif mengharuskan peran aktif pemerintah dalam bekerja bersama masyarakat memanfaatkan potensi yang ada demi kesejahteraan umum. Pengalaman kita menunjukkan bagaimana pemerintah cenderung menghabiskan anggaran pembangunan dalam APBD dan APBN untuk kepentingan belanja pegawai dan kebutuhan birokrasi lainnya, dan bukan untuk kegiatan ekonomi produktif untuk masyarakat. Departemen-departemen serta badan dan dinas turunannya yang seharusnya terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif, seperti Pertanian, Kelautan dan Ekonomi Kreatif, justru lebih banyak menghabiskan anggaran pembangunan ketimbang terlibat dalam proses pembangunan itu sendiri. Karena itu, gerakan revolusi mengedepankan pemerintahan yang bekerja, yang kreatif dalam mengelolah program pembangunan, dan yang lebih terlibat dalam proses pembangunan, serta tidak semata-mata menghabiskan anggaran pembangunan demi operasional birokrasi.

Jelas bahwa kita membutuhkan reformasi birokrasi, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran pembangunan, dan peningkatan kapasitas dan kinerja pemerintah. Namun itu sangat minimal. Kita membutuhkan peran pemerintah sebagai fasilitator proses perubahan sosial dan motor penggerak kemajuan bangsa. Pemerintah macam ini tidak saja tidak korup, tetapi benar-benar melindungi segenap warganya dan bekerja sungguh-sungguh untuk memaksimalkan potensi kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang bekerja bersama rakyat mengembangkan potensi yang ada untuk kesejahteraan umum. Bukan pemerintah yang bekerja karena proyek. Pemerintah yang tidak membuat angka kemiskinan, atau yang menyebut rakyatnya miskin agar ada proyek yang dikelolahnya

dan ambil untung dari proyek itu. Pemerintah yang melihat kemiskinan sebagai masalah sosial, yang merupakan akibat dari ekslusi terhadap akses pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam, sehingga memberi akses seluas-luasnya bagi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam, dan membuat aturan yang berpihak pada kepentingan itu, dan bukan sebaliknya menyerahkan aset publik kepada pihak swasta dan membuat peraturan yang mengeklusi masyarakat lokal dan memberi akses seluas-luasnya kepada investor.

Pemerintah macam ini mengikuti cita-cita founding fathers untuk“berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi,dan berkepribadian secara sosial budaya” (Soekarno); bukan pemerintah yang seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh agen-agen pembangunan kolonial seperti Bank Dunia, IMF, Asian Developement Bank, lembaga-lembaga United Nations. Pemerintah yang tidak mudah tergiur oleh peroyek-proyek bantuan dari USAID atau AUSAID sambil terus-menerus memberikan akses kepada perusahaan-perusahaan dari negara-negara pemberi bantuan itu untuk merampok kekayaan alam milik rakyatnya. Pemerintah korporasi, bukan sebaliknya membuat hukum dan aturan yang meneguhkan hegemoni dan kekuasaan mutlak korporasi global dan kapitalis lokal, dan menyediakan aparat negara TNI, POLRI dan PNS paramiliter lainnya seperti Sat-Pol PP, Polisi Kehutanan, Polisi Laut, dst untuk menjadi centeng, preman resmi pelindung korporasi melawan rakyatnya sendiri.

Agenda 5.
Melampaui Demokrasi Elektoral: Politik Sebagai Urusan Publik

Gerakan evolusi dan usaha-usaha emansipasi menuntut pemaknaan ulang demokrasi melampaui demokrasi elektoral dan demokrasi representatif, yang menjadikan masyarakat semata-mata sebagai voters dan bukan pelaku politik yang berdaulat. Prosedur-prosedur demokrasi sebagaimana yang dijalankan dalam tata politik dominan, antara lain lewat pemilihan umum, hanya menggantikan si A dengan si B, dan bukan cara kerja, visi dan sistem. Praktek demokrasi yang demikian hanya mengganti penguasa, tetapi karakter dan pola kerjanya tetap sama. Gerakan emansipasi beriktiar untuk menegakkan kuasa rakyat, sekaligus mengakhiri dominasi elite dan merintis praktek-praktek kuasa baru yang lebih adil dan setara.

Di sini kita berbicara tentang pemaknaan ulang partisipasi politik, dengan mengandalkan peran gerakan sosial rakyat, sebuah perubahan yang dimotori dan dikendalikan oleh masyarakat sendiri, yang berbasis pada aneka ragam bentuk dari partisipasi politik. Sudah jelas dengan sendirinya bahwa opsi-opsi pembebasan itu harus berada di luar kuasa hegemonik. Benarlah kearifan lama yang meyakini bahwa keadilan tidak pernah diberikan dari atas, tetapi hanya dapat diperjuangkan dari bawah, yaitu oleh kaum tertindas dan marginal sendiri.

Sudah banyak pemikir yang mengusulkan peralihan dari demokrasi (neoliberal) menuju praktek demokrasi radikal. Radikalisasi demokrasi ini menolak reduksi demokrasi semata-mata hanya sebagai sistem perwakilan dan pemilihan umum, tetapi padapartisipasi masyarakat dalam proses dan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Masyarakat yang selalu dalam negosiasi-negosiasi kuasa, mencapai konsensus yang disepakati. Demokrasi seperti ini menjamin kesetaraan dan perbedaan sekaligus, yang menjaga hak-hak setiap warga negara, dan tidak ada yang dimarginalkan. Demokrasi yang demikian mengontrol penguasa agar tidak sewenang-wenang, dan tidak memberikan kuasa mutlak kepada korporasi. Demokrasi yang bukan plutokrasi. Demokrasi yang mencegah perselingkuan antara politisi, birokrat, dan korporasi atau investor. Demokrasi yang di dalamnya rakyat berdaulat: dari rakyat untuk rakyat, dan oleh rakyat. Demokrasi yang memungkinkan sebuah transformasi di mana tidak ada lagi yang ditindas, dimarginalkan, atau dianggap tidak ada.

Jadi partisipasi politik rakyat tidak cukup hanya lewat pemilihan umum, tetapi juga dalam pengaturan tata sosial, politik, ekonomi, dan budaya di mana rakyat berdaulat. Dalam sudut pandang ini, masyarakat sipil, secara pribadi dan bersama-sama, adalah pelaku perubahan. Mereka adalah subyek sadar yang berperan menentukan arah masyarakatnya.

Cara pandang ini mengembalikan politik kepada masyarakat umum, dan merebutnya dari monopoli politisi dan pemerintah, dan mencegahnya dari pembajakan para investor yang telah membajak politik demi kepentingan ekonomi. Ketika pemerintah menjadi neoliberal bersama dengan pasar, harapan kita ada pada aktor-aktor sipil, yang risau akan ketidakadilan dan tampil menjadi pembela prinsip-prinsip kebaikan umum dan keadaban publik.

Artikulasi dari demokrasi radikal ini beragam dan luas. Tetapi apa pun bentuknya, ruang politik menjadi begitu terbuka bagi masyarakat, dengan posisi dan peran masing-masing, untuk melakukan apa yang perlu untuk mempertahankan hak mereka dan membangun sebuah tata kehidupan publik. Sama seperti agenda lainnya, perwujudan konktretnya beragam sesuai konteks.

Agenda 6.
Dari Tipu-Daya Konservasi Dan Pembangunan Keberlanjutan Menuju Model-Model Pengembangan Ekologi-Komunitas

Pengalaman pembangunan sejak orde baru hingga kini menunjukkan bahwa konservasi yang dibungkus dengan tujuan mulia keberlanjutan ekologi tidak lepas dari praktek kuasa hegemonik. Dalam berbagai variannya seperti taman nasional, eco-tourism, proyek-proyek perkebunan demi green energy, perdagangan karbon, dan lain lain, konservasi menjadi kedok yang samar untuk pengambil-alihan sumber daya dan eksploitasi atasnya, disertai dengan produksi perangkat-perangkat govermentalitas/ kepengaturannya. Konservasi macam itu tidak berbeda dengan konsep dan praktek pembangunan berkelanjutan secara umum, yang kendati mengedepankan sustainability untuk menegaskan corak ekologisnya, tetap saja terbentuk oleh konstruksi dominasi terhadap penduduk setempat dan alam.

Ketika sumber daya alam ekstraktif seperti tambang menjadi eksploitasi kontroversial karena dampak destruktifnya, sumber daya alam lestari menjadi buruan investor atas nama konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Dan pemerintah, yang kehilangan arah dan mengalami kriisis kedaulatan dan produktivitas, menyerahkan begitu saja pengelolaan sumber daya alam lestari itu kepada korporasi global dan nasional, menciptakan perangkat aturan dan proyek-proyek teknis yang menghasilkan proyek konservasi yang tidak berbeda dengan industri ekstraktif kendati dilabel lestari atau sustainable.

Alternatif kontra-hegemonik tentu saja perlu melampaui proyek 
konservasi dan pembangunan berkelanjutan seperti itu untuk menjamin ciri komunitas dan ekologis dari tatanan kehidupan yang terikat satu-sama lain oleh kepentingan bersama akan survival. Inti dari konservasi semacam itu adalah mempertahankan kesatuan komunitas setempat dan alam mereka, yaitu eco-communio, dengan menjamin bahwa sumber daya itu tidak diprivatisasi atau dicaplok oleh negara, tetapi dijamin keberlanjutannya sambil mempertahankan kepemilikan kolektif rakyat, serta akses mereka terhadap pengelolaan dan manfaat pengelolaannya.

Agenda 7.
Melampaui Pengetahuan Hegemonik Barat: Ekologi Pengetahuan Dan Perjuangan Epistemik

Agenda-agenda ini tampak aneh di mata rasionalitas hegemonik yang merasuki ilmu pengetahuan positivistik yang begitu dominan dalam politik, ekonomi, dan budaya kita. Karena memang alternatif-alternatif itu lahir dari cara berpikir dan rasionalitas yang lain di luar pengetahuan hegemonik itu, rasionalitas yang telah ditindas dan dianggap tiada.

Dasar epistemologis dari kerja emansipasi, yang sekaligus menjadi salah satu agenda perwujudannya, adalah perjuangan pengakuan pada adanya pengetahuan lain yang absah di luar apa yang dijalankan dalam sistem dominan sekarang ini. Oleh para pemikir dan pegiat anti-hegemoni, posisi epistemologis ini dirumuskan sebagai pembangkangan epistemik (‘epistemic disobedience’) dan pemikiran merdeka (independent thougt). Penulis lain merumuskannya dengan istilah ‘Other Knowledges is Possible’. Proyek modernitas adalah proyek rasionalitas tunggal, yang menganggap tiada rasionalitas lain. Gerakan emansipasi melampaui pengetahuan monokultur macam itu, dan mengapresiasi serta mengembangkan apa yang disebut ecology of knowledge. Other knowledges ini ada dalam masyarakat, dalam pergulatan mereka, yang dipraktekkan dan pertarungan melawan hegemoni sistem dominan. Sayangnya pengetahuan-pengetahuan 
ini seringkali dianggap tiada, ditindas, dimarginalkan.

Langkah konkret dari agenda emansipasi epistemologis ini adalah apa yang oleh de Sousa Santos disebut sebagai hermeneutics of emergence dan hermeneutics of presens. Hegemoni sistem dominan neoliberal bekerja dengan menonjolkan hal-hal yang mendukung kekuasaan hegemonik dan menyembunyikan hal-hal lainnya. Hermeneutics of presence yang kontra-hegemonic, adalah sebuah usaha untuk mengakui dan mempresentasikan other knowledge, pengetahuan sub-altern, demi melawan hegemoni sistem dominan. Sumber dari other knowledge itu jelas berada di luar kelompok dominan. Dalam kajian pembangunan, pengetahuan itudi luar doktrin-doktrin pemerintah, lembaga antar pemerintah, badan-badan keuangan dunia, ataupun para investor dan para ilmuwan palsu kaki tangan mereka. Sumber-sumber pengetahuan-pengetahuan lain itu ada dalam pergulatan masyarakat, pada usaha mereka memuliakan kehidupan manusia dan alam semesta. Para ilmuwannya bukan hanya lulusan sekolah ternama, tetapi juga yang publikasinya menyebar di media dan bisnis penerbitan yang pro-pasar juga. Ilmuwan pengetahuan-pengetahuan alternatif itu adalah lulusan sekolah kehidupan, para ahli di tengah masyarakat, masyarakat adat, petani, perempuan, orang tua dan anak-anak, pengrajin, dan seterusnya. Hasil dari hermeneutics of presense itu adalah bahwa pengetahuan-pengetahuan mereka itu plural, tidak tunggal. Kebenarannyapun tidak pada obyektivitas versi hegemonik, tetapi pada intersubyektivitas, yaitu pada interaksi antar manusia dan alam.

Kita dan Tugas Revolusi

Sebuah pertanyaan konkret masih harus dijawab. Siapa sajakah yang bertanggung jawab menjalankan agenda-agenda kontra-hegemonik ini? Siapakah pembebas? Sebagian orang mungkin saja menunjuk orang di luar dirinya untuk mengemban tanggung jawab. Orang banyak berharap pada pemerintah di semua level untuk berbenah diri dan melakukan perubahan. Mereka ini cenderung berharap pada reformasi birokrasi dan percaya pada proses demokrasi elektoral untuk mengganti elit busuk. Kelompok ini juga banyak berharap pada ‘tanggung jawab sosial’ orang-orang kaya, yang diharapkan memperhitungkan keadilan dan kelestarian lingkungan dalam menjalankan bisnis mereka dan memakai sedikit dari kelimpahan keuntungan mereka demi proyek-proyek sosial sambil mempromosikan diri mereka sebagai perusahaan yang peduli. Kelompok ini percaya bahwa kebaikan hati orang kaya bisa mengubah dunia menjadi lebih adil bagi si miskin.

Harapan akan penguasa dan pengusaha, pemerintah dan pemburu untung, dalam relasi kolonial adalah harapan sesat yang lebih berbahaya daripada candu sebagaimana dirujuk Marx pada agama palsu yang menjanjikan keselamatan bagi kaum tertindas, tanpa mendorong mereka untuk mengatasi ketidakadilan dan eksploitasi oleh kelas elit. Kesesatan itu begitu berbahaya setidaknya karena dua alasan. Pertama, karena tidak paham bahwa kuasa yang ada pada penguasa dan pengusaha adalah kuasa hegemonik, kuasa yang menempatkan diri mereka pada pusat dan rakyat marginal pada pinggiran; dan karena itu menjadikan mereka sebagai aktor utama perubahan sama dengan melakukan perubahan dalam batas-batas relasi kolonial, relasi dominasi. Perubahan mungkin saja terjadi, tetapi sejauh status quo tidak diganggu. Kedua, orang-orang seperti ini melemparkan tanggung jawab pada orang lain—pemerintah harus berubah, dunia usaha harus berubah— dan enggan melakukan perubahan sendiri.

Lantas kepada siapakah kita berharap tampil sebagai aktor utama perubahan yang mendalam dan menyeluruh (radikal)? Tidak lain adalah kepada diri kita sendiri, Anda dan saya, bersama dengan jutaan orang lain yang sadar akan keterjajahan mereka dan berani mengambil langkah untuk menegakkan kuasa kita sendiri, kuasa kontra-hegemoni, kuasa yang menolak tunduk kepada kuasa hegemonik penguasa dan pengusaha, kuasa yang mempertahankan sumber daya publik, kuasa untuk melakukan jalan-jalan alternatif menegakkan keadilan dan keberlanjutan kehidupan kita. Kita adalah barisan kelompok sadar, kaum marginal, intelektual organik, orang adat, pejuang lingkungan, pejabat negara dan orang-orang biasa yang tampak tidak punya kuasa di hadapan pemerintah dan pemodal yang membayangkan kuasa sebagai kuasa atas orang lain (kuasa hegemonik), namun sesungguhnya memiliki kuasa kontra-hegemonik, kuasa untuk melawan, kuasa untuk melakukan perubahan dengan jalan kita sendiri. Singkatnya, tugas revolusi mental dan revolusi sistemik adalah tanggung jawab kita semua.

Kendati membutuhkan banyak kreativitas dalam perwujudannya, prinsip dasar dari semuanya itu sederhana saja: menolak tunduk dan melakukan alternatif. Sebab keadilan tidak pernah diberikan. Dia hanya bisa diperjuangkan. Mudah-mudahan kita semua, para pembaca yang budiman, berjalan bersama dalam jalan perjuangan itu.

Publikasi Lainnya